Senayan Pecas Ndahe
Mei 8, 2007 § 31 Komentar
Sekali-sekali sempatkanlah mampir ke Senayan City — kompleks mal, apartemen, dan perkantoran yang megah, gemerlap di malam hari, di jantung Jakarta itu. Lalu perhatikan baik-baik mulai dari depan, sebelum sampean masuk, hingga di dalamnya.
Kesan apa yang akan sampean dapat?
Mungkin sampean akan terpesona oleh sihir mal itu. Bayangkan, bila malam tiba, dinding luarnya disiram cahaya lampu-lampu ribuan watt. Di dalamnya tak kalah benderang. Lantai ruangan seluas 48 ribu meter persegi disentor mesin pendingin berkekuatan ratusan tenaga kuda. Puluhan toko, restoran, salon, juga kafe berjejeran, moncer dan elok.
Ah, kejutan yang tak terpermanai katanya — seperti yang tertulis dalam situs resmi Senayan City.
Infinite Surprises. Senayan City is Grandeur of unity to create a treasure as worthy as to serve the prestigious land of honour. With more than 48000 square metres Senayan city not only give birth to new phenomena, trendsetter and top notch lifestyle as a special gift to visitors, impressive service are also harmoniously rendered to create a tender and memorable atmosphere. Some shops have been magnificiently designed to be the first in Indonesia. Senayan City underline the significant of International Brands as well as Local Brands in order to reflect the greatest rendezvous dinning and fashion in the world.
Memang, di Senayan City itulah semua yang mahal, elit, mewah, glamor, pokoke creme de la creme, kumpul menjadi satu. Semua merek terkenal di dunia ada di sana.
Sebut saja, sampean mau cari apa? Armani, Bossini, Calvin Klein, Debenhams, Dunhill, Gianfranco Ferre, Gucci, Marks & Spencer, U2, Versace, Vivere? Ada semua!
Mau yang lokal? BreadTalk, Dabu-Dabu Restaurant, Kafe Betawi, Waroeng Kita? Ada! Kurang apa lagi?
Dan, itu belum seberapa. Persis di depannya ada gedung sejenis. Plaza Senayan namanya. Meski sedikit lebih kecil, isinya kurang lebih sama, termasuk daya sedot energinya. Jangan lupa, di sana juga ada kafe-kafe dengan mesin-mesin pembuat kopi, mixer, kulkas, dan benda-benda elektronik lain yang haus listrik.
Padahal di seantero Jakarta ada beberapa plaza dan mal lain. Ada Grand Indonesia (d/h Plaza Indonesia), Plaza eX, Plaza Semanggi, Pondok Indah Mal, Puri Mal, dan banyak lagi. Itu belum termasuk gedung-gedung berlabel “town square”. Semuanya sama-sama berpendar lampu warna-warni. Bila malam tiba, mal dan plaza itu persis lampu petromak yang dirubung laron.
Setelah itu, coba sampean membayangkan sebuah dusun gelap di pelosok Jambi, atau Kalimantan, Sulawesi, Papua, atau di mana sajalah. Pokoknya sebuah udik yang belum terjangkau listrik, telepon, jalan tol, jalan layang, apalagi mal.
Kesan apa yang sampean dapat?
Sebuah kontras? Kesenjangan? Ketidakadilan? Ketidakmerataan?
Pertama-tama memang terlihat betapa tak seimbangnya perbandingan itu. Lihat saja berapa energi [listrik] yang disedot oleh lampu-lampu di mal-mal dan plaza itu. Kemudian bandingkanlah dengan pasokan listrik di luar Jakarta. Ndak usah yang di udik-udik amat. Bandingkanlah, misalnya, dengan Balikpapan yang listriknya bya-pet.
Itulah yang menganggu pikiran setiap kali saya melintasi jalan di depan Senayan City, hampir setiap hari. Rute menuju pabrik saya memang lewat sana. Dan, setiap kali itu pula saya selalu ndlongop.
Bagaimana mungkin dalam sebuah negara terjadi ketimpangan yang begitu mencolok seperti itu? Kenapa di Jakarta kita seperti bisa mendapatkan apa saja ketika pada saat yang sama di sebuah dusun sana warganya sulit sekali bahkan untuk sekadar menyalakan lampu lima watt?
Boro-boro mau pakai baju bermerek, lah wong mau berangkat mencari ilmu saja mesti berenang dulu sebelum sampai di sekolahnya. Betapa jauh rasanya jarak antara Senayan dan Ndhiwek, misalnya. Bagaimana mungkin ini terjadi …
“Ini semua terjadi karena mungkin kita lebih mementingkan kemerdekaan ketimbang keadilan dan pemerataan, Mas,” kata Paklik Isnogud.
“Ah, cukup, Paklik. Cukup. Stop! Saya ndak mau mendengar lagi petuah sampean yang malah membuat saya tambang bingung. Nyuwun sewu, Paklik. Saya sedang ndak mau mendengarkan sampean. Saya capek. Saya jenuh. Terlalu banyak persoalan di kepala. Saya ndak mampu mencernanya lagi. Sudah cukup sampai di sini … ”
“Oalah, Mas … Mas … Laki-laki yang aneh. Sok sensitif. Huh!”

woww…pertamax *tumben*
asemmiii.. jebul yg crito paklik is to??
saya ndak pernah mau lewat sana, mas ndoro.. lampunya bikin blereng dan takut kesasar.. 🙂
Balikpapan kota minyak, listrik byar pet….
Bontang kota pengolah gas, tapi gas langka dan mahal…
Kaltim propinsi kaya tapi menderita ??
Lha kalo lampu2 di mall2 diganti yang 5 watt, ntar dikira bisnis “warung remang2” Ndoro ???
disana ada sego pecel ngga ndoro?
Ora kebayang bayare listrik piro yo…..nek di gowo nang ndesoku iso gawe padang sak kecamatan
Kalo ada latar nganggur dekat sana, mbuka tenda tegal mawon, biarpun megah kinclong-koncling, karyawane pasti madang warteg.
rute neng pabrikku yo metu ndono ndoro, tur aku lewat mung nek esuk je nek bengi ora tau lewat dadi ra ngerti nek padhang njingglang karumenthang kaya ngono. Mlebu senayan city enthuk nganggo sendal jepit ora ndoro?
Lha kalo emsi emsi kui melafalkan Senayan City jadi Senayan Shitty je. Padang gilar-gilar ning rada-rada mambu kesannya ndoro.
wah breadtalk lokal rupanya 😀
senayan city ga enaknya bagian mau keluar dari gedung parkirnya. payah 😦
trus ga ada toko buku yang mendingan … satu2nya toko buku di situ … kurang menggairahkan 😦
Waktu saya baru pulang kemaren dulu itu, orang-orang nanya: Udah liat Senayan City belum?
Pikir saya, ada apa gerangan?
Setelah saya liat, yang kepikir malah: Busyet, disini PS disitu SC, di belakang Ratu Plaza, trus ada lagi yg baru mau buka juga. Gileeee…. Akihabara aja lewatttt!
catatan di pinggir blog nih, Ndoro?
emoh lewat ah mengko rabunku bertambah
Aku entuk voucher Umbro, pilihan cuma Senayan City dan Cikini. Yo wani nang Cikini, lha Senayan City luwih larang sampe 50 ribu je 😀
“Betapa jauh rasanya jarak antara Senayan dan Ndhiwek, misalnya. Bagaimana mungkin ini terjadi …”
>> duit ndoro, duitttttt…
Baru balik dari Sumberjaya, Lampung (yang tergolong kecamatan maju), yang tentunya jauuhhhhhhhhh keadaannya dari Senayan city… hehehehe..
wes timbang aku ndlongob mbayangke larang2nge barang neng kono*seng ra mungkin terjangkau tangan-hiks* tak macak waelah…
tapi neng mall kan akeh kates nom putih putih pating grandul to dhe… hayo ngaku wae.. pironan to dhe…
belum pernah ke sana. kejauhan dari ndeso saya 😀
Kesenjangan di Indonesia itu memang fantastis! Di satu sisi ada yang kelaparan, di ujung yang lain belanja tas Chanel yang harganya puluhan juta.
Tapi kalau secara sistemik situasi dipaksa sehingga semua bisa makan, tapi semua tidak bisa beli tas Chanel itu mestinya salah juga ya ndoro? Idealnya semua orang bisa hidup layak (kenyang, teduh, educated, dan sehat), tapi yang pinter dan kerja keras dan beruntung bisa dapat ‘lebih’.
Nambah 😀
seharusnya kemerdekaan itu tiket menuju ke keadilan dan kemerataan. Tapi ada soemthing missing sehabis kita merdeka 😀
Aku sok tau tenan :))
masalah lampu ? embuh lah. sing penting kalo di senayan city bisa makan nasi liwet keprabon di urban kitchen, uenak tenan, rasane asli…
saya mau nasi liwetnya! di Solo 9rb seporsi lengkap. di Urban kitchen berapa? 😀
^^
40 ewu mon,lengkap pake ayam jowo + rempelo ati + suwir + tempe bacem + sambel + sayur…yen masalah harga memang segitulah harga yang harus dibayar untuk mengobati kerinduan kampung halaman…hiks….
ayo ndoro, kita makan bareng disana, kontak lewat emailku ya…
katanya SenCi banyak copet hp loh *srius*
Beberapa hari yang lalu, listrik di rumah di Pancoran malah mati mbah, antara jam 10 malam – shubuh. Wueh, kira-kira apa disedot mal-mal ini ya listriknya…
Plaza Senayan toko buku cuma 1, itu juga belon buka hehehe..
Senayan City ada TGA thok. Di lantai 4.
Ga kaya Plaza Indonesia, toko buku impor ada, lokal.. kayanya ada juga deh.
Kegedean tempat. Capek jalannya. Mana keujanan pulak waktu kesana. Kademen.
lalu yang nyedot patung pancoran siapa?
yang ndeso seperti saya tak akan pernah kena silaunya lampu ndoro
Biyung biyung, Gusti Pangeran…
Jebulipun Negoro Jakarta klerap klerap kados mekaten to mbah…
Keng wayah dereng nate sowan mriko…
Kalo aku ke senci rasanya kayak tarsan masuk kota ndoro,..ketok ndesite..dng pakaian alakadarnya masuk mall metropolitan..hehehe