Microwave Pecas Ndahe

Maret 31, 2007 § 11 Komentar

<div class=”gambar”

Pria adalah micowave; Wanita itu kompor listrik.

***

Kami, saya dan Paklik Isnogud, sedang mendengarkan album lama Guruh-Gipsy hasil kolaborasi Chrisye dan Guruh Soekarnoputra siang itu ketika Mas Mbelgedes datang tergopoh-gopoh. Keringat berleleran di wajahnya yang bersemu ungu — karena saking hitamnya. Napasnya terengah-engah, nyaris putus.

“Wadoh Paklik, Mas … tobat-tobat. Ketiwasan saya … ” kata Mas Mbelgedes sambil menunduk-nundukkan badannya.

Melihat Mas Mbelgedes yang datang mendadak dan sikapnya yang tak biasa itu, saya kaget campur heran. Selama ini seingat saya ndak pernah Mas Mbelgedes berani masuk ruang kerja Paklik. Ia buruh lapangan, sehari-hari dia jarang di pabrik. Kalaupun tak ada tugas ke luar, Mas Mbelgedes biasanya lebih suka nongkrong di warung depan pabrik, bukan di sini di ruang Paklik. Kenapa tiba-tiba dia menghambur kemari? Ada apa?

Wajah Paklik memperlihatkan ketidaksukaannya. Alisnya terangkat. Mulutnya mencibir. Jelas ia terganggu. Kenikmatannya mendengar alunan suara Chrisye, sobat lamanya itu, buyar. Segala lamunan Paklik tentang Chrisye yang baru saja pergi dipanggil pencipta-Nya itu ambyar.

“Mas Mblelgedes iki kenapa sih? Datang-datang kok sambat tobat-tobat. Sampean ndak suka melihat kami duduk berdua ya?”

“Sabar, Paklik. Mas Mbelgedes mungkin sedang mendapat masalah,” saya mencoba meredakan kemarahan Paklik.

“Nuwun sewu, Paklik. Ampun beribu ampun. Bukan maksud saya mau mengganggu. Bukan maksud kawulo merusak klangenan Paklik. Saya mau minta tolong,” kata Mas Mbelgedes agak takut.

“Minta tolong? Apa?” tanya Paklik.

“Anu Paklik, itu bojo saya.”

“Bojomu? Bojomu kenapa? Sakit?” tanya saya setengah khawatir.

“Oh ndak Mas. Bojo saya purik, pulang ke rumah orangtuanya. Saya bingung,” jawab Mas Mblegedes.

“Lah, urusan bojo kok datang ke saya? Aneh. Memangnya saya ini biro jodoh, petugas KUA, konsultan perkawinan?” Paklik nyerocos.

“Sik, sik, sebentar Paklik. Mbok coba ditanya dulu masalahnya. Kasihan Mas Mbelgedes. Dia kan baru saja menikah, pengalamannya menghadapi istri tentu belum sebanyak sampean,” saya mencoba menengahi.

“Istri sampean memangnya kenapa, Mas? Purik itu pasti ada sebabnya. Ayo, mbok sampean cerita dulu asal muasalnya.”

“Iya Mas. Begini ceritanya.”

Mas Mbelgedes dan istrinya yang bernama Mbakyu Keneswati bertemu di sebuah acara di rumah teman mereka hampir tiga tahun lalu. Mereka langsung tertarik satu sama lain dan segera membuat komitmen jangka panjang. Tiga bulan setelah perkenalan pertama itu, mereka menikah.

Mereka berdua saling mencinta dan secara jasmani seolah tak ada habisnya. Keahlian mereka adalah “rumah cinta” — bercinta di ruang tamu, kamar tidur, dapur, kamar mandi, di tangga, dan garasi. Maklum pengantin baru.

Dua tahun kemudian, kehidupan seks mereka masih menggebu dan mencengangkan — hebat! Setidaknya buat Mas Mbelgedes, tapi tidak bagi Mbakyu Keneswati. Buat Mbakyu Keneswati seks membuatnya sedikit kesal. Dia hanya ingin melakukannya dua kali seminggu, Mas Mbelgedes maunya setiap hari.

Mas Mbelgedes merasa telah melepaskan masa lajangnya untuk hubungan jangka panjang ini. Dia menganggap wajar jika seks setiap hari adalah “bayaran” yang adil. Sebaliknya, Mbakyu Keneswati tak menganggapnya begitu.

Akhirnya, semakin Mas Mblegedes menuntut seks, Mbakyu Keneswati semakin tak suka, hingga akhirnya mereka hanya bercinta di kamar tidur saja.

Seiring berlalunya waktu, mereka mulai bertengkar karena soal kecil; segala ciuman dan manja-manjaan perlahan-lahan menghilang. Tak lama kemudian, mereka mulai melihat sisi buruk masing-masing dan saling memaki.

Lama-lama Mas Mbelgedes mulai tak nyaman, begitu juga Mbakyu Keneswati. Puncak dari perseteruan mereka terjadi kemarin ketika Mas Mbelgedes memintah “jatah” di siang hari bolong. Mbakyu Keneswati bukannya menuruti permintaan itu, ia malah mengepak koper dan pulang ke rumah orangtuanya.

“Oalah Mas … Mas … Begitu toh ceritanya. Pantes bojo sampean minggat. Lah wong sampean kelewatan,” kata Paklik sambil terkekeh.

“Kelewatan bagaimana sih, Paklik? Kok sampean malah tertawa?” tanya Mas Mbelgedes sedikit tersinggung. Ia merasa dilecehkan.

“Begini ya, Mas,” jawab Paklik. Saya tahu ini tanda-tanda Paklik mau mengumbar wejangannya.

“Saya maklum dengan persoalan yang sedang sampean hadapi. Ini soal sepele, klasik, dan gampang solusinya?”

“Maksud Paklik?”

Sebelum memulai “sabda”-nya, Paklik menyesap kopi pahitnya, dan setelah itu ia membuka ceritanya.

“Pria dan wanita itu memang beda, Mas. Apalagi kebutuhan, dorongan, dan minatnya terhadap urusan ranjang. Saya tahu, urusan bercinta itu penting buat pasangan suami istri seperti sampean berdua. Tapi, prakteknya ndak mudah, Mas, terutama kalau sudah menyangkut urusan seks.”

Saya ikut ndomblong mendengarkan penjelasan Paklik kali ini. Tumben Paklik lancar sekali menjelaskan urusan beginian.

Ia melanjutkan. “Dorongan seksual pria seperti Mas Mbelgedes itu seperti microwave, bisa langsung menyala dan dapat segera bekerja dengan kemampuan penuh hanya dalam hitungan detik, lalu dapat dimatikan secepat ketika menyalakannya begitu masakan telah matang.

Sebaliknya, dorongan seksual wanita itu seperti kompor listrik; menjadi panas dengan lambat hingga mencapai panas tertinggi dan setelah itu membutuhkan waktu lama untuk mematikannya.

Seorang wanita mungkin saja memiliki dorongan seks tinggi dan seorang pria punya dorongan seks rendah. Tapi, ini kasus yang jarang terjadi. Pada umumnya, dorongan seksual pria lebih tinggi dibanding wanita. Karena itu ya ndak heran kalau Mas Mbelgedes maunya minta jatah setiap hari, dan Mbakyu Keneswati cuma bersedia seminggu dua kali.

Yang lebih penting lagi ya Mas, sejauh menyangkut urusan seks:

Wanita memerlukan alasan; sedangkan pria memerlukan tempat untuk melakukannya.

Sampean tahu bedanya?”

Kami berdua menggeleng kepala.

“Pria, karena mempunyai hormon testosteron yang tinggi ketimbang wanita, secara terus menerus dapat membuat dorongan berahinya tetap tinggi. Lelaki selalu siap setiap saat, meski tak selalu sedang on. Pria hanya perlu cari tempat, dan pasangan, untuk melampiaskan hasratnya. Lelaki selalu mau meski belum tentu selalu mampu.

Wanita ndak bisa begitu. Wanita selalu mampu, tapi tak selalu mau diajak berhubungan badan. Mereka membutuhkan alasan. Dorongan seks wanita dipengaruhi oleh kejadian-kejadian dalam hidupnya.

Jika wanita membenci pekerjaannya, atau dia sedang mengerjakan proyek yang menyita waktunya, kemudian tagihan kartu kredit datang, anak-anak sakit, kalung berlian kesayangannya hilang, maka hubungan seks sama sekali tidak akan mendapatkan perhatiannya. Yang ada dalam benaknya hanyalah pergi ke tempat tidur dan terlelap.”

“Ah, pantes!” teriak Mas Mbelgedes.

Paklik cuek dan meneruskan ceritanya.

“Ini bedanya. Ketika seorang pria mendapat masalah, tekanan, ia melihat seks sebagai obat yang akan melepaskan ketegangannya. Tapi, apa yang terjadi? Sepulang kerja, pria meminta jatah pada istrinya yang sedang menghadapi masalah. Sang istri cuek. Maka, terjadilah pertengkaran itu.

Begitu kan, Mas Mbelgedes?”

“Ah, eh, uh … eeeng … ” Mas Mbelgedes tergagap ditanya Paklik tiba-tiba.

Ki Sanak, apa sampean sering mendengar cerita seperti penjelasan Paklik? Pernah mengalaminya juga?

§ 11 Responses to Microwave Pecas Ndahe

  • avatar balak6 balak6 berkata:

    Apa ini pengalaman pribadi Ndoro yang di-refleksikan sebagai Mblegedes….???!!!

    *sukurlah masih high voltage*

  • avatar abi_ha_ha abi_ha_ha berkata:

    waduh ndoro, asal jangan kaya Microwave di rumah saya saja, karena makin tua, makan wattnya makin besar.
    Bukannya makin panas, baru nyala sebentar malah ‘njebret’ listrik serumah.

  • avatar aroengbinang aroengbinang berkata:

    crita paklik banyak benarnya, meski ketidakkompromian istri bisa dikarenakan banyak hal, dari hal yg kecil menurut laki seperti misalnya perhatian, sampai rasa yg dianggap seperti obyek seks saja yg bisa dipakai kapan saja. pengetahuan dan kebijakan memang perlu; sayang hal seperti ini jarang dibicarakan dengan terbuka. salam.

  • avatar cyn cyn berkata:

    keren…

    saya mo ngutip ah boleh ya kung? *iya cyn, boleh*
    hehehehehe..

  • avatar venus venus berkata:

    saya butuh alasan, juga butuh tempat. lha mosok sak nggon2 kan yo piye? hihihi…

  • avatar andrias ekoyuono andrias ekoyuono berkata:

    ehem.. ndoro kok lama2 mau saingan ama dr. Boyke, hehehe

  • avatar kaipang kulon kaipang kulon berkata:

    saya pernah pak dhe. Pengalaman kami unik. Di tahun-tahun awal pernikahan, justru sex kami buruk. Beliau tidak merasakan apa-apa ketika saya sentuh. Ngak ada rasa nikmat, malah sakit, boro-boro orgasme. Jadinya perlu usaha keras untuk mengajak turun gelangang. Itu dua tahun pertama pernikahan. Setelah kelahiran anak-anak, secara gradual ‘rasa’ itu muncul dan sekarang di usia perkawinan 7 tahun, kami merasa dipuncak. multiple orgasm hal yang biasa sekarang ini.

  • avatar mei mei berkata:

    ada benarnya juga kang, cuman tidak selalu begitu. banyak juga wanita yang “tidak perlu alasan” untuk melakukan hal itu. tergantung orangnya kali kang!!!

  • avatar Kang Karta Kang Karta berkata:

    Kalo ada masalah, menurut wanita “Sex is not the answer”
    Menurut pria juga sama “Sex is not the answer.. It’s the question. ‘Yes’ is the answer..”

    whadoohh..

  • avatar Sammy Sammy berkata:

    Wanita: selalu mampu, tapi belum tentu mau
    Pria: selalu mau, tapi belum tentu mau
    hueheheh

  • avatar kentuz kentuz berkata:

    Ananging…klo lagi “on” kabeh…jan….ueenyyyaaaaakkk ennnannnn…

Tinggalkan Balasan ke kentuz Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Microwave Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta