Kompas Pecas Ndahe

Desember 11, 2006 § 19 Komentar

Seorang wartawan dipecat dari Kompas. Dan keriuhan pun terjadi. Para aktivis kebebasan pers, asosiasi jurnalis, juga rekan-rekan sang korban mengecam tindakan itu. Mereka menganggap Kompas telah berlaku dengan tak semena-mena.

Suka tak suka, Kompas itu salah satu kelompok media terbesar di Tanah Air, baik secara bisnis, tiras, maupun jumlah karyawan. Tak heran bila insiden itu menjadi buah bibir, termasuk di pabrik saya.

Apa boleh buat, koran itu membuat mereka yang bekerja di industri yang sama bertanya-tanya: Mengapa hal itu bisa terjadi? Ke manakah perginya hati nurani, cita-cita, juga idealisme?

Saya langsung mencari Paklik Isnogud untuk menanyakan hal itu. Saya menjumpainya di tempat dia seharusnya berada, di belakang mejanya yang tertata rapi, ditemani secangkir kopi hitam pahit dan sebatang tembakau Marsbrand lintingan.

Seperti tahu apa yang mau saya tanyakan, ia langsung membuka percakapan dengan pertanyaan. “Sampean pasti mau tanya soal Kompas ya, Mas?”

“Ah, Paklik tahu saja. Iya itu, bagaimana menurut Paklik?” saya bertanya dengan setengah tersipu.

“Begini ya, Mas. Sebetulnya itu bukan urusan kita dan ndak perlu kita bahas. Kita juga belum tentu kenal dengan orang yang dipecat dan yang memecat itu, kan? Tapi karena sampean tanya, ya saya jawablah. Biar sampean ndak penasaran.

Sebelum saya menjawab pertanyaan sampean, saya mau berterus terang tentang apa itu pers. Pers itu memang sebuah barang dagangan. Dia dimulai dengan keinginan, dia digerakkan oleh modal dan ongkos produksi, dia ditawarkan pada iklan dan sudut-sudut jalan. Dia dibeli, dengan harga tertentu. Yang membikin dan menjualnya ingin memperoleh laba.

Orang-orang pers suka berpura-pura tentang itu. Mereka sering bicara tentang perjuangan. Tapi sudahlah. Toh tidak sepenuhnya (atau tak semuanya) mereka omong kosong. Ada sebagian yang melihat laba sebagai tujuan. Banyak yang melihatnya hanya sebagai alat — yang terkadang dilupakan — untuk memperbaiki kualitas dan mengembangkan pilihan-pilihan baru, dalam bacaan. Ada yang melihatnya dari sisi lain.

Tapi benar: pers memang bukan benda suci, Mas. Saya punya kawan, sesepuh di dunia pers. Sebut saja namanya Mas G. Setelah puluhan tahun bekerja di bidang ini, ia menyadari juga bahwa jurnalisme sebenarnya termasuk soal ‘kelaziman’.

Lima puluh enam tahun silam, Rebecca West menulis,

“Jurnalisme adalah kemampuan untuk menjawab sebuah tantangan, bagaimana mengisi halaman yang kosong.”

Tidak jauh dari itu. Tidak jauh lebih luhur. Halaman kosong tiap hari harus diisi. Maka, wartawan pun berangkat. Dia menyimak ke sana menyidik kemari: dia mencari berita. Beruntunglah dia jika suatu peristiwa yang dramatis terjadi. Dia tinggal tulis kejadian itu dan halaman kosong yang menantinya di kantor, yang menganga putih seperti liang hantu, bisa segera tertutup.

“Bagaimana bila tak ada peristiwa seperti itu, Paklik?” saya memotong penjelasannya.

“Jika ada peristiwa seperti itu, Mas, saya kira pers akan kewalahan. Para wartawan memang tak bisa sepenuhnya dikatakan makhluk mulia: mereka selalu mengharapkan sesuatu yang bikin gempar terjadi, meskipun tidak terlalu gempar hingga mereka tak bisa menuliskannya.

Tentu saja harus segera saya tambahkan kegemparan tidak selamanya identik dengan terjadinya peristiwa buruk. Wartawan bukan cuma mendapat berita karena sebuah bom meledak dan ratusan orang tewas. Wartawan juga akan dapat berita jika di Asian Games di Doha kali ini Indonesia, misalnya, merebut 9 medali emas – sesuatu yang tampaknya mustahil.

Berita memang bukan cuma soal pencopet dan koruptor. Di negeri yang penuh pungli, seorang yang menolak suap dan komisi justru layak ditulis di halaman pertama. Untuk mengisi ruang kosong.

Soalnya ya, Mas, cukup banyak orang yang tak puas menghitung semut di dinding dan membaca ramalan cuaca di negeri tropis. Dalam sebuah omong-omong yang sering diselingi menguap, kita suka mengharapkan seorang tamu lain tiba-tiba muncul, dari langit. Menunggu Godot, seperti dalam drama Samuel Beckett, adalah menunggu dengan percakapan panjang yang datar. Suatu situasi yang terasa sia-sia.

Bagaimanapun, jurnalisme bukanlah sesuatu yang datang menaiki kabar buruk. Jurnalisme hanyalah bertemunya keinginan kita yang wajar ini: mengelakkan hidup sebagai menunggu Godot.

”Tapi, konon, jurnalisme itu sekaligus mencemaskan ya, Paklik?” saya kembali menyela penjelasan Paklik.

“Benar, Mas. Media bisa berpengaruh sekali. Tulisan yang tersebar bisa menghasut. Pendapat khalayak ramai bisa terbentuk dan Napoleon — dalam keluhan yang termasyhur itu — lebih takut kepada empat surat kabar yang memusuhi ketimbang kepada 1.000 bayonet.

Napoleon mungkin suka hiberbola. Karena itu, marilah kita lupakan dia barang sejenak. Perlukah dia cemas bila yang dihadapi hanya sebuah koran dengan oplah 2.000, sementara ia hidup di negeri yang penduduknya, katakanlah, 20 juta? Mungkin perlu. Tapi mungkin Napoleon ini sudah tak bisa lagi membedakan, sebuah tulisan yang menyakitkan hatinya belum tentu berarti sebuah tulisan yang mengacau negeri (dan kedudukan) dia. Maklum, seseorang yang sudah lama tak dibantah biasanya memang jadi amat subyektif bukan?

Padahal, jurnalisme tak selamanya merupakan perpanjangan sebuah perubahan historis, pergolakan dan revolusi. Anthony Sampson pernah berujar,

“Di Amerika, jurnalisme cenderung dianggap sebagai sebuah perpanjangan sejarah, di Inggris, ia sebuah perpanjangan dari omong-omong.”

Agaknya tak cuma di Inggris. Jurnalisme di bagian dunia kita pun tak perlu dianggap dan menganggap diri begitu serius. Sebab, pers memang punya batasnya.

Ada seorang pemimpin Asia Tenggara. Namanya Cory Aquino, Cory yang bijak bestari. Bekas presiden Filipina. Ia mengatakan, dengan tepat,

“Media tidak membuat atau meniadakan pemerintahan, yang melakukan itu adalah tank dan, kadang-kadang tapi pasti, juga orang banyak. Bahkan, biarpun bersenjatakan kebenaran, kekuatan media rapuh. Tanpa bantuan rakyat, ia bisa ditutup dengan gampang, semudah mematikan lampu. Satu ancaman resmi kepada para pemasang iklan, satu renggutan pada suplai kertas, atau sepasukan tentara di depan pintu — dan penerbitan Anda yang terakhir pun akan jadi pidato perpisahan Anda …”

Barangkali itulah yang membuat Kompas memutuskan memecat wartawannya, Mas. Mungkin juga bukan cuma sekadar itu. Saya ndak tahu, sama seperti sampean.”

Ketika mengakhiri penjelasannya itu, saya lihat Paklik menghembuskan asap tembakaunya jauh-jauh, lalu menarik napas dalam-dalam. Ia seperti ingin membuang beban yang nyangkut di benaknya. Entah apa …

[*] A tribute to Bambang “last man standing” Wisudo.

§ 19 Responses to Kompas Pecas Ndahe

  • avatar andy a'o wae andy a'o wae berkata:

    Bambang wisudho tidak “the last man standing”, om, masih akan ada orang-orang yang seperti dia, dan akan selalu ada…hidup penerus wisudo…!

    yach, minimal sampai hari ini di pabrik itu, kang …. tapi, apa pun, kalau mbesuk-mbesuk sampean ketemu dia, tulung sampaikan simpati saya ya, ndes!

  • avatar andrias ekoyuono andrias ekoyuono berkata:

    mmfff..padahal KOMPAS itu sudah seperti Aa’ Gym, sama2 jadi ikon. Tapi nasibnya sedang sama, ikon pers pun ternyata juga punya cacat di mata publik, yah pers juga manusia 🙂

    iki mas pemburu kepala (aka head hunter) kok yo nyasar sampe sini, to? head hunter juga manusia ya .. 😀

  • avatar cahyo cahyo berkata:

    Ironi ya ndoro ???

  • avatar jt jt berkata:

    mungkin tidak ada pemecatan..mungkin yang ada adalah kelulusan..

  • avatar pitik pitik berkata:

    semua perjuangan pasti makan biaya ndoro,jer basuki mowo bea…lha kok ndilalah biayanya ini mas wartawan itu sendiri..

  • avatar atta atta berkata:

    dari awal saya telah menduga akan begini ujungnya
    phuff

  • avatar asf asf berkata:

    Kita nantikan sikap K0MP45 nanti.
    Tadi aksi solidaritas di depan K0MP45 dikawal puluhan polisi. Hingga membawa pasukan motor segala.

  • avatar blonty blonty berkata:

    nDoroKakung memang pinter! bisa-bisane nulis apik kaya kuwi, ya….. (rasane pingin sinau maning)

    padahal sing ngajari aku ki ria utari lo. kenal to …. 😛

  • avatar bangsari bangsari berkata:

    jangan-jangan ndorokakung sedang mengenang masa lalu saat dikuyo-kuyo MODE. 😀 semoga si mas juga bisa sehebat ndorokakung…

  • avatar kardjo kardjo berkata:

    Memang susah sih.. tapi kalau masalah bisnis hanya ada dua menurut mbahku society vs capitalism. Mana yang menang?? Tergantung juri dan wasit. Wasit-e pemerintah, juri-ne pasar. Mumet ra biso turu.
    Kadang kalau sudah gitu, jadi ngiri sama tukang becak atau anak ‘gepeng’ seperti di tulisan sampeyan yang blok M itu… kok isih iso turu puenakk koyo ngono kuwi.. piye..

  • avatar Hedi Hedi berkata:

    Jika Tempo bisa “menang” lawan TW, semoga mas Bambang juga bisa meraih hasil sama. Sebuah perjuangan melawan kapitalisme dan kekuasaan 😦

  • avatar fitri fitri berkata:

    yang bikin nggak habis pikir dan bikin aku terus gumun itu adalah penyekapannya. tega betul. belum lagi prakondisi sebelum dipecatnya mas wis. nggak tegel aku denger kabarnya. moga-moga semua jajaran pers membantunya dengan sungguh-sungguh. amin.

  • avatar manusiasuper manusiasuper berkata:

    Jadi berasa ada yang gimanaa gitu…
    Saya juga bekerja di media, dan jujur, ndoro kakung benar! We all trapped by media kapitalism…

    idealisme yang selalu kalah…

    Saya pernah mendapat berita tentang Pengusaha Kakap yang ditetapkan menjadi tersangka ilegal logging di Banjarmasin, thus, si pengusaha ternyata pemilik perusahaan selular pemasang iklan kami. Dan sang bos pun dengan kata-kata manis meminta dewan redaksi menunda berita tersebut untuk “sementara”…

  • avatar yati yati berkata:

    kerjanya bukan di corporate ndoro, tapi di kerajaan. pake disekap satpam, dihina2…mang apaan?

    ayo, kamu BERGERAK dong 😀

  • avatar anjar anjar berkata:

    kadang memang ironi. media yang katanya memperjuangkan demokratisasi, tapi justru tidak demokratis. yang katanya memperjuangkan HAM, justri menginjak-injak HAM karyawannya sendiri. yang katanya membela kaum yang lemah, justru melemahkan awaknya sendiri secara ekonomi, psikis, dan sosiologis.

    mbuhlah…. jaman memang sudah edan ndoro…

  • avatar Tukang Koran Tukang Koran berkata:

    Ngobrol sama siapa, mas? Sampe makan 3 kutipan gitu.

    lah sama kamu kan? lupa ya … 😛

  • avatar bowo bowo berkata:

    mbah tulung kie nggolek tembakaumarsbrand di tanjung priok kok susah , ada dimana ya letaknya?

  • […] Kasus pemecatan Bambang Wisudo serta penutupan majalah Komputerakt!f dan Snap ternyata memicu kemunculan tiga blog [relatif] baru. Tiga-tiganya, tentu saja, berkaitan dengan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang bermarkas di Palmerah, Jakarta Selatan. […]

Tinggalkan komentar

What’s this?

You are currently reading Kompas Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta