Pemimpin Pecas Ndahe
Mei 7, 2007 § 13 Komentar
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengumumkan susunan kabinetnya yang baru sore ini. Lima nama baru masuk, dua wajah lama sekadar bergeser posisi.
Tapi, bukan perombakan kabinet itu benar yang menarik perhatian saya. Saya lebih tertarik pada wajah Tuan Presiden yang ketika mengumumkan nama-nama menteri baru itu terlihat sangat capek. Ia sepertinya kurang tidur, mungkin juga karena energi dan konsentrasinya telah terkuras untuk mengevaluasi kinerja para pembantunya itu.
Pidatonya datar — seperti sudah kita duga — dan ringkas saja. Ia seperti ingin buru-buru menyudahi kalimatnya supaya bisa segera istirahat di kasur dan bantal yang empuk. Tapi, mana bisa? Ia seorang presiden. Banyak tugas dan pekerjaan lain yang menunggu. Reshuffle kabinet pasti hanyalah sebutir pasir di tengah lautan pekerjaannya.
Paklik Isnogud cuma tersenyum ketika saya mengungkapkan kesan saya terhadap Tuan Presiden. Ia malah menguap, lalu menjawab, “Saya juga ngantuk, capek, Mas, hehehe … ”
“Halah, pasti sampean bosen ya karena saya tanya terus? Atau Paklik ndak tertarik pada urusan gonta-ganti kabinet?”
Lagi-lagi Paklik memamerkan senyumannya yang meneduhkan.
“Saya teringat pada sebuah cerita, Mas. Entah saya baca di mana.”
“Cerita apa, Paklik?”
“Cerita tentang seorang presiden. Syahdan ia datang dengan wajah capek, mirip seorang eksekutif yang sudah kehilangan nafsu. ‘Saya ingin berhenti,’ ia mendesah. ‘Saya ingin melakukan hal-hal yang lain.’
Umurnya 77 tahun — waktu itu. Orang mengatakan ia cukup sukses. Ia telah memimpin sebuah pemerintahan lebih dari tiga dekade. Ia dianggap pemimpin yang menghasilkan birokrasi yang efektif dan negara yang makmur.
‘Saya ingin berhenti, tapi saya tak tahu siapa yang tepat mengganti saya,’ katanya. ‘Dan saya juga tak tahu bagaimana caranya memilih pegganti saya.’
Cerita ini mungkin tak pernah terjadi dalam kehidupan kita, Mas. Tapi, ia bukan sesuatu yang mustahil.”
“Sik, sik … sepertinya saya malah pernah hidup dalam cerita itu. Ini tentang presiden kita itu, kan?”
Paklik tak menjawab. Ia malah membelokkan cerita tentang orang lain.
“Saya tak hendak bercerita tentang presiden itu, Mas. Saya mau bercerita tentang bagaimana sulitnya memilih orang yang pas untuk menggantikan seseorang. Ini tentang suksesi.
Syahdan sebuah perusahaan baja Jerman, Hoesch, punya seorang bos bernama Detlev Rohwedder. Pada suatu saat, ia meninggalkan perusahaan itu buat sementara, untuk memimpin Treuhandanstalt, badan yang bertugas menswastakan firma-firma yang dahulu ada di Jerman Timur.
November 1990, Rohwedder memutuskan terus bekerja di Treuhandanstalt. Posisinya kosong. Siapa penggantinya, tak disiapkannya dengan baik. Baik direktur keuangan maupun direktur pemasaran bersaing untuk menduduki posisi itu.
Setelah beberapa bulan kemudian, dan yang ditunjuk oleh dewan komisaris ternyata orang lain di luar Hoesch, sang direktur keuangan minta berhenti.
Ada yang tak enak dalam peristiwa seperti itu — dan bukan hanya soal perasaan. ‘Perselisihan begitu bisa mencederai perusahaan,’ tulis The Economist dalam sebuah analisis 9 Maret 1991.
‘Selama pergulatan yang berkepanjangan untuk kepemimpinan, keputusan-keputusan penting yang strategis jadi tertunda, citra perusahaan di masyarakat jadi cacat, dan kepercayaan bank bisa rusak. Bahkan, setelah perselisihan diselesaikan, keretakan yang mendalam sering masih tersisa dalam perusahaan itu.’
Mengganti pemimpin memang bukan perkara mudah — terutama apabila posisi pemimpin begitu dominan, begitu menentukan, dan begitu tinggi di pucuk sunyi.
Sebab itu, orang cenderung memilih kontinuitas antara pemimpin lama dan pemimpin baru karena orang mengharapkan semacam garansi: semoga penggantian pimpinan, proses yang musykil itu, tak menghasilkan buah yang salah.
Tapi, ‘kontinuitas’ punya risikonya sendiri. Bisakah Jan Timmer, seorang veteran dalam perusahaan Philips, misalnya, membawa Philips ke arah yang tak mengulangi kesalahan lama? Tidakkah memilih kontinuitas cenderung melahirkan produk fotokopi? Bukankah itu jalan ke arah terusnya sebuah langgam dan strategi yang ada biarpun langgam dan strategi itu keliru? Apalagi jika si pemimpin tua yang memilih sendiri penggantinya?
Tidak selamanya, memang. Menurut The Economist pula, menjelang Armand Hammer meninggal, ia menunjuk Ray Irani untuk memimpin Occidental Petroleum. Irani ternyata tak cuma membebek pak tua yang otoriter itu. Ia membuat perubahan radikal dan berhasil.
Kita pun ingat akan Spanyol, ketika Jenderal Franco mangkat dan menunjuk Juan Carlos sebagai kepala negara: raja yang muda itulah yang membawa Spanyol ke arah demokrasi seperti sekarang, tanpa gejolak, lebih mantap, setelah berpuluh tahun mengkeret di bawah otokrasi Franco.
Occidental Petroleum dan Spanyol barangkali bernasib mujur. Tapi, ada yang lebih celaka. Pada umur 26 tahun, Warwick Fairfax meneruskan kepemimpinan perusahaan keluarganya, John Fairfax & Sons, sebuah konglomerat media Australia. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan mencoba aneh-aneh dan terlibat utang besar. Dan bangkrut.
Walhasil, seorang pemimpin tampaknya memang tetap diuji pada saat ia tak ingin bekerja lagi. Banyak perusahaan yang telah terbukti berhasil di dalam tes itu. Tapi tak semua perusahaan punya rencana dalam perkara suksesi.
Bahkan, menurut survei Korn Ferry International, sebuah firma yang menjual jasa merekrut para eksekutif, ada lebih dari 100 perusahaan top di Amerika tak tahu bagaimana caranya memilih pengganti bos mereka.”
“Memangnya bagaimana sih, cara yang mujarab untuk menyiapkan pengganti, Paklik?”
“Itulah soalnya, Mas. Tampaknya tak ada sistem dan prosedur yang bersih dari risiko, dan tak ada yang bebas dari cacat. Apabila yang dipertaruhkan ialah sesuatu yang besar sekali harganya, risiko dan cacat memang akan tambah mengancam.
Soalnya kemudian: siapakah, lapisan dan pihak yang manakah, yang paling berat akan menanggung risiko.
The Economist menulis, ‘Sebuah birokrasi yang luas, yang bolong-bolong oleh vested interests, dapat melahirkan seorang calon hasil kompromi yang tak layak untuk memimpin seluruh perusahaan.’
Maka, berbahagialah bila bisnis sampean, misalnya, belum jadi oktopus yang kegemukan, punya sistem suksesi yang baik, dan pernah diuji dalam praktek — serta bernasib mujur. Tanpa itu, que sera sera sajalah.”
“Jadi kesimpulannya apa, Paklik? Siapa pun menterinya, minumnya teh gendul juga?”

Semoga reshuffle ini akan membuahkan hasil yang menguntungkan orang indonesia
hm, ini tulisan menyongsong th 2009? 😉
wah saya pikir ngomongin 2009.
yahhh….
que sera, sera.
sejak jadi president, wajah SBY gak seger lagi. kantung matanya selalu gede. kasian
“lha gimana saya bisa membangun, saya jadi menteri kan cuma 2,5 tahun” kelak adalah justifikasi kuno atas ketidakberhasilan ndoro.
ayo pindah neng negoroku wae … 🙂
lha saya denger2 kemaren, katanya ndoro diangkat jadi menteri apa gitu, gantiin menteri apa gitu…wakakaka…
when I have children of my own
He ask me, mother what whould I be?
Will I be handsome, Will I be rich?
I said him tenderly
que sera sera
Whatever will be will be
the future aren’t to see
que sera sera
what will be will be
*hehe..ena beuhh lagunya kang…=)
Siapa pun ndoronya, siapa pun mentrinya, teh gendul minumannya.. TEUTEUP.. gak maju2.. 😀
resafel itu jauh panggang dari api. sudahlah…
masih beruntung TUKUL drpd SBY…
Tiap malam Tukul reshuffle tokohnya,
SBY baru dua kali….
Yang aneh, yang ditunjuk jadi menteri baru kok malah senang tur ngguya-ngguyu mesam-mesem. Kethoke dhadhi pejabat ki akeh profite daripada rugine.
makanya banyak perusahaan minta bantuan saya untuk nyariin pemimpin 🙂