Modernisasi Pecas Ndahe

Januari 4, 2007 § 7 Komentar

Setelah jaringan internet njengking tempo hari dan masih terasa imbasnya hingga hari ini, ada yang menulis — dengan nada agak khawatir — tentang bagaimana sulitnya kita hidup tanpa internet.

Bayangkan, katanya, bagaimana kita akan berkomunikasi, transaksi, dengan orang lain di tempat yang jauh tanpa internet? Bagaimana kita bisa bekerja cepat dengan tanpa internet? Wah, dunia serasa mau kiamat ….

Dalam hati saya bertanya-tanya, lah kenapa harus tergantung internet. Mengapa kita harus menyerahkan hidup pada jaringan global itu? Bahwa kita perlu internet, dan dia membantu sebagian aktivitas kita, tentu tak harus membuat dia menjadi semacam penentu kehidupan kita bukan?

Paklik Isnogud yang saya tanya soal itu cuma tersenyum. Parasnya menunjukkan sisi bijak bestarinya. Dia lalu bercerita tentang Syah Reza Khan, pada suatu masa.

“Pernah, atas nama modernisasi, Syah Reza Khan memaksa orang Persia mengenakan pakaian Barat. Wanita bercadar diusir dari jalanan. Bahkan ulama diundang ke upacara resmi dengan ketentuan: istrinya harus ikut hadir tanpa cadar,” kata Paklik memulai ceritanya.

“Seorang sayid terkemuka di Kota Khoi yang melawan ditangkap, digunduli, dipasangi topi Eropah, disuruh pulang–dan esok harinya ia diketemukan mati di tempat tidur. Mungkin menanggung malu dan amarah yang tak terperikan.

Modernisasi, dengan kata lain, bisa berarti juga hilangnya kemerdekaan, Mas.

Tentu, tak selamanya desakan begitu kurang ajar dan begitu terang-terangan. Tapi kepedihan dan ketidak-berdayaan bisa saja terjadi di dalam wujud lain. Cobalah lihat contoh ini, yang kini kian terkenal, belakangan menjadi sesuatu yang lumrah: traktor di desa-desa.

Kecaman, bahwa teknologi modern di dalam lingkungan ini lebih hanya berupa ‘pengurangan ongkos’, dan bukannya penambahan produktivitas, rasanya masih kurang tepat: ‘modernisasi’ ini bahkan cuma mendesak orang untuk mempergunakan hal-hal yang sebenarnya tidak dibutuhkannya.”

“Memang pernah ada contohnya, Paklik?”

“Saya punya satu. Namanya I Gusti Ngurah Ceger. Dia petani, 58 tahun, asal Desa Tinjak Menjangan di daerah Badung, Bali. Ngurah Ceger punya cerita lain soal modernisasi dalam bentuk traktor itu.

Ngurah Ceger berujar:

Traktor itu mahal–harganya sekitar Rp 2 juta lebih. Kalau dibelikan sapi dapat 16 ekor. Lagi pula traktor cepat rusak, sedang sapi kalau beranak bisa menambah keuntungan. Ceceran oli traktor merusak tanah, sedang kotoran sapi bisa menjadi pupuk.

Nah, sewaktu bertemu Presiden Soeharto pada September 1980, dia terus terang mengaku tak menghendaki ‘modernisasi’, bila kata itu berarti traktor.

I Gusti Ngurah Ceger itu sangat beruntung Mas, karena ia punya kesempatan berbicara mengungkapkan pendiriannya. Berapa ratus juta petani di Dunia Ketiga, termasuk yang di Indonesia, yang tak punya kesempatan seperti itu? Berapa banyak orang kecil, yang ‘modernisasi’-nya diurus para pejabat, para birokrat dan para tokoh — sementara mereka sendiri tidak bisa bilang apa-apa.

Yang mereka ketahui hanyalah, bahwa tiap kali mereka bangun pagi, desakan kebutuhan baru bertambah. Yang semula bukan ‘keperluan’, kini kian terasa sebagai sesuatu yang diperlukan. Bila anak tetangga punya sepeda motor, maka anak sendiri pun perlu dibelikan sepeda motor. Iri hati dilembagakan di masyarakat.

Jorjoran sedikit demi sedikit bergerak jadi mekanisme sosial dan ekonomi. Dan yang kalah akan terdesak: modernisasi ikut menggeser tempat perlindungan dan jaminan kebersamaan yang lama.

Modernisasi pada akhirnya memang suatu permainan kekuatan. Ada yang akan tergusur, ada yang akan menggusur. Ada yang menang, ada yang telantar lemah.

Tapi jangan salah kira, di zaman seperti ini, yang lemah tak akan tinggal jadi gurun. Seperti kata Tagore:

Yang lemah berbahaya bagi yang kuat, sebagaimana pasir hanyut berbahaya bagi si gajah.

Sampean menangkap inti cerita saya, Mas?”

“Ngerti, Paklik,” jawab saya dengan mantap. “Internet, anak kandung modernisasi itu, kurang lebih sama juga dengan traktor kan, Paklik? Jadi jangan ikut-ikutan beli traktor kalau cuma mau mengurus sawah sepetak. Begitu ya?”

Paklik tak menjawab. Lagi-lagi ia cuma tersenyum dan berlalu dari hadapan saya. Dalam hati saya membatin, ah tumben. Baru kali ini saya langsung tahu maksud Paklik Isnogud. Eh, tapi jangan-jangan saya salah menangkap ya ….

§ 7 Responses to Modernisasi Pecas Ndahe

  • avatar Andry Andry berkata:

    Seperti kata Paman Tyo, perlu kematangan spiritual untuk tidak menggunakan hal-hal yang tidak dibutuhkan.

    Memilih dan memilah mana yang kebutuhan dan keinginan.

  • avatar Hedi Hedi berkata:

    Misalnya, urusan surat-menyurat, tak ada internet tapi masih bisa pake cara konvensional kan. Paling bedanya cuma di masalah waktu…

  • avatar Mbilung Mbilung berkata:

    Ngerti Paklik!!! Jadi kalau mau nginternet jangan pake traktor, harus pake anak sapi.

    Kirain pakai anakndobos … 😀

  • avatar Herman Saksono Herman Saksono berkata:

    Semula, pak tani purba mencangkul lahan pakai batu yang ditajamkan. Lalu ada yang nemu cangkul, sehingga pak tani jaman kemerdekaan mencangkul pakai cangkul. Lalu akhirnya ada yang bikin bajak yang akhirnya dipake Ngurah Ceger.

    Saya jadi ingat sewaktu saya cerita soal baju nenoteknologi yang gampang bersih dari noda, karena ukuran seratnya lebih kecil daripada partikel noda. Teman saya langsung menangkas,’jangan-jangan bajunya warnanya aneh, mahal, kalau dipake malah diketawain orang di jalan’. Ini membuat saya ingat petuah teman yang lain (teman saya banyak juga ya? :p ) kalau esensi teknologi adalah mengenhance si pemakai.

    Mungkin, walaupun cangkul dan traktor sama-sama hasil modernisasi, cangkul dan bajak diterima secara perlahan, tepat guna, dan memperhatikan kearifan lokal. Bahasa jawanya organic. Sementara si traktor, mungkin datang dengan sedikit memaksa dengan meyakinkan kita melalui angka-angka yang diolah agar mengaburkan realita. Hehehe.

    Ndak tau yaaaa kalau Internet ini masuk secara organik, atau sedikit memaksa. Yang jelas saya pakai internet atas dasar suka rela dan organik kok. :p

  • avatar pitik pitik berkata:

    wah..internet ga ada ya gpp, ganti indomie rebus biasa aja…

  • lha piye, kalo ga ada internet memang jadi repot, jeee…

  • avatar Abi_ha_ha Abi_ha_ha berkata:

    Modernisasi kok kethoke luwih berat di masalah modernisasi mental. Anda yang baca ini mungkin baru 1 atau 2 generasi saja dari masyarakat pertanian. Petani kita? ketekunan mereka hanya atas dasar naluri ‘macul nggo mangan’/ora macul ora mangan. Terlebih pertanian yang tidak pernah memasuki ‘industri’ dalam artian menjadi komoditas yang diintensifikasi. Terlebih penjajahan yang mengakibatkan pertanian=perbudakan, terakhir orde baru memanfaatkan pertanian sebagai alat politik ‘penyuap’ rakyat lewat beras murah yang lagi-lagi memperbudak petani.
    Siapa kita yang baru 1 atau 2 generasi saja dari leluhur yang masih memunguti lethong sapi? Yang masih berpikir ‘bekerjalah untuk hidup’ bukan ‘berkarya lewat bekerja’.
    Makanya kita belum bisa becus memberi nilai tambah pada pekerjaan kita. Sing penting wis kelakoni lan entuk gaji, hasilnya… yang naik haji kelaparan, kapal hilang ndak ketemu, bokong kepenuk lungguh di DPR malah ngen*** artis dangdutan, de’esbe de’esbe.
    Njur piye modernisasi di Endonesa ini? priatin tenan.

Tinggalkan Balasan ke Hedi Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Modernisasi Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta