Phnom-Penh Pecas Ndahe

April 19, 2007 § 12 Komentar

Hari-hari ini, 28 tahun yang silam, adalah masa yang mencemaskan di Kamboja. Pada 17 April 1979, kota Phnom-Penh jatuh. Pasukan berbaju hitam berkalung sarung yang kumuh masuk.

Itulah awal masa yang kemudian tercatat dengan bulu roma berdiri: hampir tumpasnya bangsa Kamboja, di ujung abad ke-20 yang beradab.

Saya mendapatkan cerita ini dari Paklik Isnogud. Ia menuturkannya dengan memesona, tapi terasa betul ada yang mencekam dari kisah itu. Saya sampai meriding saat membayangkannya.

Bayangkan, sebelum di sepanjang sungai Mekong penuh oleh ratusan kepala manusia yang disate, dari kota Phnom-Penh hampir seluruh penghuni digiring ke udik dan tak pernah kembali. Dahsyat, kan?

Lalu Phnom-Penh pun jadi kota hantu. Atau hampir. Di sebuah jalan yang dulu elegan terletak kedutaan Prancis, di tanah lapang lebih 100 meter tiap sisinya dan berisi tiga buah gedung bertingkat dua. Di situ sisa-sisa dari masa “lama” Kamboja mencoba bertahan, sembunyi, entah untuk beberapa hari.

Tak ada kesaksian yang lebih mencengkam dari yang ditulis pendeta Francois Ponchaud. Ia bercerita bagaimana ke dalam gedung ini berlindung para diplomat Prancis, PBB, anggota Palang Merah, jurnalis, dan kira-kira seribu orang Khmer, Cina, dan Vietnam.

Di antara orang Khmer itu terdapat para tokoh rezim yang kalah — yang bila jatuh ke tangan Khmer Merah tak akan mungkin kembali lagi. Musnah ditelan gelap.

Sampai kapan mereka akan tetap di situ? Sepekan, sebulan, setahun? Hidup di dalam wilayah kedutaan itu adalah hidup yang terkepung.

Jean Dyrac, Wakil-Konsul Prancis dan satu-satunya orang pemerintah Prancis yang tertinggi di negeri yang sunyi dan suram itu, tak berhasil menemui orang yang berwewenang dalam pemerintahan baru.

Di luar pagar kedutaan, beberapa orang bersenjata beberapa kali mencoba memasuki gerbang dengan paksa. Mereka katanya mau cari orang Amerika. Dengan bujukan sekuat tenaga, mereka dibikin paham tentang arti “ekstra-teritorialitas. ”

Namun, Sabtu 19 April, konsep “ekstra-teritorialitas ” itu tak berlaku lagi. Tiba-tiba di pagi hari tiga pejabat tinggi rezim baru muncul di depan gerbang kedutaan. Mereka mengajukan ultimatum, “Usir para pengkhianat dari kedutaan ini!”

Yang disebut “pengkhianat” cukup jelas: sejumlah pejabat tinggi rezim lama, terutama Pangeran Sirik Matak, yang hukuman matinya sudah dijatuhkan Khmer Merah sebelum pagi itu.

“Tapi mereka telah minta pada Prancis suaka politik, dan kedutaan ini wilayah kami yang tak bisa dilanggar!” Jean Dyrac mencoba membantah.

Tentu saja percuma. Pejabat Khmer Merah itu menyahut dengan pidato ringkas: “Kami tuan dari negeri kami sendiri, tanah ini punya kami. Dalam perang revolusioner tak ada itu ekstra-teritorialitas dan tak ada previlese.

Dengan kata lain: sang Wakil Konsul harus menyetujui tuntutan pasukan yang menang itu, bila ia ingin menyelamatkan hidup orang Prancis dan warganegara asing lain.

Para “pengkhianat” pun diberitahu akan ultimatum itu. Pangeran Sirik Matak rupanya sudah memperhitungkannya. Dengan sikap agung, ia mengucapkan terimakasih kepada negeri Prancis atas keramah-tamahan yang telah diterimanya.

Dijabatnya tangan Wakil Konsul, lalu ke luar bersama rekan-rekannya yang lain — menyerahkan diri ke tangan Khmer Merah yang telah menantikan mereka dengan sebuah jip.

Ia dan yang lain-lain tak pernah kembali. Semua juga tahu mereka tak akan pernah kembali. Jean Dyrac mengantarkan tamunya ke gerbang. Sampai di sana emosi mengalahkannya. Ia berdiri menyandarkan kepalanya ke salah satu pilar. Air matanya mengalir, mulutnya terus bersuara:

“Kita bukan lagi manusia, kita bukan lagi manusia …”

Paklik mengakhiri ceritanya dengan mata basah. Saya tak tahu benar apa penyebabnya. Mungkin dia ikut hanyut oleh kesedihan Dyrac, barangkali dia terharu atas ketegaran Pangeran Sirik Matak. Mungkin karena sebab lain.

Saya tak tahu. Saya cuma ingat kita juga pernah mengalami masa-masa yang membuat kuduk meremang. Tahun-tahun yang penuh kecurigaan. Menyakitkan. Ketika kita tak tahu siapa lawan, siapa kawan. Yang ada hanya ada dua pilihan: kita atau mereka.

§ 12 Responses to Phnom-Penh Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan ke yati Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Phnom-Penh Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta