Pelawak Pecas Ndahe

Mei 18, 2007 § 21 Komentar

Mengapa acara lawak di televisi kian tak bermutu? Mengapa lelucon mereka cenderung dangkal? Cermin hati publik yang tak lagi mengeluhkan keadaan?

Paklik Isnogud memberondong saya dengan pertanyaan itu tadi pagi ketika kami masih bersantai. Pabrik sepi. Jalanan di Jakarta juga lengang. Orang-orang tengah menikmati libur panjang di pertengahan Mei ini.

Buat kami yang diperbudak pekerjaan ini, televisi menjadi satu-satunya hiburan yang paling gampang. Mau keluar pabrik kok males. Jadilah kami membincangkan acara-acara TV, yang menurut Paklik Isnogud, “kehilangan daya tarik intelektual”.

“Halah, Paklik. Sampean ini serius amat menilai acara TV kita. Sampean kok jadi keminter,” saya mencoba protes.

“Lah ini kenyataan je, Mas. Lihat saja dari acara lawakan atau badut-badutannya. Sekarang ini mana ada pelawak yang cerdas di TV?”

“Tapi kan masih ada pelawak seperti Tukul, yang acaranya laris manis dan selalu ditonton orang, Paklik.”

“Buat saya Tukul itu terlalu slapstik, dangkal, Mas. Dia cuma orang yang pandai mengeksploitasi dirinya sendiri dan orang lain. Coba saja dia disuruh tampil sendirian tanpa bintang tamu. Bisa apa dia?”

“Weits. Sampean bisa diprotes orang, Paklik.”

“Biar saja. Boleh kan saya punya pendapat yang berbeda?”

“Boleh sih, tapi kok rasanya gimana gitu.”

“Begini ya, Mas. Menurut saya, yang namanya pelawak, badut, juga pantun jenaka itu tak sekadar lelucon. Mereka bisa disebut sebagai media untuk perasaan tak senang. Khususnya, ini terjadi di masyarakat Jawa di masa silam, ketika tak banyak jalan bagi rakyat kecil untuk mengeluh tentang keadaan.

Setidaknya, begitulah yang dilukiskan oleh Soemarsaid Moertono dalam risalahnya yang terkenal, State and Statecraft in Old Java, yang diterbitkan dalam versi Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia dengan judul panjang: Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau.”

“Ck, ck, ck … sampean elok tenan, Paklik. Lah wong urusan lelucon kok sampai baca buku segala. Itu buku cerita soal apa?”

“Dalam studinya tentang Kerajaan Mataram dari abad ke-16 sampai ke-l9 ini, Soemarsaid menyinggung bagaimana humor rakyat bisa jadi petunjuk ‘perasaan tidak senang’ masyarakat.

Di lingkungan yang tampaknya membisu karena takut bicara itu, kata-kata tajam tapi padat bisa di gubah. Pantun dan sajak bisa jadi sejenis nyanyian jalanan, yang diteriakkan berbalas-balasan.

Pantun-pantun jenaka itu, kata Soemarsaid Moertono, ‘kadang-kadang tidak begitu jelas artinya’, tapi ‘menyatakan apa yang merupakan kepentingan rakyat biasa ketika itu’.

Mungkin karena itulah dalam masyarakat Jawa, badut dan pelawak secara tradisional mempunyai kekebalan tertentu terhadap hukum.

Kejenakaan dan, kadang-kadang, ucapan pedas mereka, mengenai suatu situasi yang berlaku, dibiarkan. Sampean tentu tahu kan, dua tokoh dalam arak-arakan Grebeg yang dibuat oleh raja-raja Yogya dan Surakarta, tokoh cantang balung, yang berpakaian aneh dan bertingkah menggelikan di tengah prosesi yang khidmat.

Tampaknya, suatu masyarakat yang beku mau tak mau mencoba mendapatkan celah untuk mengalirkan perasaan yang tersimpan.

Sadar atau tak sadar, para penguasa pun membutuhkan hal yang sedemikian. “Tiap orang membutuhkan obatnya sendiri,” konon begitulah kata-kata Raja Henry VIII dari Inggris yang kemudian termasyhur sebagai pemenggal para permaisuri ketika ia mendengar seorang pengkhotbah yang mengkritiknya dengan keras.

Satire, parodi, ejek-ejekan kepada penguasa, bukan cuma terjadi di negeri-negeri sosialis. Bedanya ialah bahwa di negeri-negeri tanpa kebebasan ekspresi, ada perbedaan besar antara apa yang dikemukakan secara terbuka dan apa yang diungkapkan secara berbisik-bisik. Ada bahasa ganda, percakapan ganda. Ada pura-pura dan siasat. Orang mengerjakan dan membicarakan satu hal, tapi — di ruang tertutup — mengetawakan hal itu.

Sekarang lihat apa yang terjadi di sini. Lelucon para pelawak kita kering. Sindirannya, meski sesekali masih ada, sepertinya kurang mewakili suasana hati orang banyak. Mungkinkah ini karena masyarakat sudah cukup puas dengan keadaan, Mas?”

“Mungkin juga karena acara lawak di TV kurang laku. Rating-nya rendah. Bayarannya kecil. Para pelawak pun jadi enggan melucu dengan serius, Paklik.”

“Mungkin juga, Mas. Ah, saya ndak tahu … ”

Hmmm … Komentar Paklik Isnogud mungkin ada benarnya. Bagaimana menurut sampean Ki Sanak?

§ 21 Responses to Pelawak Pecas Ndahe

  • avatar adipati kademangan adipati kademangan berkata:

    Srimulat muncul kembali ndoro !!!

  • avatar trie trie berkata:

    lho..kan udah ada pelawak-2 baru toh ndoro..itu yg di gedung gede bunder itu ?.

  • avatar Hedi Hedi berkata:

    Sekadar tertawa sih memang ok, tapi kalau lihat kedalaman seperti Paklik itu, ya sedih juga.

  • avatar peyek peyek berkata:

    pelawak intelektual? ah ndoro, mana ada sih dinegeri ini? padahal banyak cara buat ekspresi termasuk melawak, nggak cuma lewat media intelek, biar dibilang intelek kan ndoro?

  • avatar peyek peyek berkata:

    Cermin hati publik yang tak lagi mengeluhkan keadaan?

    ah kesimpulan tergesa-gesa, saking budheg-nya para penguasa

  • avatar Herman Saksono Herman Saksono berkata:

    Sekarang jamannya dhagelan frontal. Masyarakat baru asyik-asyiknya menikmati pembaharuan ini setelah jenuh dengan dagelan serba samar. Tunggu 30 tahun lagi, nanti dagelan yang berkelas pasti ngetrend lagi.

  • avatar Abi_ha_ha Abi_ha_ha berkata:

    Paklik memang terlalu serius. Masyarakat ki kian mesake lho, di luar rumah itu mumet, terutama cari rejeki. Masuk rumah sudah lemes kadang duitnya ya gak dapet, mosok nonton lawak aja ya harus pake mikir. Mbok tinggal duduk terus cekikikan tur cuwawakan kan enak. Koyo nonton Thukul kae.
    Intelektualitas tinggi buat yang banyak duit sajalah, yang kalo merem saja jadi duit.

  • avatar sangar! sangar! berkata:

    wah paklik isnogud kalah sangar karo soemarsaid to dhe…
    soemarsaid wae iso sinau seko abad 16 tekan 19, dadi canggah sak moh mohe kuwi, lha paklik isnogud dijak ekspedisi gandulan karo spiderman, boyoke rak kuwat… 😛

  • avatar yati yati berkata:

    ngapain liat di tipi? ga ada yang lucu kok. extravaganza ga pernah bikin sya ketawa. tapi liat di senayan…bakal ngakak terus!

  • avatar hanny hanny berkata:

    wong yang paling lucu tuh justru nggak dilabeli ‘pelawak’ kok ndoro, banyak orang-orang lucu di negeri ini yang kerjaannya ‘serius’ 🙂 tapi ‘lucunya’ nggak ketulungan.

  • avatar anakperi anakperi berkata:

    abdi dalem oceh-ocehan pada mutung…
    jangan-jangan karena responnya juga dangkal…?

  • avatar dendi dendi berkata:

    mungkin gara-gara srimulat..

  • avatar walahwalah walahwalah berkata:

    “Mungkin juga karena acara lawak di TV kurang laku. Rating-nya rendah. Bayarannya kecil. Para pelawak pun jadi enggan melucu dengan serius, Paklik.”
    Masaksih…? buktinya extravaganza, tukul, juga yang lain-lain masih terus eksis mengalahkan acara yang seharusnya punya mutu tapi sayang gak ada yang nonton masih laris manis…???
    ah banyak yang tidak saya pahami dari negri ini…???
    bagaimana dengan Republik BBM..?

  • avatar agung agung berkata:

    bacalah majalah atau koran dengan akal sehal. banyak yang lucu juga kok. hihihi.
    ngomong-ngomong, di tv juga banyak acara lucu kok, seperti acara perbincangan dengan hawid a atau dengan yusril. yusril yang katanya ahli hukum kok ya setengah mati bilang dia tidak melanggar hukum.

  • avatar agga ayu agga ayu berkata:

    yg laku di jual di indonesia emang komedi slapstik. sumber inspirasinya mungkin datang dari para pejabat kita yg seringkali bertingkah mirip badut 😀

  • avatar guntur guntur berkata:

    Ndoro,
    saya sudah bosen nonton Tukul. Sekarang yg tak tunggu2 karna bisa bikin ngakak malah posting2 nya panjenengan, paman tyo, sir ndobos, lan sakpanunggalane.
    Mbok pada bikin grup lawak aja…. =)

    halah. nanti malah ndak lucu lagi, mas … 🙂

  • avatar mathematicse mathematicse berkata:

    Klo Gus Dur masih lucu engga ya?

    menurut sampean piye, mas?

  • avatar -tikabanget- -tikabanget- berkata:

    respon masyarakat yang berlebihan..
    bukan Tukulnya yang salah..
    hehehe..

    iki bukan tentang salah atau benar, tik .. 🙂

  • avatar pembaca pembaca berkata:

    kalo sekarang ini,,yang paling lucu yaa sengketa di meruya….Ya tho, Ndoro??

  • avatar Pengkik Pengkik berkata:

    walahh..kalo semua pelawak diharuskan ngelawak secara cerdas yo sing bakalan ngguyu ya cuman pak lik isnogud. kasihan dong lek’ ngatijo, pakdhe har, mas bejo, slamet.. yang belum punya daya observasi cangkeme nggah-nggih..alias canggih !.
    dagelan is dagelan, pokok’e iso nggawe ngguyu yo wis. kalopun keliatan cerdas, yo alhamdulillah wae.. 🙂

  • avatar jhono jhono berkata:

    nonton lawak*an senayan aja lucunya bukan main !!!!

Tinggalkan Balasan ke pembaca Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Pelawak Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta