Penyiar Pecas Ndahe

Mei 14, 2007 § 25 Komentar

Berangkat ke pabrik pagi-pagi dan menemukan kemacetan di jalanan adalah sesuatu yang rutin setiap awal pekan. Saya nyaris hapal di mana titik-titik kebuntuan itu berada dan berapa lama saya akan terjebak di sana.

Ini Jakarta, Bung! What do you expect?

Tapi, pagi tadi ada yang berbeda. Dalam kemacetan yang panjang, saya mendapatkan hiburan ringan berupa cerita dari sebuah acara di iRadio.

Syahdan, Mbak Penyiar radio itu bercerita tentang pengalamannya melewatkan akhir pekan di Bali. Tapi, bukan acara jalan-jalan di pantai Kuta, makan di Legian, dan jojing di bar-bar yang dia ceritakan. Mbak penyiar itu malah mengisahkan bagian akhir perjalanannya, ketika dia di Bandar Udara Ngurah Rai, menjelang kepulangannya ke Jakarta.

Lah, kenapa?

Rupanya pada saat di airport itulah Mbak Penyiar melihat ada sepasang laki-laki dan perempuan bersikap sangat mesra. “Sejak turun dari mobil, check-in, sampai duduk di ruang tunggu pun mereka mesra terus. Ih, kita jadi iri deh,” begitu Mbak Penyiar bercerita.

Pasangan itu, kata Mbak Penyiar, memakai pakaian yang sama — maksudnya corak dan warnanya. “Kayaknya sih, bukan pengantin baru karena tampang mereka sudah agak berumur.”

Anehnya, begitu sampai di Bandar Udara Soekarno-Hatta, mereka berpisah. Naik bus dari pesawat ke ruang tunggu nya pun sendiri-sendiri. Waktu antre mengambil koper juga jauh-jauhan. Ada apa?

Mbak Penyiar dan teman-temannya semula menduga pasangan itu baru saja cekcok di dalam pesawat, lalu sama-sama ngambek. Tapi, mosok sampai segitunya, tanya temannya yang lain, setengah tak percaya. Ah, ndak mungkin. Pasti ada sebab lain.

Pertanyaan mereka baru terjawab di pintu keluar. Yang perempuan ternyata dijemput oleh seorang laki-laki dan yang pria sudah ditunggu oleh perempuan lain bersama anak-anaknya.

Hahaha … Mbak Penyiar itu tertawa. Mereka ternyata pasangan yang baru saja berselingkuh di Bali. Begitu sampai di Jakarta, mereka terpaksa harus menerima kenyataan dan kembali ke pasangan resmi masing-masing.

Saya mendengar cerita itu dalam diam. Tertawa pun tidak.

Selingkuh? Betapa mahal harganya. Ongkos ke Bali dan senang-senang selama akhir pekan tentu ndak murah. Sampean mesti keluar duit berjuta-juta rupiah, buat ongkos tiket pesawat, menginap di hotel, sewa kendaraan, mbayar makan dan minum, jojing dan mungkin sedikit mabuk di bar. Belum lagi kalau mereka juga beli buah tangan untuk kerabat atau keluarga di rumah. Berapa duit itu?

Duit? Hah! Tiba-tiba saya seperti tersadar dan melongok isi dompet. Saya lihat cuma ada selembar kertas dengan gambar Kapitan Pattimura memegang golok.

Diamput! Lah nanti saya mesti mbayar karcis tol pakai apa …

§ 25 Responses to Penyiar Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan ke JURAGANBATIK Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Penyiar Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta