Burma Pecas Ndahe

Oktober 4, 2007 § 20 Komentar

Ketika tentara junta militer Burma menyiramkan peluru dan mengayunkan pentungan ke arah warga dan para biksu yang turun ke jalan, apa yang sesungguhnya terjadi di negeri Pagoda itu?

Kelaliman atau justru sebuah perlawanan?

“Itu keberanian yang menular, Mas,” kata Paklik Isnogud. “Suu Kyilah yang menularkannya.”

Maksud Paklik?

“Kita tahu, Suu Kyi adalah pemimpin oposisi untuk hak-hak asasi di Myanmar dan penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1991. Ia anak seorang tokoh pergerakan nasional yang dianggap pahlawan: Aung San atau sering dipanggil ‘Bogyoke’.

Kata ini berarti mayor jenderal, tetapi dalam hal Aung San itu berarti juga ‘bapak tentara’, sebab dialah sang pendiri. Terkadang ia juga dipanggil ‘Boh Aung San’.

Komitmen Suu Kyi tak bisa dilepaskan dari ayah itu, Aung San, dan tanah airnya. Mungkin sebab itu Suu Kyi terus berjuang melawan junta. Ia yakin bahwa ia tak akan kalah: wanita yang berwajah lembut dan bertubuh semampai itu memang didukung rakyat, meskipun ia disekap oleh senapan.

“Bukan kekuasaan yang merusak watak, melainkan ketakutan,” katanya. “Takut kehilangan kekuasaan merusak mereka yang memegang kekuasaan, dan takut akan dilanda kekuasaan merusak mereka yang dikuasai.”

Manusia harus mengendalikan ketakutannya, bukan takluk kepadanya, ujar Suu Kyi. Keberanianlah yang harus dihidupkan dan ditularkan. Bukan ketakutan.

Maka, pekan lalu kita melihat para biarawan dan biarawati berbaju merah itu yang turun ke jalan menggandeng rakyat Burma.

Mereka akhirnya memang kalah setelah militer memutuskan mengakhiri gerakan massa dengan kekerasan. Pasukan juta menyerbu biara-biara dan memberangus para biksu. Sejarah tampaknya sedang berulang di Burma, Mas.”

“Berulang bagaimana, Paklik?”

“Burma memang punya sejarah kekerasan dan pemberontakan yang panjang. Pada 1930, misalnya, tersebutlah seseorang yang bernama Saya San. Ia mengaku sebagai Setkya-min — raja yang membalas dendam dalam legenda rakyat. Ia juga mengaku sebagai Budha Yaza, pencipta utopia Budhis yang dikirim dari langit.

Dalam semua hal itu, ia agaknya hanya konsekuensi dari impian rakyat Burma miskin yang terpojok. Ratu Adil seperti itu telah berkali-kali tampil dalam kepercayaan rakyat, yang sudah praktis mengigau merindukan penyelamatan. Dan ketika Saya San pun datang, pemberontakah meletus meliputi sebagian besar wilayah utara, tengah dan timur.

Api itu berlangsung setengah tahun. Pada akhirnya, 9.000 orang ditahan, 3.000 terbunuh atau luka, 350 dihukum. Saya San sendiri digantung oleh penguasa Inggris.

Kemudian, sepi. Tapi, apakah itu damai, Mas?”

Bahkan para pejabat kolonial … di Burma Bawah di tahun 1930-an siap mengakui, bahwa perdamaian di daerah agraris itu mungkin perdamaian penindasan — James C. Scott, “The Moral Economy of the Peasant”.

Saya diam. Sayup-sayup saya seperti mendengar Arman Maulana bernyanyi, “Perdamaian, perdamaian … ”

[Terima kasih untuk Dewi yang mengingatkan saya agar menulis soal Burma. Posting ini untuk kamu, Dew]

§ 20 Responses to Burma Pecas Ndahe

  • nananias berkata:

    when you’re hurt and scared for so long, pain and fear turn to hate and hate starts to change the world…

    silent hill the movie.

    silent hill? aku nonton ora yo? lali … 😦

  • dewi berkata:

    fewh, setelah menunggu diam selama beberapa hari, hingga akhirnya ga tahan dan bersuara, ditulis juga tentang ini.

    jika ini seperti sejarah yang berulang, dnegan pelaku2 yang berbeda, apa kasalahan ada pada systemnya? mungkinkah ini suatu cara, untuk membuat keadaan menjadi baik2 saja? jika saja burma suatu hari memilih jalan sebuah demokrasi, akankah menjadi seperti indonesia, dimana demokrasi seolah semakin menjadi2? ah, itu pertanyaan retorik, ndoro. hanya sedikit dari kegelisahan yang mampu tersampaikan.

    makasih, ya untuk kejutan di tikungannya! jangan kapok meladeni reader usil seperti saya yang suka towel2. 😛

    hehehe … cuma nunggu tanggal aja kok, dew. biar pas ama bannernya. 🙂

  • Aris berkata:

    Sbg anak pendiri bangsa dan mantan pemimpin Myanmar, ketahanan Suu Kyi dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi dan penghormatan HAM memang patut diacungi jempol. Bagaimana dgn tokoh yg sama di negeri kita ndoro?

    emang ada ya?

