Soeharto Pecas Ndahe
Oktober 5, 2009 § 49 Komentar
Siapakah sesungguhnya Letkol Untung? Dalang G30S atau sekadar operator? Benarkah dia mendapat restu dari Soeharto?
Dia penerima Bintang Sakti, komandan resimen elite Tjakrabirawa. Pada 1 Oktober 1965, dia menculik para jenderal TNI Angkatan Darat. Tapi bagaimana sesungguhnya peran tokoh ini masih remang-remang. Dia Letnan Kolonel Untung.
Koran Tempo edisi Senin, 5 Oktober 2009, menurunkan laporan lengkap tentang salah satu tokoh penting dalam lembaran hitam sejarah Indonesia ini. Begitu beredar, edisi ini memicu geger. Ia menjadi pembicaraan di jejaring sosial. Sebuah milis terkemuka juga menjadikan sampul depan koran cergas itu sebagai salah satu topik pembicaraan hari ini.
Apa pemicunya? Koran Tempo menulis bahwa sejumlah saksi menuturkan, Gerakan 30 September 1965 yang dikendalikan Untung disebut-sebut mendapat “restu” dari Soeharto (almarhum). Menurut saksi, pada dinihari 1 Oktober 1965, saat pasukan Untung bergerak menculik para petinggi Angkatan Darat, Soeharto sempat melintasi di depan kerumunan. Berarti Soeharto sudah tahu lebih dahulu tentang aksi penculikan para jenderal?
Dalam bukunya, Soeharto sudah membantah kabar itu.
Nah, untuk mengetahui lebih jauh mengenai misteri kisah itu, saya turunkan lagi di sini isi laporan utama Koran Tempo itu. Semoga membantu mereka yang belum kebagian edisi cetaknya. Artikel ditulis oleh Erwin Dariyanto dan disunting oleh Seno Joko Suyono.
***
Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria saling berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno.
Suara Untung bergetar. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih,” kata Untung kepada Soebandrio.
Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.
Keyakinan Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu “misteri” tragedi September. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dan Soeharto.
Memperingati tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi tentang tokoh ini, bahkan dari sejarawan “Data tentang Untung sangat minim, bahkan riwayat hidupnya,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
***
Tempo berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko, seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe adalah orang tua Suhardi.
“Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi,” ujar Suhardi. Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: Si Kus. Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering menginap di rumahnya. Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi badannya gempal. “Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina,yang membuka praktek-praktek perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya,” kata Suhardi tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. “Saya yang mengantarkan Untung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan yang ke arah Sriwedari.”
Setelah Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. “Batalion ini sangat terkenal di daerah Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia),” kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.
Clash yang terjadi pada Desember 1949 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. “Untung kemudian masuk Korem Surakarta,” katanya. Saat itu, menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. “Mungkin perkenalan awal Untung dan Soeharto di situ,” kata Suhardi.
Keterangan Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui, Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto dan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan perkenalan mereka sejak di Solo.
Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders.
Di Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya. Bersama Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Dalam sejarah Indonesia, hanya beberapa perwira yang mendapatkan penghargaan ini. Bahkan Soeharto, selaku panglima saat itu, hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat di bawah Bintang Sakti.
“Kedua prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan Soeharto,” kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.
Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.
Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa. “Adalah menarik mengapa Soeharto merekomendasikan dua kompi batalion Banteng Raiders masuk Tjakrabirawa,” kata Suhardi. Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. “Pasti Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.”
Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung berhubungan dengan presiden.
Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung. Untung, menurut dia, sosok yang tidak mudah bergaul dan pendiam.
Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
Menurut Maulwi, kedekatan Soeharto dengan Untung sudah santer tersiar di kalangan perwira Angkatan Darat pada awal 1965. Para perwira heran mengapa, misalnya, pada Februari 1965, Soeharto yang Panglima Kostrad bersama istri menghadiri pesta pernikahan Untung di desa terpencil di Kebumen, Jawa Tengah. “Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?” Menurut Maulwi, tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari Tjakra, tidak ada yang hadir,” kata Maulwi.
Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. “Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung,” tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi. “Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung,” katanya.
***
Dari mana Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.
“Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,” demikian kata Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio.
Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.
Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Artinya ia isu. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal,” kata Maulwi.
Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.
Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. “Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam,” kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. “Itu ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.
Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional.
Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto syahdan dalam perjalanan pulang dari menunggui anaknya, Tommy, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Soeharto sempat melintasi kerumunan pasukan dengan mengendarai jip. Ia dengan tenangnya melewati pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal itu.
Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29 September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama Jahuruk hendak masuk Istana. Menurut Suhardi, itu tidak diperbolehkan karena tugas mereka adalah di ring luar sehingga tidak boleh masuk. “Saya tegur dia.”
Pada 1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. “Saya heran, dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara.” Ia langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah Abang. Yang membuatnya heran lagi, pengawal di pos yang biasanya menghormat kepadanya tidak menghormat lagi. “Saya ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng Raiders,” kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. “Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI,” katanya.
Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. “Semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka,” jawab Untung.
Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzaman-lah yang paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzaman, dan Pono. Heru melihat justru Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih banyak diam.
“Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini (G-30-S),” kata Heru saat ditemui Tempo.
Untung adalah sebuah tragedi sekaligus kisah kepandiran. Perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.
Bagaimana sih, masa kecil Untung? Silakan baca lanjutannya di sini …
>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Apakah hari ini sampean bertambah pengetahuan tentang insiden G30 S?
tadi sempet baca dikit di epapernya.. terima kasih reviewnya ndoro, sekarang saya bertambah pengetahuan ttg g30spki.. 🙂
Hmm
Ketiga x
Kebenaran suatu saat pasti terungkap, kebenaran hakiki, manusia bisa memanipulasi sejarah namun tidak untuk selamanya
[…] tulisan ini merupakan sambungan dari posting sebelumnya. Kali ini tentang profil Untung yang legendaris itu. Selamat […]
terimakasih ndoro 🙂
Kalo difilemkan bagus nih. Daripada nonton filem G/30S/PKI yang buatan Mbah Harto dulu…
wah panjang juga ya ceritanya..
apapun ceritanya, hanya mereka dan tuhan yang tahu, tapi sebagai seorang manusia, kita hanya bisa belajar dan berusaha agar tidak melakukan kesalahan yang sama
“Dari pada” untung emmm, mungkin tokoh pelaku sejarah yang masih hidup bila berkenan memberikan pencerahan agar lebih absyah dan manteb 🙂
life goes on !
Semoga masih banyak data lain yg terungkap supaya masyarakat Indonesia tahu tentang sejarah bangsanya sendiri
So, mungkinkah Soeharto dalangnya?
Tapi tampaknya semakin susah terkuak apalagi sekarang komunis semakin dikambinghitamkan oleh kalangan agamis….
Ingat pembakaran buku G30S yang tidak mencantumkan kata ‘PKI’?
Di Depok ya kalau ndak salah?
Walikotanya dari partai apa ya? :))
Wah sekarang ini sudah tak bisa terungkap lagi kecuali atas dasar info dan analisis pihak ketiga seperti diatas, karena yang tahu hal sebenarnya hanya Alm. Untung, Alm. Soeharto dan Pencipta keduanya …
selama ini sejarah G30S memang hanya His story ya Ndor
Wah ndoro, makasih yaa sudah dishare.. Tercerahkan. Lanjut di postingan berikutnya ah… 😀
wah saya kebalik bacanya… makasih ndoro… *balik lagi* 😀
Hihihi.. saya juga kebalik bacanya. Harusnya ditulis dijudulnya “bag. 1” dan “bag. 2”. 😛
Kejujuran dan keikhlasan hati dari orang-orang benar-benar mengetahui kebenarannya sangat ditunggu oleh bangsa Indonesia.
setelah baca, yang ada di otak saya cuma satu kata “PROPAGANDA”
~Hidup Soeharto..Hidup TNI..dan katakan tidak (selamanya) untuk pki~
nice try….
ngeri aku bacanya Ndor, apakah benar seperti itu, berarti pelajaran PSPB dulu harus semua di koreksi donk *masih ada gak ya sekarang*, padahal nilai gue di sejarah perjuangan bangsa, termasuk yang oke lho dulu, makasih, jadi tercerahkan sedikit..he he
(numpang Ndoro, free e-book di web saiah…matur nuwun..)
Wah ndoro, makasih yaa sudah dishare..
koran ini merah, jenderal…eh, ndoro 😀
Ndoro, sejarah adalah lika-liku. Ia seperti juga teka-teki. Penuh kemungkinan. Penuh alternatif penafsiran. Setidaknya, informasi yang tertuang dalam tulisan ini merupakan salah satu data sejarah yang kelak akan ikut mewarnai penafsiran-penafsiran tentang teka-teki kelam peristiwa G 30 S.
