Pembantaian Pecas Ndahe
April 17, 2007 § 22 Komentar
Hari masih pagi. Mahasiswa Institut Politeknik Virginia (Virginia Tech) di Blacksburg, Amerika, bersiap-siap memulai kelas pertama.
Tiba-tiba datang seorang lelaki. Wajahnya dingin. Ia menenteng senjata. Magasinnya penuh. Sebentar kemudian, tanpa ba-bi-bu, senjatanya menyalak dan menyiramkan peluru.
Dalam sekejap, puluhan mahasiswa roboh dalam darah, 32 orang di antaranya mati. Ini pembantaian namanya — sebuah horor di luar batas. Dan, Amerika pun menangis di Senin pagi kemarin.
Duka itu mungkin terasa jauh bagi kita di Indonesia sini. Tapi, tetap saja tragedi itu menyentak. Bagaimana seandainya salah satu korban itu anak, kakak, adik, keponakan atau sepupu kita?
Ah, saya nyaris tak bisa membayangkan betapa mengenaskan insiden itu. Bayangkan, puluhan anak muda meninggal begitu saja. Tanpa sebab, tanpa sempat protes. Apa yang salah?
Saya ingat, Paklik Isnogud pernah bercerita panjang tentang betapa berbahayanya senjata di tangan para maniak. Ah, saya jadi merindukannya saat ini. Kapan Paklik pulang ya?
Waktu itu, dalam keremangan senja yang membalut parasnya, Paklik menuturkan ceritanya dengan nada bergetar.
“Kepemilikan senjata selalu menghasilkan suatu wewenang — dan lahirlah suatu kelas di atas yang bisa mengontrol, mengatur, dan memungut, Mas.”
Saya diam saja sambil membayangkan sebuah dunia yang chaos dan penuh kesewenang-wenangan.
“Di Jepang, misalnya, kita mengenal kaum samurai yang beratus-ratus tahun mengkhususkan diri dalam keahlian di bidang senjata dan kekerasan, dengan itu dapat hidup tanpa memproduksikan pangan atau pun barang lain yang mereka konsumsikan. Di India lahir kasta kesatria — kelas prajurit yang kemudian juga jadi kelas para raja.
Pada saat penggunaan kekerasan jadi hak khusus orang-orang tertentu satu pertanyaan dasar timbul: bagaimanakah menjaga agar ‘orang-orang tertentu’ itu tak jadi ‘mengerikan’ di luar batas? Siapa pula yang akan memberi batas, Mas?”
Saya tahu ini pertanyaan retorik. Saya pun tak menjawab.
“Celakanya, kekerasan tidak mulai, dan tidak berhenti di abad ke-21 ini, Mas. Apalagi kini kekerasan punya banyak dalih. Bahkan tuntutan yang adil.
Tiap pembunuhan bahkan yang sewenang-wenang, seakan pandai menemukan alasan yang beradab. Tiap kesewenang-wenangan punya dalih, kadang-kadang filsafat. kadang-kadang ideologi atau sekadar statistik. Rasa malu telah kita simpan, jauh-jauh, di kolong yang kelam.
Jean Paul Sartre memberi pengantar buat risalah Franz Fanon tentang perlunya kekerasan dalam pembebasan sebuah bangsa:
“Menembak roboh seorang Eropa berarti membunuh dua ekor burung dengan sebutir batu: untuk menghancurkan sang penindas dan orang yang ditindasnya sekaligus.”
Dengan kata lain, pembunuhan terhadap si penindas juga berarti pembebasan jiwa bagi si tertindas.
Saya tak bisa menyalahkan Sartre, Mas. Bahkan kadang asyik juga menyaksikan bagaimana kekerasan-untuk-keadilan macam itu diagungkan dan diberi warna-warni: kisah Bima di medan Perang Kuru, kisah Bruce Lee di layar film.”
Saya membatin, yang semacam ini tentu saja sama sekali berbeda dengan aksi kekerasan para praja senior di IPDN itu: jauh dari sesuatu yang agung, apalagi warna-warni.
IPDN? Aha, ini jenis kesewenang-wenangan yang lain. Di situlah kekerasan bukan hanya tumbuh subur, melainkan juga terpelihara rapi.
Sayang, Paklik belum pulang sehingga saya bisa bertanya lebih banyak lagi. Paklik, cepat pulang dong …

Bubarkan IPDN.
selamat ndoro telah ikutan ngisi petisi online : Bubarkan IPDN 😀
587. Ndoro Kakung Pecas Ndahe :
Yah supaya budaya kekerasan berhenti dan negara tak perlu keluar Rp 145 miliar per tahun untuk mengongkosi IPDN.
kekerasan dan kelaliman yg melebihi batas menjadi pembatasnya sendiri; jika rasa muak sampai keubun-ubun, maka hanya masalah waktu. kadang pemicu sederhana bisa meletupkan reaksi berantai yg dahsyat.
Hm… gak heran juga aku dengan semua itu. Dunia kini mang dagh gak pake pikir panjang. Mungkin karena pengaruh acara TV dan game yang sedikit banyak “bisa” ngubah pola pikir kita tentang hidup. Rak nggeh to ndoro? 😀
peluru tak punya mata, yg pegang senjata ga punya hati
Begitulah kalau stress tidak dapat dikelola dengan baik, dan tidak ada iman/takwa yang mengerem tindak perilaku barbar yang mana ini semua adalah bisikan setan 🙂
Pagi sekali berita itu terdengar di radio saat gigi ini sedang disikat :), sampe gosok gigi deket radio jadinya 🙂
Ndoro..ternyata salah satu korban berasal dari Indonesia. Putra Medan, Partahi Lumbantoruan, mhs Tek. Sipil, Virginia Tech. University.
Turut berduka cita
Ndoro, cuman mau mengkonfirmasi:
Dan, Amerika pun menangis di Minggu pagi kemarin
kalo info dari kompas, kejadiannya hari Senin, bukan?
atau saya salah tangkap ‘majas’ yang Ndoro pakai? 😀
terinspirasi dari “Counter Strike” kali ya….
gila banget… kalo korbannya aja 32, berapa peluru yang di muntahkan….
si penembak ternyata dari korsel, kalo dari timur tengah aja…dah masuk kategori “Al-Qaedah”
I’m Sorry.
turut berduka cita. makasih tanda tangannya ( eh, beneran??? )
ahhh …..
kronologisnya kan …
07.00 penembakan di amber hall. Seung Cho sang penembak jitu dengan sukses merobohkan 2 mahasiswa.
09.20 pihak Univ Virginia Tech mengirimkan email tentang penembakan, tapi tidak menyalakan alaram tanda bahaya, atau penghentian aktifitas kuliah.
11.00 Harper Hall, lagiiiiii 30 orang tewas.
padahal ada jarak hampir 4 jam dari penembakan pertama, kok kuliah masih diterusin ya?
1. ga lama lagi amerika bakal mempersulit orang korsel mendapatkan visa.
2. masyarakat amerika memang perlu kembali kepada Yang Maha Kuasa.
Ndoro, bukannya 1 orang warga kita juga jadi korban, kabarnya Mahasiswa S3 asal medan
ada orang Medan juga tuh yang tewas di Virginia. Apa perlu kampus itu juga dibubarkan seperti IPDN juga?
Bubarkan kampus di Virginia… Huhahahaha…
wah gawat neh…
lama2 budaya nembak2 mati orang bisa menjalar ke remaja indonesia neh 😦
paklik itu bijak juga ya?
Untung nang Umaerika. coba nang Indon pasti nganggo clurit. Ternyata mrik kecolongan juga ya, ndara? teroris apa bukan tuh? kenapa kaga sekalian aja pentagon dimasukin, entarkan keluar statemen “al qaeda gaya baru” hi…hi….
…..Kabur…….bur….
turut berduka cita..
btw,udah telpon paklik ndoro ? udah pastikan pelakunya bukan paklik ? hihihi
Turut berduka cita, semoga tidak ditiru di tanah air. Menurut laporan pelaku penembakan adalah orang Korea, coba kalau orang Arab atau Indonesia pasti dibilang jaringan al qaeda atau alumni ngruki.
seandainya pemilikan senpi di Indonesia longgar kayak di Amerika, tentu jauh lebih banyak yang mati, terutama di IPDN….
kepada keluarga Mora, turut belasungkawa…. hanya itu yang bisa saya lakukan
bener-bener deCh..
genDenK aBiez!!
dOca beCar tu PaSti’na..
jngn d tiruU yaCh teman2..(“,)