  • Totoks berkata:

    Selama Rezim Junta masih berkuasa, dan gerakan rakyat masih terbelenggu maka selama itu pula kematian demokrasi berlangsung. Padahal mahasiswanya banyak juga lho disana tetapi mereka yg mencoba untuk menentang langsung ditahan. Jangankan demo, berbisik ngerasani rezim aja musti hati2 kalau ndak mau ditangkap.

  • Anto berkata:

    Kalau di Burma kejadian sejarah yang berulang adalah pergerakan rakyat mencoba menggulingkan otoriter Junta militer,MAKA di Thailand yang terjadi adalah sebaliknya yaitu militer menggulingkan pemerintahan sipil (dan ini juga kejadian sejarah yang berulang).Di Indonesia juga ada kejadian sejarah yang berulang. Hayo,apa itu ndoro ??

    nggg … anu … kemacetan di pantura pas mudik lebaran ya? *garuk kepala*

  • peyek berkata:

    nerima request juga tho!

    ugh, enggak .. enggak … enggak … 🙂

  • kuya berkata:

    “Posting ini untuk kamu, Dew”.
    Sejarah berulang 🙂

    ups. ada yg salah?

  • triadi berkata:

    oiya..gaya gaya nulis ndoro ni kalo ga salah campuran umar kayam sama gunawan mohammad deh…iya ndak ndor?:)

    lah embuh. sampean kan yg mbaca, mas 😀

  • aprikot berkata:

    boleh saya kliping ndoro? buat bacaan anak saya nanti 🙂 biar besuk kalo ndoro masuk sejarah udah kenal duluan 😀

    wah, suatu kehormatan buat saya bu guru 😀

  • extremusmilitis berkata:

    sekali lagi, patriotisme di papar-kan dengan tegas 😉

  • iphan berkata:

    ndoro, makasi loo udah bikin postingan ini.
    tugas kuliah ku lancar…

    ndak, aku ndak jiplak kok ndoro. cuman menguatkan konsep untuk paper yang aku bikin aja.

    kalo nilainya bagus, aku… aku… (enaknya ngapain ya?!)

  • yati berkata:

    hidup suu kyi!

    * nunggu tanggal pas? brarti besok ada postingan hari ABRI disini? xixixi….

  • firman firdaus berkata:

    mmm, kekuasaan yang terlalu besar memang cenderung menindas kang. podo ae lah neng Indonesia.

  • -tikabanget- berkata:

    dah tau tentang si Hla Win, pakdhe?

    sudah. lah wong saya kok … 🙂

  • Abi_ha_ha berkata:

    Apa jangan-jangan ada sebagian manusia yang memang harus ditindas kekuasaan atau tertekan dulu supaya maju.
    Singapore, Malaysia, dan utamanya China sukses maju dibawah pemerintahan absolut.
    Yang so’-so’an demokrasi macem Philipina dan endonesa malah mrotholi n kere.
    Jepang dan Korea juga maju di bawah tekanan rasa ‘terjajah’ kekuasaan asing. Demikian juga Taiwan tertindas rasa takut diakuisisi China malah bisa maju.
    Ya wislah… biar kere asal bisa menikmati blog yang merdeka, hidup demokrasi!! hidup kere!!

  • didi berkata:

    apa demokrasi itu satu2nya jawaban menuju kesejahteraan? suara rakyat suara tuhan? lha kalo rakyatnya maling semua apa nggak yang dipilih raja maling? kebebasan kayak apa yang bikin orang jadi sejahtera??

  • bambam berkata:

    Demokrasi dari dulu hanyalah sebuah bentuk pemerintahan yang sangat utopis…
    Hanya didasarkan pada keegoisan dari masing2 bangsa yang menuntut adanya keadilan…
    Sebenarnya demokrasi diciptkan untuk mebentuk sebuah keadilan yang merata pada semua lini…
    Tetapi yang terjadi adalah pemaksaan ego dari masing2 golongan yang menuntut keadilan berbeda-beda….
    Keadilan yang cenderung menjauh dari sisi kemanusiaan dan ketuhanan,melupakan hakekat sebenarnya manusia disiptakan,melupakan akan keberadaan tuhan yang maha esa.

  • maruria berkata:

    Junta..junta..sampai kapan akan terus menggunakan kekerasan?
    Jangan-jangan betul kata biarawan biarawati itu kalo junta sudah dirasuki iblis????

Tinggalkan Balasan ke yati Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Burma Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta