Audisi Pecas Ndahe
Oktober 19, 2009 § 69 Komentar

Di panggung Puri Cikeas itulah sebuah pertunjukkan berlangsung. Para aktor dan aktris berjalan terbungkuk-bungkuk manis sekaligus takzim. Paras sumringah. Senyum cerah. Lalu tangan yang melambai pada para juru foto. Lampu kilat menyala. Kamera televisi menyorot.
Dan sebuah teater pun dimulai. Tapi ada pula yang menyebutnya sebagai sinetron kejar tayang.
Entah mana yang benar. Saya hanya jadi teringat pada novel Milan Kundera pada 1990. Novel itu dalam bahasa Ceko disebut Nesmrtelnost dan dalam bahasa Inggris disebut Immortality. Di novel itu, Kundera memperkenalkan sebuah istilah baru: “imagologi”.
Kata ini merangkum banyak hal yang sebenarnya sama: kegiatan biro iklan, manajer kampanye politik, ahli desain, penata rambut, dan tentu saja para bintang pertunjukkan. Sebuah pencitraan. Imaji yang dipoles-poles.
Adalah layar televisi yang menasbihkan pencitraan itu menjadi sebuah drama. Tanpa air mata. Yang penting mencuri perhatian orang. Meski lama-lama banyak yang muak juga. « Read the rest of this entry »