Protes Pecas Ndahe

April 10, 2007 § 11 Komentar

Hari ini saya baca di koran-koran yang mengabarkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin meneken Peraturan Presiden tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Badan ini menggantikan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo (Timnas Lumpur Lapindo) yang selesai tugasnya bulan lalu.

Menurut Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tertanggal 8 April 2007 itu, Badan Penanggulangan Lumpur bertugas menangani semburan dan luapan lumpur, masalah sosial, serta infrastruktur akibat luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Ah, saya jadi teringat lagi pada penderitaan penduduk Porong yang rumahnya tenggelam dalam lautan lumpur. Sejak Mei tahun lalu, dan setelah berbagai upaya dicoba, masalah ini ternyata belum selesai juga. Kasihan benar warga di Porong. Padahal apa salah mereka?

Ketika saya mengajak Paklik Isnogud ngobrol tentang kabar ini, ia cuma menghela napas panjang. Saya tahu hatinya gundah, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa juga.

“Rakyat memang sering kali teraniaya oleh sesuatu yang di luar kuasa mereka. Mungkin mereka hanya bisa diam, pada awalnya. Tapi, lama-lama, jika kesabaran itu mencapai batasnya, mereka bisa melakukan segalanya lo, Mas,” kata Paklik.

“Ngamuk maksudnya?”

“Begitulah. Saya punya dongeng tentang rakyat yang marah dan akhirnya memberontak, Mas.”

“Oh ya? Ayo, saya didongengi, Paklik?”

“Baiklah, Mas. Syahdan ada seseorang yang bernama Entong Gendut pada zaman dahulu kala.”

“Entong Gendut? Lah kok namanya mengingatkan saya pada empal gentong sih?”

“Hush, ngawur. Ini nama tokoh, bukan makanan, Mas.”

“Hehehe … Oh nama orang. Terus gimana ceritanya, Paklik?

“Entong Gendut adalah warga Condet, Betawi. Sampean pasti Condet itu ada di selatan Jakarta dan sekarang dijadikan sebagai kawasan cagar budaya.

Saya ndak tahu apakah ia benar-benar gendut atau justru kurus. Yang pasti, laki-laki ini pemberani. Dialah yang memimpin rakyat Condet melawan wedana dan mantri polisi karena ia sedih menyaksikan rumah petani dibakar habis oleh tuan tanah.

Itu terjadi di dasawarsa pertama abad ke-20, dan bukan dalam cerita lenong. Yang menceritakannya adalah ahli sejarah kita yang tersohor itu, Sartono Kartodirdjo, dalam bukunya Protest, Movements in Rural Java.

Syahdan, di zaman itu, tuan tanah tak kalah serakahnya dengan zaman ini. Oleh sebuah peraturan gubernemen pada 1912, tuan tanah sering mengadukan ke landrad para petani yang gagal membayar cukai kepadanya.

Tuan tanah di desa Condet di sub-distrik Pasar Rebo ini keliwat getol dalam membikin perkara. Akibatnya banyak petani yang bangkrut, rumahnya dijual atau — tak jarang — dibakar.

Entong Gendut melihat semua ini, dan ia diam-diam menggertakkan geraham.

Insiden pertama terjadi pada Februari 1916. Menurut keputusan landrad di Meester Cornelis 14 Mei 1914, pak tani Taba dari Batu Ampar harus membayar 7.20 gulden ditambah ongkos perkara. Tanggal 15 bulan itu ia diperingatkan. Kalau tidak bisa bayar, yang berwajib akan menyita miliknya.

Rakyat, para tetangga pak Taba, marah. Mereka berkumpul di kebon Jaimin di sebelah utara, ketika para yang berwajib datang untuk melaksanakan hukuman. Maksud kerumunan itu ialah buat mencegah nasib buruk yang sudah dijatuhkan ke kepala Taba. Entong Gendut pun hadir di sana. Tapi rakyat gagal, walaupun telah berteriak-teriak, maki-maki, dan berdoa.

Insiden kedua terjadi di depan Villa Nova, rumah nyonya besar Rollinson yang memiliki tanah di Cililitan Besar. Itu malam 15 April. Ada pertunjukan topeng. Tapi suasana sudah panas. Ketika sore tadi tuan tanah dari Tanjung Oost, Ament, naik mobilnya lewat jembatan, ia dilempari batu.

Pada sekitar pukul 23.00, terdengar teriakan-teriakan supaya pertunjukan topeng dihentikan. Perintah datang dari Entong Gendut. Rakyat patuh dan mereka bubaran, dengan tenang.

Tapi wedana marah. Dia suruh orang memanggil Entong Gendut menghadapnya ke Meester Cornelis. Ketika mantri polisi dan demang datang ke Batu Ampar, mereka dapatkan Entong Gendut di rumahnya dikelilingi kawan-kawannya, antara lain Haji Amat Awab dan Maliki.

Ketika Entong Gendut ditanya kenapa ia berani nyetop pertunjukan topeng, laki-laki itu menjawab: “Demi agama.” Ia hendak mencegah perjudian. Ia menjelaskan betapa rakyat dibebani utang dan rumah mereka dijual atau dibakar — sementara polisi cuma membantu tuan tanah dan orang Belanda.

Mantri polisi dan demang merasa Entong sudah kurang ajar, tapi mereka tak berani. Sebab Entong Gendut sudah siap nampaknya. Seraya pegang keris ia berseru garang, ‘Aye gedruk tanah, maka ini tanah bakal jadi laut!’ Dari semak-semak muncullah puluhan orang bersenjata.

Maka, cemaslah para yang berkuasa. Firasat mereka terbukti kemudian. Pada 9 April 1916, ada info masuk ke telinga para pejabat di Pasar Rebo dan Meester Cornelis, bahwa banyak orang berkumpul di rumah Entong Gendut. Dan sepucuk surat rupanya memang dikirim oleh Entong Gendut kepada demang, agar demang menghadap si ‘Raja Muda’ atau Entong Gendut sendiri.

Hari Ahad dan Senennya sibuklah wedana. Ia sendiri memimpin patroli. Dengan diiringi sepasukan polisi, ia menuju ke rumah Entong. Rumah itu pun dikepung. Wedana berteriak supaya Entong keluar. Entong menjawab ia akan keluar setelah selesai sembahyang.

Ketika akhirnya Entong Gendut keluar — dengan membawa tombak yang ditutupi kain putih serta keris dan bendera merah yang dihiasi bulan sabit putih — ia mengatakan dirinya Raja. Ia tak tunduk pada hukum apa pun dan juga pada Belanda. Para pengikutnya pun berteriak: “Sabillullah, tidak takut!”

Pertempuran pun tak terhindarkan. Wedana berhasil ditangkap rakyat, tapi kemudian bantuan datang dan Entong Gendut mati.”

“Wah, kok dongeng sampean mengingatkan saya pada peristiwa Priok pada 1984 ya, Paklik? Bedanya, pemimpin gerakan di Priok bukan Entong Gendut, melainkan Amir Biki.Atau insiden Sampang, Madura, di zaman Orde Baru ya, Paklik?”

“Yah, sejarah kan memang bisa berulang, Mas. Lokasi dan tokohnya bisa berbeda. Tapi, yang lain-lainnya kurang lebih sama. History repeats itself.”

“Berarti penduduk di Porong juga bisa seperti warga di Condet, Tanjung Priok, atau Sampang di masa lalu dong, Paklik?”

“Saya ndak bilang begitu lo, Mas.”

Ah, Paklik …

§ 11 Responses to Protes Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan ke dhany Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Protes Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta