Lengser Pecas Ndahe

Mei 21, 2007 § 16 Komentar

Seorang raja, pemimpin yang bertahan lama, melepaskan kekuasaannya. Hari ini, sembilan tahun yang lalu. Saya mengikuti perubahan sejarah itu melalui pesawat televisi di tengah sebuah kota kecil yang adem dan tenang di Jawa Tengah.

Saya ingat, hotel tempat saya menginap — bekas penjara di zaman kolonialisme Belanda — waktu itu cuma berisi beberapa tamu, kebanyakan orang asing. Sebagian besar tamu sudah check out beberapa hari sebelumnya atas permintaan kedutaan mereka masing-masing. Sebagian lagi memilih bertahan di hotel karena tak tahu harus ke mana. Transportasi susah dicari. Kalaupun ada bangku kosong, sopirnya tak berani melakukan perjalanan jauh.

TV berlayar lebar itu ada di lobi. Beberapa tamu ikut menonton sambil ngopi atau mengunyah cemilan. Tapi, semuanya diam, agak mencekam. Bartender pun hanya berdiri di balik meja bar sambil mengelap gelas. Matanya menatap TV. Di layar itu, sang pemimpin sepuh berpidato mengumumkan pengunduran dirinya di ruang utama Istana.

Setelah itu, layar menampilkan suasana di luar Istana, kerumunan orang yang berjingkrak-jingkrak kegirangan seperti kuda lepas dari pingitan. Kamera menembak wajah-wajah sumringah, mahasiswa berpelukan dan bertepuk tangan. Sebuah pesta yang tak saya ikuti.

Setelah itu di televisi berseliweran gambar-gambar lain. Saya tak terlalu memperhatikannya lagi. Saya lebih suka mengajak istri saya berjalan keluar hotel melihat suasana kota kecil yang sepertinya tak terpengaruh oleh suasana di Jakarta. Bedes-bedes belum lahir waktu itu sehingga kami seperti pasangan yang tengah berbulan madu mencari suasana yang jauh dari hiruk pikuk.

Pagi itu, kota yang sehari-hari memang tenang itu tak terlalu sibuk. Jarum jam seolah berhenti. Hanya satu dua orang terlihat bersepeda di alun-alun yang cuma beberapa puluh meter dari hotel. Satu dua pedagang berjualan di pasar. Delman-delman parkir di pinggir jalan. Sais-saisnya mengaduk rumput makanan kuda. Tak ada gemuruh. Tak ada kegirangan yang riuh.

Istri saya lalu mengajak makan di sebuah warung di pinggir alun-alun. Sarapan setangkup roti apit dan segelas teh nasgitel [panas, legi, kentel] rupanya belum cukup membuat perutnya tenang.

Kami makan berdua dalam keheningan. Pikiran saya melayang jauh ke Jakarta, di mana sejarah yang mengubah wajah negeri ini tengah dipahatkan. Saya membayangkan gemuruh yang terjadi di sana.

Di layar TV tadi, saya ingat betul wajah sang pemimpin yang baru saja meletakkan beban di pundaknya. Parasnya tampak menua, kosong, tanpa senyum. Suaranya [tak seperti biasanya] lirih dan ia lebih banyak menunduk — persis orang yang kalah.

Seraya membayangkan pemimpin yang baru saja lengser itu, saya jadi ingat Paklik Isnogud. Suatu kali ia pernah mewanti-wanti saya bagaimana sebaiknya menjadi pemimpin. “Eh, siapa tahu suatu hari nanti sampean juga menjadi pemimpin, Mas,” begitu ujar Paklik.

“Amin, Paklik. Amiiiin … Tapi, memangnya bagaimana sih, menjadi pemimpin yang baik, Paklik?” saya bertanya waktu itu.

“Seorang pemimpin itu sebaiknya seperti laut — seperti petuah dalam Wulangreh. Da harus berlapang hati, luas, sanggup memuat dan memangku.

” … den ajembar, den momot lawan den mengku, den kaya segara”.

Ia bukan advokat dari satu pihak yang berselisih.

Sukses ideal seorang pemimpin hanya ditandai oleh dua hal. Ia bisa jadi milik sebanyak mungkin pihak di masyarakat. Dan, masyarakat tak merasa bahwa ia (dan aparat yang di bawahnya), sebagai sesuatu yang asing dan mengancam, tak bisa mempercaya dan dipercaya.

Ringkasnya: ada dukungan, ada legitimasi. Sebab, ia bisa jadi semacam pohon rindang, tempat siapa saja bisa berteduh.

Seorang pemimpin yang baik adalah ibarat sebuah danau. Ini menurut Tao, lo Mas. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi dalam. Dia tak berada di pucuk yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu bahwa sumbernya adalah air yang datang dari jauh di pedalaman: sebuah telaga tak bermula dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan.

Jangan sampai sampean menjadi contoh dari tipe pemimpin yang tak lagi mendengar rumput yang tumbuh — seperti yang pernah terjadi di Meksiko.

Di Meksiko, pemerintahan dipegang terus-menerus oleh Partai Revolusioner Institusional (PRI) semenjak 1929. Masa panjang itu tak tersaingi oleh siapa pun di luar dunia komunis. Bedanya: partai komunis merasa mewakili keharusan terakhir dari sejarah manusia, yang katanya adalah kemenangan atas kapitalisme.

PRI tak punya ajaran itu. Ajarannya hanya: stabilitas itu perlu.

Ajaran itu benar untuk suatu jangka waktu, dan bisa salah untuk jangka waktu lain. Selama hampir 60 tahun PRI menyediakan presiden dari kalangannya, juga gubernur, juga senator, dan juga hampir semua wakil rakyat di majelis rendah.

Akibatnya, seperti yang terjadi di mana saja bila kekuasaan berada di atas terlalu lama, ada tendensi untuk jadi makin tegar — dan “tegar” memang berarti kaku. Mungkin karena dasar pandangan yang selama itu dipergunakan tak hendak ditinjau kembali, berhubung tak ada saingan dan tak ada perbandingan.

Sementara itu, perasaan selalu menang menyebabkan kian tipisnya sikap toleran. Siapa yang tak mau ikut dengan segera jadi pembangkang.

Mungkin itulah sebabnya ketidakpuasan lalu menunjukkan diri. Orang-orang lalu meneriakkan protes. Memberontak. Lalu terjadilah revolusi itu.

Tampaknya, dalam memimpin sebuah bangsa, pintar saja memang tak cukup, bahkan benar juga tak memadai. Para pemimpin sering kali tak menyadari hal itu. Mereka tak pernah sekali pun merasakan terik dan capeknya berjuang untuk mendengar suara rakyat, dipilih rakyat.

Mereka tak menampung. Mereka bukan danau yang dalam. Mereka bertindak ini bertindak itu, tapi tak tahu adakah sumbernya jauh di pedalaman atau hanya air cipratan bapak pimpinan.”

“Aha, kok kedengarannya mirip yang juga terjadi di negeri ini ya, Paklik?” begitu komentar saya waktu itu setelah mendengar cerita Paklik Isnogud.

Paklik Isnogud cuma tersenyum.

Hari ini, sembilan tahun yang lalu, di warung kecil itu, saya ingat istri saya pun bertanya kenapa saya melamun dan tak segera menghabiskan nasi di piring. Saya juga cuma tersenyum dan menjawab pendek, “Ndak ada apa-apa kok, Jeng.”

Hari ini saya kembali mengingat-ingat kejadian-kejadian sembilan tahun yang lalu itu, mengenang masa-masa yang lewat. Ah, rasanya baru kemarin saya melihat di TV pemimpin itu lengser.

Ki Sanak, bagaimana kenangan sampean tentang hari bersejarah yang mengubah wajah Indonesia itu?

§ 16 Responses to Lengser Pecas Ndahe

  • avatar Luthfi Luthfi berkata:

    wah, waktu itu aku masih smp ndoro, jadi gak ngggagas kayak gituan 🙂

  • avatar Mbilung Mbilung berkata:

    kenangannya mengerikan ndoro

  • avatar balak6 balak6 berkata:

    kecewa ndoro…. itu orang kok kebal hukum..???!!!

  • avatar dodi dodi berkata:

    saya lupa nontonnya di mana. entah di asrama, atau di sebuah warung. yang pasti di Bandung.

    yang saya ingat, reaksi yang menonton bermacam rupa. ada yang menutup muka –terharu. ada yang melongo tak percaya. dan reaksi2 lain yang bisa Ndoro bayangkan, lah.

    dalam hati kecil, saya bertanya. Sang Raja turun, lalu apa? sembilan tahun kemudian, pertanyaan itu tak tuntas juga terjawab.

  • avatar andrias ekoyuono andrias ekoyuono berkata:

    waktu itu lagi ikut try out UMPTN, diberi pengumuman oleh mas2 mahasiswa yang jadi panitia, orang2 pada tepuk tangan, tapi pas itu saya belum dong..ada apa sih kok pada tepuk tangan ? secara waktu itu ngobrol ama kenalan cewek yang duduk di sebelah, hihihihi

  • avatar peyek peyek berkata:

    waktu itu status masih mentereng, mahasiswa gelandangan!!,

    di surabaya tak kalah dgn senayan, jadi aktif pendemo, nggak peduli siang malem, nggak tahu kedepannya kayak apa, yg penting sang raja harus meletakkan mahkotanya dulu, dan itu serasa harga mati buat mahasiswa saat itu.

    kata pertanyaan “sekarang?” dan “pemimpin ideal negeri ini?” tak kunjung juga kami temui sampai detik ini ndoro! ya perjuangan masih panjang dan berliku.

  • avatar .\Goio .\Goio berkata:

    Aku ingat, menontonnya di ruang perpustakaan sekolah kami(bareng sama dodi tuh, doi kok lupa sih).

    Perasaanku? terus terang campur aduk, tapi mayoritas adalah perasaan lega karena kondisi yang mencekam tampak akan segera memudar. Tampak secercah harapan ke arah yang lebih baik. Bahkan ada perasaan bersemangat juga.

    Tidak ndoro, aku tidak pernah menganggap itu adalah kemenangan satu pihak dan kekalahan dari pihak yang lain… yang paling terasa hanyalah perasaan lega setelah sebuah penantian yang mencekam. Kenapa lega? entah…

  • avatar pitik pitik berkata:

    wah..jadi ingat pentungan polisi yang nyasar di kepala saya waktu itu..

  • avatar temy_ws temy_ws berkata:

    Saya ingat. Waktu itu sedang nonton di tv sama Papa saya sambil jaga toko kami di Jogja. Rasanya lega, was-was, penasaran dll deh. Langsung kontak ke teman2 Mahasiswa. Wah..wah..wah.. pokoknya campur aduk deh.

  • avatar pinkina pinkina berkata:

    saya gak ingat waktu itu nonton tv apa ndak…
    yang saya tahu saya bbuueenncciii saat2 itu, karena banyak peristiwa di thn itu :
    1. SMPku gak jadi rekreasi, takut ada kerusuhan
    2. Harga2 naik, akhirnya rumah tempat aku tinggal yg sedang dibangun jadi terbengkalai
    3. Keadaan sepertinya mencekam & menakutkan, pdhl suasana di kampung tempat aku tinggal biasa2 saja

  • avatar yati yati berkata:

    mmm….waktu itu, toples pecah dilempar bapak ke tipi saking senengnya!

    ah, kenangan mulu…dia tetep aman! apan dunk diadili?

  • avatar Pengkik Pengkik berkata:

    **Iki blog ‘asu’ tenan. mulai awal moco ngakak terus baca isine**.

    21 mei’98..hmmmm. waktu itu plg demo stlh surabaya di landa demo besar2an. hati masih terpikat mahasiswi cantik yang naik diatas bisnya Ubaya. gimana ora kepincut, wong diteriaki Reformasi ! malah ngeliat ane dg senyum sambil matanya menatap mesra, sampe melongo ane.. waduh Gr.. hix2

    iki cah Sleman yo? 🙂

  • avatar pembaca pembaca berkata:

    berangkat ke sekolah siap2 mau ujian, harus jalan kaki karena angkot dilarang liwat di sekitar sekolahku dijaga panser2 dan kawat berduri…hiiy serem, Ndoro,,wong pas iku aku masih seragam biru putih

  • avatar mathematicse mathematicse berkata:

    Waktu itu saya masih SMA, kelas 2. Walau lewat TV, saya bisa saksikan keadaan Jakarta yang ramai demo mhswa…
    Saya jadi suka dengan sang lokomotif reformasi….

  • avatar yudhis yudhis berkata:

    ter inspirasi pas si habibie nongol di metro tv kah ? qiqiqiqiqi.

  • avatar Pengkik Pengkik berkata:

    kulo tiyang Hongkong mbah kung, gang 1 no.27 deket mushola

Tinggalkan Balasan ke temy_ws Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Lengser Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta