Mao Pecas Ndahe

Mei 10, 2007 § 9 Komentar

Saya mengetahui selarik kalimat yang menggetarkan itu dari Paklik Isnogud ketika kami mengenang tragedi Mei 1998 [alias revolusi yang tragis itu].

Hari-hari ini hawa Jakarta memang mengingatkan kami pada peristiwa memedihkan sembilan tahun yang silam itu.

Paklik bercerita bahwa kalimat itu sebetulnya pesan berbentuk sajak yang ditulis Mao Tse-tung (Mao Zedong) pada 1976 untuk istrinya, Chiang Ching (Jiang Qing), sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Roxane Witke, setelah wawancaranya yang terkenal dengan wanita itu.

Menurut Paklik, kalimat lengkap dari pesan itu bunyinya begini:

Kata-kata yang sedikit ini mungkin pesanku yang terakhir untukmu. Hidup manusia terbatas, tapi revolusi tak mengenal tepi. Dalam perjuangan selama sepuluh tahun terakhir ini aku telah mencoba mencapai puncak revolusi, tapi aku tak berhasil. Kau mungkin bisa mencapai yang tartinggi. Jika kau gagal, kau akan terjun ke dalam ngarai yang tak terukur dalamnya. Tubuhmu akan lumat. Tulangmu remuk.

Kita ndak tahu persis bagaimana nasib Chiang Ch’ing kemudian, kecuali bahwa dia — dalam tata kekuasaan — memang telah jatuh ke ngarai yang mengerikan. Padahal dulu ia hampir merupakan wanita paling berkuasa di dunia. Sebelum kemudian segala jenis makian dan kebencian dimuntahkan kepadanya.

Rasanya jadi jelas apa yang ingin dilukiskan oleh Mao, Mas. Jika ia sendiri menyatakan bahwa ia tak berhasil mencapai ‘puncak revolusi’, ia pastilah bukan si ‘mahakuasa’ di Tiongkok modern.

Setiap rakyat memang beramai-ramai memasang gambarnya, mengutip kata-katanya (bagaikan doa) dan menyatakan kepatuhannya kepada sang Ketua — tapi itu rupanya tak menjamin suatu kesempatan yang penuh bagi Mao.

Bukan karena kesetiaan itu pasti palsu, melainkan karena memang tidak ada jaminan bagi siapa pun bahwa kekuasaan bisa bekerja sampai penuh. Mao Tse-tung kemudian menemui ada musuh dalam partainya. Ia bahkan merasakan bahwa tempat tinggalnya disusupi mata-mata.

Dalam cerita Chiang Ch’ing itu disebutkan bagaimana Lin Piao, orang yang ditunjuknya jadi calon penggantinya, ternyata kemudian meracuni makanan Mao secara pelan-pelan. Dan kenyataan bahwa Mao tak bisa menjamin masa depan isterinya sendiri, memperlihatkan sisi tragis dari kekuasaan itu sendiri, Mas.

Dan, Mao sebetulnya bukan kali itu saja membentur tembok. Sebelumnya, ia juga pernah bertekad menjadikan Cina setingkat Inggris dalam waktu 15 tahun. Negeri petani itu harus jadi negeri industri, secara cepat, katanya. Sebuah ‘loncatan besar ke depan’ harus diayun.

Mao, dengan mulut tipis seorang tukang sulap raksasa, mengucapkan itu pada Januari 1958. Lalu seluruh Cina pun bergerak. Sejarah sedang disusun dengan gemuruhnya — sampai suatu ketika orang tersadar bahwa manusia memang tak boleh melecut musim.

Sayangnya, kesadaran itu, di Cina waktu itu, terlambat. ‘Loncatan besar ke depan’ Mao adalah loncatan yang akhirnya menabrak dinding Tiongkok, kenyataan yang tua itu

Dan tahukah sampean, akibatnya sungguh fatal. Cina nyaris luluh lantak. Seorang ahli, setelah menghitung cacah jiwa periode 1958 sampai beberapa tahun sesudahnya, memperkirakan 27 juta orang tewas akibat ‘loncatan besar’ itu.

Tentu saja jumlah korban itu tak sekaligus hanya karena pengerahan tenaga massa yang menakjubkan itu. Mungkin pula penghitungan sang ahli meleset. Tapi, banyak kesaksian dari masa di akhir tahun 50-an itu berkisah tentang gelombang manusia yang besar dan benturan kesakitan yang panjang.”

Paklik berhenti sejenak, lalu melanjutkan kisahnya, “Revolusi, loncatan besar, sering kali memakan anak-anaknya sendiri, Mas.”

Saya merenung lama untuk mencerna cerita Paklik sebelum akhirnya menghela napas seraya mengenang Jakarta sembilan tahun yang lalu, persis pada hari-hari ini …

§ 9 Responses to Mao Pecas Ndahe

  • avatar Mbilung Mbilung berkata:

    mirip dengan tahun “nol” nya pol pot ya ndoro?

    iya, kang. revolusi kebudayaan itu tumpes kelor 😦

  • avatar balak6 balak6 berkata:

    mari kita ikuti revolusi versi Ndoro…. revolusi blog.

    gimana caranya tuh? 🙂

  • avatar Herman Saksono Herman Saksono berkata:

    Artinya apa ndoro? Revolusi akan kedodoran kalau diayun terlalu cepat?

    karena manusia tak bisa melecut musim.

  • avatar peyek peyek berkata:

    karena revolusi dan loncatan besar makan korban, karena itu pula negeri ini nggak berubah-berubah, lha kadang teman sendiri jadi korban ndoro.

    itu namanya menggunting dalam lipatan.

  • avatar dede dede berkata:

    Revolusi oh Revolusi…

    Negara kita yang tercinta ini memang perlu revolusi mental besar besaran, ndoro…

    Mei, sembilan tahun lalu…cerita yang seharusnya bikin seluruh rakyat negeri ini menghela hafas sedih, terharu lalu introspeksi diri, tapi sungguh ronis bagiku, kejadian itu waktunya bersamaan dengan ultah istriku.
    Entah aku harus b’sedih ato ikut pesta makan makan ngerayain hari itu.

    tumpengan trus nglarung sendal jepit saja, mas 🙂

  • avatar yati yati berkata:

    plok plok plok….
    (bisanya tepuk tangan. ma kasih untuk postingan ini ndoro…! lagi butuh setoran moral)

    menjura dalam-dalam … 🙂

  • avatar firman firdaus firman firdaus berkata:

    “Manusia memang tak boleh melecut musim”. Ini quote yang bikin merinding ndoro…

    setubuh, man. kutipan itu memang menggetarkan dan membuat bulu kuduk berdiri.

  • avatar Hedi Hedi berkata:

    “…revolusi tak mengenal tepi…”

    Bahkan revolusi bisa menggilas apa saja yang ada, termasuk penggagasnya sendiri dan hal yang semestinya tak direvolusi.

  • avatar dendi dendi berkata:

    ROFLMAO
    sing penting komen sik.
    maap ya ndoro.. :-p

Tinggalkan Balasan ke dendi Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Mao Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta