Negara Pecas Ndahe

November 29, 2006 § 10 Komentar

Untuk apa bernegara? Anak yang tabah itu bertanya dengan tabahnya kepada mereka yang [moga-moga] tabah juga. Mulanya dia cuma bertanya di dalam rumahnya sendiri. Eh, lah kok makbedunduk mampir ke sini. Coba Ki Sanak, apa saya ndak ikut pecas ndahe begitu tahu dia sudah datang jauh-jauh dan bertanya hal yang sama?

Karena saya ndak tahu, bertanyalah saya ke [siapa lagi kalau bukan] Paklik Isnogud. Dia sedang duduk mencangkung di ruangnya ketika saya datang. Kepalanya mendongak. Matanya menyipit. “Ada apa, Mas?” suaranya penuh selidik dan kecurigaan.

Dengan agak ragu, saya menjawab, “Anu, Paklik, anu … errr … Ndak ada apa-apa. Saya cuma mau tanya.”

“Tanya apa?”

“Ini tadi ada kawan yang bertanya, untuk apa sebenarnya kita bernegara? Dia sudah bertanya ke mana-mana, tapi kok kayaknya belum mendapatkan jawaban memuaskan. Eh, terus dia tanya ke saya. Karena saya ndak tahu, ya saya ganti tanya Paklik saja.”

“Haiyah. Lah wong kayak gitu saja kok pakai tanya-tanya? Huh, pertanyaan yang aneh.”

“Loh kok, aneh? Kenapa, Paklik?”

“Ya aneh. Pertanyaan perlukah kita punya negara itu kan sama dengan pertanyaan perlukah kita punya keluarga? Bukankah secara simbolis kita menyebut negeri kita ini sebagai sebuah ‘keluarga’ juga?”

“Tapi kan ya mesti ada bedanya to, Paklik. Mosok keluarga dan negara itu sama?”

“Intinya sih, sama saja, Mas. Di pucuk ‘keluarga’ itu pasti ada seorang ‘bapak’ — biasanya raja atau kepala negara. Masalahnya, simbol itu tak lagi dianggap sebagai simbol. Dan sebuah negeri tak pernah merupakan satu keluarga. Seorang kepala negara tak pernah benar-benar sebagai bapak para warga negara.

Bagaimana mungkin pula menyelenggarakan ekonomi secara ‘kekeluargaan’ bila negara sendiri justru membutuhkan sesuatu yang tak hendak berdasarkan kekeluargaan, yakni hukum — khususnya hukum yang melindungi hak milik pribadi? Bukankah negara niscaya memerlukan sejenis peranti yang impersonal — yakni birokrasi?

Negara itu, kata Nietzsche, adalah monster yang terdingin hatinya dibanding dengan semua monster. Dan dengan hati dingin pula ia berjusta. Tapi — sayang sekali – negara tentu saja hadir di atas dan di sekitar kita. ‘Telunjuk pengatur dari Tuhan” itu pada akhirnya tak bisa dielakkan.

Manusia umumnya bukanlah Superman. Hanya sebuah impian yang sia-sia untuk mengharapkan ‘orang kebanyakan’ bisa jadi manusia yang serba unggul dan tak perlu untuk diatur, atau dibimbing, atau dibutuhkan kesetiaan dan pengabdiannya.

Hanya sebuah utopia untuk mengharapkan negara hilang. Lenin dan kaum komunis pernah memperhitungkan bahwa pada suatu ketika negara akan mundur memudar, tapi apa yang terbukti?

Barangkali itulah sebabnya belakangan ini orang (maksud saya, tentu, para ahlil mulai berpikir kembali tentang ‘negara’. Benarkah negara itu ‘monster’ yang mengekang dan menindas? Ataukah dia seperti konon kata Hegel — si penjaga kepentingan dan kebaikan bersama?

Bila ia mengekang, siapakah yang mendorongnya untuk tertindak represif, dan siapa pula yang dikekangnya? Bila ia penjaga kepentingan bersama, bagaimana terjadinya satu kesimpulan, bahwa tindakan ‘A’ adalah buat ‘kepentingan bersama’ dan bukan kepentingan suatu golongan yang sedang berkuasa atau dominan? Bisakah, dan sejauh mana bisa, negara punya semacam otonomi dari pelbagai desakan golongan di masyarakat?

Bagi Mussolini, manusia tidak diciptakan sama, dan hak pilih yang sama tak akan mengubah kenyataan itu. Ketidaksamaan justru baik. Ada yang memimpin (dan itu adalah negara), ada yang dipimpin (dan itu adalah orang banyak).

Namun, Mussolini, dan juga Hitler, tak bertahan lama. Mereka sudah tumbang sebelum kita semua menyaksikan, bagaimana sebuah masyarakat bisa terus-menerus dikuasai dengan konsep seperti itu. Akan menarik untuk mengetahui, bagaimana rakyat Italia atau Jerman dapat bertahan dengan pemikiran bahwa negara adalah ‘suara batin yang terdalam dari bangsa’.

Bagi yang hidup setelah Hitler, Mussolini, dan Stalin jatuh, negara yang semacam itu hanyalah sebuah mitos. Pada akhirnya, negara adalah orang-orang juga dengan hidup mereka yang pendek. Pada akhirnya, negara — sebagai susunan aparat yang mengurus kehidupan bersama — punya batas kemampuannya juga.

Ia pun tak akan bisa menguasai mutlak manusia sampai ke batin-batinnya. Ia bahkan kadang tak becus mengurus hal-hal yang ‘sepele’, misalnya flu burung, kemacetan lalu lintas, banjir lumpur panas, atau tayangan televisi full kekerasan seperti SmackDown itu.

