Keinginan Pecas Ndahe
Desember 8, 2006 § 16 Komentar
.
Seorang wanita menangis di layar kaca. Matanya merah. Wajahnya sembab. Suaranya tersendat. Sambil terisak ia meminta masyarakat tak menzalimi suaminya. Ia juga minta masyarakat menghentikan pergunjingan tentang suami dan keluarganya.
Saya yang kadang-kadang merasa jadi anggota masyarakat jadi bingung. Perempuan iki sopo? Lah kok minta saya tak menzalimi suaminya. Salah apa suaminya?
Paklik Isnogud yang kebetulan lewat di dekat saya ikut berhenti dan menonton TV.
“Loh, ini kan istrinya Ndoro Wakil Rakyat sing tumpak-tumpakan sama penyanyi dangdut itu, Mas. Mosok sampean ndak ngerti?” kata Paklik. “Mau apa dia?”
“Halah, Paklik ki kok tahu saja. Oh, ini toh, orangnya. Dia bikin konperensi pers Paklilk, mau menjelaskan kasus yang menimpa suaminya? Saya heran Paklik, apa ya yang membuat wanita itu begitu rupa, sampai mau-maunya nangis di depan kamera? Cinta? Jangan-jangan ini cuma soal harta. Kekayaan? Wah, berarti ini cuma akting dong?”
“Mungkin memang akting, Mas. Mungkin juga bukan. Tapi, buat saya, ini soal keinginan yang tak kesampaian, Mas.”
“Keinginan? Maksud, Paklik?”
“Keinginan itu sebuah benda abstrak, bukan saja memerlukan penjelasan. Kata itu juga terdengar seperti sebuah wilayah dalam jarak yang tak terduga — oleh siapa saja yang terlampau tua untuk mencapai sana.
Tapi kita bisa merasa iba. Wanita itu, yang tampaknya dirundung sengsara, tentu telah sampai pada titik tempat ia terpojok. Ia terpojok oleh keinginan yang tak sampai. Inilah bedanya hidup di dunia dan di surga nanti.
Sampean tahu kan Mas, di dunia ini, antara keinginan dan pemenuhan keinginan masih terbentang jarak. Di surga, tiap kali pada diri kita terbit keinginan, di saat itu juga hasrat itu terlaksana. Akibatnya, jurang antara keinginan dan kepuasan hilang dan kedua-duanya menjadi berhenti sebagai dialektik. Hasrat tak perlu ada. Hasrat tak ada. Dan manusia berbahagia.
“Halah nggaya, kayak Paklik ini sudah pernah ke sorga saja,” saya meledek.
“Ah, tapi saya jadi ingat Dice, Mas. Perempuan ayu, peragawati masa lalu, yang ditemukan meninggal di dalam mobil. Sebutir peluru bersarang di kepalanya.”
“Bagaimana ceritanya kok bisa tragis begitu, Paklik?”
“Syahdan, Dice pernah menghadap seorang lelaki bernama, sebut saja, Pakde. Dice duduk bersimpuh di depan Pakde, meminta tolong agar ia mendapatkan apa yang seakan-akan menanti seperti bulan perbani itu: kekayaan.
Pakde menarik napas dalam-dalam. Dilihatnya wanita ini mengeluarkan beberapa puluh lembar uang dari dompetnya. Apa yang hendak dilakukannya? Pakde merasa gentar: ia merasa tak layak dan mungkin agak terhina untuk dibayar.
Tapi wanita itu tak bermaksud membayarnya. Ia meletakkan lembar-lembar uang kertas itu di depan Pakde, seraya berkata,
‘Pakde, tolonglah. Ini semua uang yang tinggal pada saya. Saya tak tahu bagaimana jumlah ini bisa menjadi banyak berlipat ganda. Bukan saya serakah. Tapi saya yakin akan keajaiban. Saya yakin akan tuah tangan Pakde. Tolonglah, sulaplah uang ini menjadi 10 kali lipat.’
Duh, Gusti. Penderitaan batin dan azab badan apa yang menyebabkan putus asa ini, Anakku? Kalimat itu tersusun dengan cepat di hati Pakde, tapi ia tak sampai mengeluarkannya lewat mulut. Dunia telah terlampau banyak nasihat, terutama bagi mereka yang sedang terpepet. Hidup telah terlalu banyak oleh teguran. Bumi berputar dan bulan perbani terpancang tetap jauh. Wanita ini memerlukan suara yang melipur.
Sesuatu agaknya telah terjadi di antara kita, demikianlah pikir Pakde, hingga seorang telah tak juga tahu bahwa keajaiban telah berhenti. Bahwa keajaiban itu akhirnya ternyata hanya diimajinasikan oleh mereka yang kehabisan alternatif, atau hanya monopoli orang yang sangat suci. Atau hanya ada dalam film India di bioskop kelas tiga.
Siapa yang berpikir kritis akan tahu itu. Tapi masih adakah gerangan pikiran kritis — di saat orang capek berpikir, atau takut, atau malas?
Sesuatu agaknya telah terjadi di antara kita, hingga ada orang — seperti wanita ini yang percaya bahwa kekayaan itu sah hanya dengan melalui sulap. Atau semacam sulap: fasilitas yang begitu lekas, yang bisa membuat seorang nol kecil jadi miliarwan dengan cara yang tak usah saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Ah, sesuatu telah terjadi pada kita, Anakku, hingga kesabaran dianggap tak perlu, dan jerih payah dianggap kolot.
Pakde pun memandang ke luar jendela dan melihat deretan pohon asam kecik yang tua. Lalu katanya,
‘Anakku, pernahkah kau baca sebuah iklan sepatu Nike di majalah The Rolling Stones?’
Wanita itu tercengang. Apa gerangan maksud dibalik kata-kata Pakde? Isyarat apa baginya? Setelah sejenak ia bingung, dengan mata yang polos ia menjawab,
‘Belum pernah, Pakde.’
Tentu saja, seperti layaknya seorang yang menghadap Pakde, ia tak hendak bertanya mengapa ia ditanya demikian.
Dan Pakde juga diam. Ia cuma teringat iklan itu. Di dalamnya ada seorang olahragawan yang letih setelah berlatih (mungkin juga bertanding) habis-habisan. Ia memakai sepatu dan pakaian olah raga Nike. Dan tulisan itu berbunyi:
It’s not something you buy. It’s something you earn.
Pakde pun berpikir, dan wanita itu mencoba menunggu sabdanya. Tapi yang dipikirkan lelaki tua itu sebenarnya hanya satu soal sepele: apa sebenarnya padanan kata to ‘earn’ dalam bahasa Indonesia. Mungkin kita tak punya kata yang ringkas untuk menunjukkan suatu cara mendapatkan perolehan dari hasil kerja. Barangkali ia salah. Mungkin ingatannya meleset karena tiba-tiba ia menyadari: kita telah terbiasa hidup dengan keajaiban, dengan mukjizat.
‘Itulah sebabnya orang-orang pada datang ke hadapanku,’ kata Pakde dalam hati, ‘datang, meminta kekayaan — kata benda abstrak itu seperti halnya keinginan. Ya, Tuhan, bebaskanlah kami dari kemanjaan ini, meskipun tidak hari ini.’
Begitulah, Mas. Akhirnya, Dice ditemukan mati di dalam mobilnya. Pakde dipenjara seumur hidup, tapi sudah bebas sekarang.”
“Wah, wah, wah … Sampean ki ampuh tenan, Paklik. Pantes, sampean setiap hari earning melulu, ya?”
“Halah, ngenyek … ” kata Paklik sambil njenggung kepala saya.
Adoh!

mangsude opo to? aku kok ra mudheng, dab
lah wong perempuan sing konperensi pers kro penyanyi ndangdut kuwi tujuane podo kok ndoro, mung duit, cuman carane ae sing bedo. halah halah aneh aneh ae..
njaluk sugih njur mati itu dimana hubungannya ndoro? jan, bahasanya terlalu kasepuhan, saya nda mudeng ini…
hidup dukun!!! :p
ndak ngerti ik…lagi cerita tentang apa sih Ndoro?
idem.. gak mudeng!
halah sampe mumes ndatku…ra ngerti babarblas!!
aku tahu…!!!
Ndoro,
kawulo pernah dengar itu dongeng soal Dice dan Pak De. Simbok pernah cerita sambil lalu. Baca di koran sama majalah TEMPE waktu Pak De dibebaskan. Tapi kawulo ndak ngerti hubungannya sama Denmas bagus yang tumpak2an sama Mbokayu Sinden itu…
Sebetulnya kawulo agak iba sama MbokAyu Sinden itu. Ngomong jujur sedikit dia diseret-seret mau dihajar di alun-alun sama panggede-panggede itu. Kawulo mau lihat apa DenMas Bagusnya juga diperlakukan sama. Kalau nggak, berarti kecurigaan kawulo terbukti. Pasti karena uangnya mbokayu Sinden itu ndak sebanyak DenMas Bagus.
Eh, tapi apa ya urusan kawulo tentang hal ini?
Kawulo ndak nyoblos apa-apa tuh waktu pemilu kapan hari.
Beraniiii…..;D
Btw, aku main ke komik pecas ndahe, kok ada image yg di-delete? Bukan karena sensor kan?
indeed. indeed. you are very wise indeed. *ben ketok nggaya*
ancen mestine moco bolak balik lagi mudeng
🙂
yang tika lebih gak ngerti lagi, pakdhe, kok ya yang ginian malah diseriusi ama lembaga tinggi negara loh..kayak lumpur di sidoarjo tu gak ada penting2nya..
tumpak-tumpakan sepur ae Pakdhe…..
bahasanya itu lho… tumpak2an sama penyanyi dangdut?? weleh2 😀
crito jaman kolo bendu kok di tok ake, mbok liyane wae sing lucu2…….