*) OOT:
Oh ya, btw, di Tegal sana ada nggak ya yang pake plat nomor mobil G 30 S. Keren juga tuh kalo’ ada.
saya belum lahir ndoro, cuma liat filmnya aja….
siapa pun yang salah, yang pasti jenderal2 itu sudah mati dan terbunuh dengan sadis
luar biasa …
soyo suwe …
soyo dipreteli borok’e harto
🙂
Ho’o mas,nek bangke ki mbok di pendem wae ngko sue2 ambune yo ketoro
“Becik Ketitik,Olo Ketoro”
Saatnya reformasi sistem perekonomian Indonesia !!!
Konspirasi apa lagi ini? Pusing kita…G30S? Bukannya singkatan Gempa 30September ya? Gerakan 30 September dah basi. Lagian what was in the past was in the past, dah lewat. Mau diomongin mpe kelu jga ga da guna.mending nolongin korban gempa..
jaman sekarang susah percaya sama sejarah, isinya beda2…
Bicara G 30 S seperti membicarakan ayam & telur 🙂
Cape deh ndoro kalo bahas G30S PKI
@wira.. Parking page huh !
iPhone,blackberry,iPod,PSP,PS3,nitendo wii atau gadget mantap lain GRATIS dikirim kerumah.. MAU?? klik gue..
wah saya jadi makin tau….makasih ndoro….
Perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.
Aku merinding bacanya Ndoro 😦 Kepercayaan yang begitu tinggi, tapi akhirnya tragis gitu.
ludiro puniko abrit ndoro ….
(scene Film G30S PKI versi jawa)
tgl 30 kmarin bapak saya ulang tahun ndoro!! untung PKI belum lahir pas bapak lahir… 😀
tpi banyak lo Ndoro yg merindukan Soeharto…
durung rampung mocone…
semoga misteri ini segera terungkap….!!!
Jadi yang terjadi adalah Soeharto kecolongan. Karena Untung yang sangat dipercaya oleh Soeharto ternyata bertindak di luar kontrolnya.
Atau Pono dan Sjam Kamaruzaman yang lebih bertanggung jawab karena memanfaatkan kesempatan yang didapat oleh Untung yang sedianya hanya menangkap tetapi malah membunuhi.
kok pak harto cepet di panggil ma tuhan ya….
padahal PKI di indonesia kan belum habis.
bagaimana dengan sampean…….?
wahh jd makin bingung , pokok’y yg saya tahu PKI adalah musuh negara .. ! Pancasila Sakti !
Yang pasti “Komunis” itu adalaha sebuah ideologi, orang boleh mati tapi ideologi blm tentu mati. Banyak pembohongan2 dibuat saat Rezim berkuasa, entah untuk kepentingan siapa. Seperti hal nya pembuatan film 30 september yang hampir setiap tanggal 30 september ditayangkan. Padahal film itu banyak bohongnya kecuali yang dokumenter nya. Selebihnya cuma rekayasa. Diceritakan salah satu nya di film itu saat RRI di duduki dan kemudian direbut, dimana terjadi baku tembak yang seru. Saat itu saya kebetulan tinggal di belakang RRI, sama sekali nggak dengar apa2. Kalaupun mercon caberawit yang meletus dapat terdengar apa lagi suara rentetetan senapan otomatis. Saya kalo nonton film itu bersama teman2 seangkatan dan sama2 tinggal disana, suka tertawa terpingkal-pingkal. Koq bisa2 nya bikin ngawur sejarah. Tapi saat itu sapa yang berani bekoar…yatohh…!!!. Ini sekelumit info tambahan agar generasi sekarang ini betul2 tilik kalau membaca apa2 jangan asal telan. Semoga menambah pengetahuan. (Aku ex anak Cakrabirawa, ayahku pernah jadi Anggota DPC (Detasemen Pengamanan Chusus), Detasemen Pengawal Presiden RI waktu itu)
ex anak Cakrabirawa atau anak ex Cakrabirawa?
6a bener tu stuju!!!om saya waktu itu juga nginap dirumah temennya di sekitar RRI,tenang2 aja tuh 😀
soeharto……..soeka (suka) harta todokan……….
30 Sep 1965. Wah saya baru berusia 7 bulan.