Paham, Mas?”

“Iya, eh ndak Paklik. Maaf, saya ndak begitu menangkap penjelasan Paklik. Panjang sih. Pusing saya jadinya.”

“Begini saja, Mas. Saya punya cerita. Ada sebuah keluarga dengan sepasang kakak beradik yang tinggal di sebuah rumah, tanpa orangtua. Pada suatu hari si kakak mengatakan kepada adiknya bahwa di rumah itu akan berlaku sistem ‘demokrasi dengan sentralisme’.

‘Jangan takut,’ kata si kakak, ‘kau dan aku punya hak yang sama.’

‘Contohnya, Kak?’ tanya si adik.

‘Begini,’ sahut si kakak, yang kemudian naik pohon.

Di bawah, adiknya menunggu.

‘Lihat,’ kata si kakak, lalu diludahinya kepala si adik. ‘Itu hakku sebagai pemimpin,’ kata si kakak.

‘Sekarang gunakan hakmu sebagai yang dipimpin: balas ludahilah aku!’

Sampean tahu kan Mas, itulah yang sulit dilakukan orang yang di bawah dalam sebuah negara: meludah ke atas.”

§ 10 Responses to Negara Pecas Ndahe

  • avatar yati yati berkata:

    meludah ke atas…jatuhnya ke muka sendiri

    buat apa bernegara? jangan2 dijawab sama mas mbilung…warga macam apa? ato negara macam apa? hehehe

  • avatar venus venus berkata:

    wah, berat banget pertanyaannya. untuk apa bernegara. mbok tanya yg laiiin, hehehe…

    Ndoro Kakung dhawuh:
    tau tuh … kurang kerjaan kali … 🙂

  • avatar Hedi Hedi berkata:

    sebenernya pertanyaan model gitu muncul di saat ada penduduknya yang belum merasa puas (tidak puas), alasannya bisa macem²…

  • avatar dodi dodi berkata:

    pecasndahe. bagaimana mau meludah ke atas! kan si ludah itu ndak bisa melawan gravitasi!

  • avatar bangsari bangsari berkata:

    kalo begitu, kebutuhan tidak terlalu diperlukan dong? pada banyak kasus, orang kampung malah tak memerlukan negara kecuali untuk urusan nikah dan kartu identitas. negara lah yang membutuhkan (pajak) mereka. sementara infrastruktur untuk mereka tak pernah disediakan. setidaknya begitulah di kampung saya. pfiuh…

    Ndoro Kakung dhawuh:
    wah, berat juga hidup ini ya?

  • avatar pitik pitik berkata:

    ah saya kok cenderung setujuh sama Nietzsche…

    Ndoro Kakung dhawuh:
    setujuh apa setubuh, mas? 🙂

  • avatar tabah tabah berkata:

    Hihihi maaf merepotkan..
    Lha itulah ndoro yang saya rasaken, negara itu kok yang butuh para pejabat saja. dan saya yang dikota ini. Mang hanop, yang tinggal dekat daerah Ogan Komering Ilir, kayaknya ndak butuh tuh. Lha wong idup dari hasil bumi, rumah bikin sendiri. anak-anak ndak sekolah. selain anaknya mangsih kecil, sekolahnya hanya tiga kelas, dari papan, alas tanah, guru cuma satuk, datang seminggu sekali. bikin pasportkah? bikin visakah? bayar pajakkah? bikin listrik masuk desakah? bikin jalan aspal masuk desakah?

    temen saya bilang:”biar negara ada aturannya, biar ndak ado hukum rimba”. Saya tanya balik: “sudahkah tujuanmu itu diberikan negara tercinta ini? kalo belum, menuntutlah. sebab kalo ndak ado manfaat, kembali ke pertanyaan saya, “buat apa bernegara?”. Menuntutlah!

    hihi nuwun sewu lho ndoro

    Ndoro Kakung dhawuh:
    menuntutlah atau meludahlah ke atas …. 😀

  • avatar bangsari bangsari berkata:

    isih rame ternyata… 😀

    menurut cerita kyai, sayyidina ali pernah berujar: “pemerintahan yang korup lebih baik daripada chaos”.

    tapi itu mungkin konteksnya jaman jahiliyah, dimana pembunuhan, kerusuhan dan segala kekacauan masih terjadi. apa pendapat itu masih relevan sekarang?

    Ndoro, kayanya perlu ngajak kopdar untuk membicarakan ini. (hayyah, sok penting.)

    Ndoro Kakung dhawuh:
    emoh. musim udan. atis, kang … 🙂

  • avatar kikie kikie berkata:

    keluarga broken home? :/

  • avatar Kartini Kartini berkata:

    Wah, seneng rasanya baca tulisan ndoro kakung. Saya kangen dengan kejawa-jawaan. mbah kakung, salam kenal ya. saya kartini, asal demak, besar di kalsel, kuliah diInggris. klo boleh, minta referensi tulisannya ya. maksud saya, apa judul2 buku yg banyak ngupas tentang eksistensi negara dan teori-teorinya. saya kurang mbaca e waktu kuliah S1 dulu. Mohon dibalas ya. Matur Suwun. Kartini

    matur nuwun sudah mampir ke sini dan salam kenal juga. referensi? wah, saya ndak tahu. itu paklik isnogud yang tahu, saya ndak ngerti je. nanti kapan2 saya tanyakan ke paklik, dia baca buku apa saja. 🙂

Tinggalkan komentar

What’s this?

You are currently reading Negara Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta