Demokrat Pecas Ndahe

Maret 15, 2010 § 56 Komentar

Syahdan pada saat cuaca buruk melanda sebagian Amerika Serika, Maret 1809. Seorang lelaki tua rnengendarai kuda dari kota Washington. Umurnya 66 tahun, tapi tubuhnya yang jangkung masih gagah — cukup kuat untuk terlonjak tegak di atas pelana selama 8 jam. Ia melintasi salju yang merintangi pandang. Ia seharusnya naik kereta tadi. Tapi begitu buruk dan roda kereta itu berkali-kali selip. Dan ia tak sabar lagi. Lain cepat-cepat pulang. Masa jabatannya telah selesai.

Dia Thomas Jefferson. Ia baru saja rampung sebagai Presiden setelah 8 tahun memerintah. Sebenarnya ia dapat dipilih kembali. Ia penulis utama Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang termasyhur. Ia pemikir dan tokoh politik terkemuka bagi negeri yang baru itu. Dan ia punya prestasi yang cukup mengesankan sebagai administrator selama jadi kepala negara. Maka, apa sulitnya untuk menduduki jabatan terhormat buat ketiga kalinya?

Toh dia tetap menolak. Mengapa?

Kisah ini saya peroleh dari salah satu Catatan Pinggir Goenawan Mohamad beberapa tahun silam. Saya tulis ulang lagi untuk menyambut kedatangan Presiden Barack Obama ke Indonesia beberapa hari di depan. Siapa tahu sampean mendapatkan inspirasi dari cerita ini ….

Dalam esai itu disebutkan bahwa Jefferson meninggalkan ibu kota dengan rasa malu ke kampung halamannya di pedalaman, di Monticello. Juga dengan rasa gembira. Keriangan itu terlihat ketika presiden penggantinya, James Madison, dilantik. Kepala negara Yang baru tampak pucat dan gemetar, sebaliknya Jefferson terkesan rileks dan enak.

Malam harinya, waktu pesta dansa pelantikan, Jefferson datang. Padahal sejak isterinya meninggal 40 tahun sebelumnya, ia tak pernah nongol ke pesta. Tapi malam itu ia berdansa dengan riang. Tamu-tamu pun bertanya kenapa ia begitu terlihat berbahagia, sedangkan Presiden yang baru tampak pucat.

Jefferson menjawab, “Beban ini telah lepas dari pundak saya, dan dia kini yang mendapatkannya.” Sejak hari itu ia memang merasa bebas dari apa yang disebutnya sendiri sebagai “borgol kekuasaan.”

Tak banyak orang yang menganggap kekuasaan sebagai borgol. Lebih banyak melihatnya sebagai gelang emas yang (alangkah nikmatnya!) bisa bikin orang rapi.

Jefferson adalah demokrat sampai ke sungsum — seperti Obama. Pada 1811 ia menulis: tak pernah saya dapat membayangkan, bagaimana suatu makhluk yang berakal dia dapat menawarkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dari kekuasaan yang dipakainya atas orang lain.”

Menjelang ia pulang ke Monticello ia menulis dengan gaya tab kepada para tetangganya yang bermaksud menyambut: “Bolehkah saya tanya, di hadapan seluruh dunia, sapi siapa yang saya pernah ambil, atau siapa yang telah saya rampas haknya? Siapa yang telah saya tindas, atau siapa yang telah ia terima uang suapnya sehingga mata saya jadi tertutup?”

Penulis biografinya Yang bagus, Fawn M. Brodie, dalam Thomas Jefferson, Artimate History (1975), mengomentari Pertanyaan itu seakan-akan Jefferson tengah diserang dengan kecaman. Mungkin benar dalam arti bahwa ia sendiri tengah mengadili dirinya, seraya mengingat kembali singgasana yang baru dilepasnya itu.

Masa ia memerintah ia memang begitu sederhana. Seorang senator malah pernah mengira orang yang berjas panjang cokelat dengan sepatu tanpa hak itu adalah seorang pelayan — padahal itulah sang Presiden. Puteri-puterinya sendiri tahu keadaan uangan sang ayah yang sedang jadi kepala negara itu: utangnya meningkat karena kegemarannya menjamu orang, tanpa menjadi korup.

Di sisi lain, laki-laki ini bukannya tanpa kelemahan. Dalam masa menduda, ia hubungannya yang tertentu dengan budak wanitanya yang cantik, Sally Heings. Di masa muda ia pernah dibisik-bisikkan mau menggoda seorang isteri teman. Dan waktu di Paris, ia pernah jatuh cinta kepada isteri seseorang – serta menulis surat cinta panjang yang sangat bagusnya.

Mungkin karena menyadari bahwa dirinya bukan di luar dosa itulah Jefferson meninggalkan sesuatu yang ternyata memang berharga bagi orang Amerika beberapa generasi kemudian: satu ide tentang kekuasaan dan batas manusia, dan juga satu contoh perbuatan yang sejati.

Dia berhasil menyeberang abad, ia melihat ke “depan bersama sejarah”. Ia tidak dikutuk.

Dan saya tiba-tiba teringat pada sebuah dinihari di Jakarta, di batas antara malam yang sudah tak bisa disebut malam lagi, dan pagi yang belum datang, Januari 2009. Saya melihat lelaki itu berdiri gagah di atas mimbar. Parasnya berseri-seri, penuh percaya diri. Jutaan mata menatap ke arahnya, termasuk saya yang menikmati penampilannya lewat layar kaca.

Dia Barack Husein Obama, Presiden Amerika Serikat yang ke-44. Ia dilantik dan mengucapkan sumpah. Setelah itu, ia menyampaikan pidato resmi pertamanya setelah dilantik.

Saya terkesima oleh orasinya yang penuh optimisme. Saya tersihir oleh semua bahasa tubuhnya tenang tapi begitu meyakinkan. Kata demi kata, mengalir lancar dari mulutnya. Setiap kalimatnya seperti mantra bagi rakyat Amerika, dan para pengagumnya di seluruh dunia.

Pada hari ini, kita berkumpul karena kita lebih memilih harapan daripada ketakutan, kesatuan tujuan ketimbang konflik dan pertentangan — Obama.

Dalam pidatonya, lelaki yang pernah duduk di bangku SD Asisi, Jakarta, itu terus terang menyatakan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi Amerika adalah nyata. Tantangan ini serius dan banyak. Tidak akan mudah diatasi dan tidak bisa diatasi dalam jangka pendek. “Tetapi ketahuilah ini, Amerika, semua tantangan ini akan kita hadapi.”

Ada kejujuran, juga optisme yang melintasi zaman. Seperti yang pernah diucapkan oleh Jefferson bertahun silam.

>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Apakah menurut sampean Obama jadi melawat ke Jakarta?

Tagged: , , , ,

§ 56 Responses to Demokrat Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan ke maya Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Demokrat Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta