Skandal Pecas Ndahe

Desember 9, 2006 § 9 Komentar

Yahya Zaini, wakil rakyat yang ketahuan berbuat mesum dengan Maria Eva itu, akhirnya mundur dari Partai Golkar dan keluar dari gedung parlemen. Selesai sudah skandal sex, lies, and videotape itu.

Tutup buku? Eits, tunggu dulu. Lah kok enak amat? Terus terang saya getun, mangkel, kuciwa, mengetahui akhir skandal yang memalukan itu kok cuma jadi seperti ini — lah memangnya harus seperti apa ya? Ngarang deh … 🙂

Memang apalah daya saya? Siapa saya ini, Ki Sanak? Paling-paling saya cuma boleh jengkel, dan mengumpat, misuh-misuh, dalam hati. Tapi, kemangkelan ini kan tetap harus saya limpahkan supaya ndak jadi belatung di hati. Ke mana?

Aha, ke mana lagi kalau bukan ke Paklik Isnogud. Kebetulan, tadi saya lihat Paklik sedang mengaduk kupi item pait di dapur pabrik. Bibirnya ngemut rokok lintingan. Ayo, kita jawil saja dia.

“Paklik, eh, Paklik. Sampean lagi ngapain sih, kok dari tadi di dapur mulu? Mbok ya ngobrol sama saya.”

Paklik menengok, lalu melengos lagi.

“Halah, ngopo toh, Mas? Mau ngobrol apa?”

“Ini loh Paklik, soal wakil rakyat sing ramutu itu. Lah kok kayaknya kasusnya mau ditutup begitu saja. Ndak bisa dong. Ndak terima saya.”

“Aduh, mbok sing sabar toh, Mas. Sampean ki kenapa to, kok pagi-pagi sudah mencak-mencak? Punya hati itu mbok yang jembar, lebar, seluwas samudera. Tirulah para sesepuh, orang tua pendahulu kita yang luwih ing tumindak, luwih ing sasmita, pokoke sarwa luwih ing lir sembarang kalir.”

“Sik, sik, sik, Paklik …. Mengapa sampean menganggap orang tua punya kelebihan?

“Karena mereka punya kesalahan yang kita tak punya, Mas.”

“Maksudnya bagaimana, Paklik?”

“Loh iya, Mas. Orang tua, mereka yang sudah dimakan usia, itu berbeda dari kita. Mereka sudah pernah melewati segala kebajikan, juga kesalahan. Karena itu, mereka menggenggam kearifan. Karena itu, mereka lebih sabar. Karena itu, mereka lebih jembar. Waktulah yang membuat mereka begitu. Ini kan seperti yang pernah ditulis dengan sedih oleh penyair wanita itu:

Time is a kind friend, it makes us old.

Kita tahu, dia Sara Teasdale.

Orang bilang bahwa hanya yang pernah bercita-cita, tapi kemudian khilaf; hanya yang pernah bergelora, tapi kemudian redup; hanya mereka ini yang tahu betapa benarnya penyair itu. Dalam kesedihan dan kearifannya, waktu adalah teman yang baik. Ia membikin kita tua.

Waktu jualah yang membikin sederet nama jadi sejarah. Ia membikin serangkai gelombang menjadi mandek. Ia membikin arus deras menjadi reda. Dan seperti kata Konfusius alias Kong Hu Cu,

Orang tak dapat melihat bayangan dirinya di dalam air yang mengalir, tapi ia dapat melihatnya pada air yang diam.

Orang tua memang punya kelebihan: mereka adalah air yang diam.

Jika kau cermat memandang ke dalamnya, kata orang, kau akan melihat dirimu lengkap. Kau akan melihat dirimu dalam perbandingan. Di air itu pengalaman telah membuang sauh, dan jauh di dasar terkandung simpanan kenangan. Terutama kenangan tentang kesalahan.

Dan itulah sejarah. Sebab apakah sebenarnya sejarah jika bukan impian yang tak sepenuhnya terlaksana — suatu kronologi tentang kekeliruan?

Tapi jangan terlampau marah terhadap kesalahan. Kata orang pula, kesalahan mungkin hanya satu tahap dalam mencari kebenaran. Anak pun bisa berjalan setelah ia pernah jatuh. Wakil rakyat kita itu mungkin juga sedang mencari jalan kebenaran, meskipun sekarang harus melewati padang kesalahan.

Setiap kali, pada dasarnya yang terjadi adalah ikhtiar perbaikan. Kita mengeluh tentang kelangkaan minyak tanah, harga barang yang terus melonjak, transportasi yang susah dan kemacetan, bencana alam, juga korupsi yang memamerkan foya-foya dan wanita.

Orang boleh saja mengutuk semua itu sebagai ‘penyelewengan’. Tapi mereka lupa bahwa kita memang harus terus mencari bagaimana sebaiknya ‘jadi benar’.

Sebab itulah barangkali setiap generasi suatu saat dalam hidupnya merasa perlu mengadakan rekonsiliasi dengan masa silam dan masa depannya. Rekonsiliasi itu adalah untuk melihat kesalahan sebagai sesuatu yang tidak mutlak dengan lebih sabar.

Rasa jijik — atau rasa marah — tentu saja wajar. Namun, kemarahan juga proses. ‘Time is a kind friend … ‘ Lalu kita perlu melihat ke air yang diam.

Di sanalah kita akan tahu kenapa orang tua punya kelebihan.”

“Tapi, mosok kita harus berpangku tangan bila melihat ada sesuatu yang salah, dan kita cuma diminta melihat air yang diam. Ya ndak bisa begitu, Paklik! Apalagi ketoke wakil rakyat kita itu ndak pernah belajar dari kesalahan. Mungkin dia malah sengaja berbuat salah. Siapa yang tahu, Paklik?”

“Ya terserah sampean, Mas. Kita boleh berbeda, Mas, dan saya ndak melarang sampean berbeda dari saya. Bebas, Mas. Ndak perlu kita berbantahan. Apalagi saya mau ngupi ini. Pantang ribut di saat ngupi. Sudah ah sana, saya mau mbaca koran dulu, sampean jangan nanya mulu.”

“Wooo … pelit. Ndak mau bagi ilmu. Huh, Paklik macam apa itu?”

“Loh, loh, kok aku dimarahi? Semprul!”

§ 9 Responses to Skandal Pecas Ndahe

  • avatar tito tito berkata:

    selalu lebih bijak paklik Isnogud

    soale aku kalah tuwo je … 🙂

  • avatar nana nana berkata:

    lagian ndoro, kalo wakil rakyat ndak belajar dari kesalahan yang (sengaja) dibuat, ya kita aja rakyat yang semakin bijak dan pintar mencari wakil kita ntarnya. isok ra yoh?

    lha kadang kesalahan ngga cuman ada di wakil rakyat yang ndakmutu itu je, kadang pas pemilihan kok ya ada beberapa yang tibatiba mingkem ketutup apalah itu yang disodorkan para calon, njur pas onok masalah koarkoar. ndak semua sih.

    po meneh kadang kita pengen mereka mundur tapi pas mereka mundur kita sebel lha kok nyimut ngono. angel tenan.

    urip mung sepisan, rasah angel-angel, nduk … 😀

  • avatar venus venus berkata:

    uh, sama2 mau aja kok sekarang jadi musuhan ya? ajaib tenan

    benci dan cinta memang tipis batasnya, kan? 🙂

  • avatar fitri fitri berkata:

    sambil ngupi, sambil makan penggeng eyem-nya kang joyoboyo (minus mister rigen, nyonya nansiyem dan beni prakoso), rasanya enak bener memang nggosipi si wakil rakyat ini. jadi, udah selesai gitu aja kasusnya?

    nggak seru. lha saya itu nunggu sampai ke bakar-bakaran jee. biar penggeng eyem saya jadi eyem beker…

    rasane, maknyus … nyus…nyus .. 😀

  • avatar -tikabanget- -tikabanget- berkata:

    ^_^

    never ending to learn in life..

    aih, tika….aku jadi terharu … 😦

  • avatar soesheila soesheila berkata:

    Kapo’ di marahi… semprul…!

  • avatar jt jt berkata:

    ho’oh pakdhe..kalo dipikir-pikir, dalam sistem perwakilan..oran akan memilih wakil yang serupa dengan dirinya, sehingga bisa mewakili kepentingannya. nah, dalam kasus ini, mungkin ndak hanya saya saja yang diwakili oleh bapak yz, masih buaaanyak yang lain. dan dalam hal ini, kepentingan kami sama, ndak usah ngutak atik borok kami ah! 🙂

  • avatar pay pay berkata:

    hhuuaaallaahhh, sampean sih pagi-pagi dah ganggu orang tua lagi ngupi, sempruulll dah yg keluar. Lagi pula mas, anggota dewan yang tak terhormat kan yo juga manusia (ngih to, opo ono sing ora menungso???) mungkin aja lagi khilaf ngkali..yo wis kita tak maafin wae mas.

    iyalah, gitu aja kok repot ya … 😀

  • avatar Mbahkeman Mbahkeman berkata:

    Khilaf yang berkepanjangan neng jagad seng Tuo, oehk manungso podo sadulur… jooodo podo tawuurrr….Marehambung mamujido podo rukun

    lagi ngobong menyan yo, mbah? 😀

Tinggalkan komentar

What’s this?

You are currently reading Skandal Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta