Telunjuk Pecas Ndahe

Oktober 14, 2007 § 15 Komentar

Saya selalu terheran-heran [sekaligus kagum] setiap kali menyusuri ranah digital dan menengok beberapa blog yang tetap “hidup” hari-hari ini. Karena, saya masih menemukan blog-blog yang tetap rajin menerbitkan beberapa tulisan terbaru dan mendapat komentar.

Di saat libur Lebaran begini kok ya ada yang masih rajin nge-blog? Ketika sebagian orang tengah asyik beranjang sana-anjang sini, bersalam-salaman dengan tetangga-sanak-kerabat, kok ya ada yang lebih memilih hanyut di alam digital: mencari inspirasi, membuka pc atau laptop, lalu ketak-ketik menjadikannya sebuah posting?

Siapakah yang mereka cari? Siapakah yang akan mereka temui? Siapakah yang mereka salami? Adakah yang mereka tunggu? Adakah sop iga di Internet? Adakah kehangatan pelukan pacar gelap di sana?

Yang bikin saya tambah heran, isi posting terbaru di beberapa blog itu tergolong serius: ada yang membahas soal politik, teknologi dan harga mikroprosesor, ekonomi syariah, dan sebagainya.

Saya membayangkan mereka mengerjakannya dengan penuh kesungguhan, cari data di sana-sini, ketika pada saat yang sama banyak orang lain tengah mengiris ketupat dan merasakan maknyusnya lontong opor ayam di ujung lidah.

Inikah yang disebut dengan blogging with passion? Kecanduan? Cinta mati? Niat yang tak bisa ditunda?

Saya ndak tahu. Normalnya sih, menurut ukuran saya loh, bukan ukuran sampean, nge-blog itu cukup di kala senggang saja. Di saat kesibukan sesungguhnya, di alam yang nyata, sedang bertumpuk, kenapa kita ndak menarik jarak dan meluruskan punggung saja? Yah, hitung-hitung kita melakukan “jeda kemanusiaan” begitu. Halah.

Soalnya, saya selalu ingat nasihat Paklik Isnogud setiap kali libur menjelang. Hidup bukan cuma hari ini, Mas. Ambillah libur di kala sempat dan ada peluang, sebelum pekerjaan benar-benar memaku kita di kursi nanti.

Saya kira Paklik benar. Mungkin ada baiknya kita memikirkan dan mengerjakan sesuatu dengan cara lain. Katakanlah begini, ketimbang nulis ini-itu, kenapa tak mengatakannya langsung kepada orang lain — teman, kerabat, tetangga, pacar, istri, suami, pakde, paklik, dan sebagainya.

Hasilnya toh sama saja. Dengan tatap muka secara langsung, komunikasi dua arah terjalin. Dan, sampean mungkin malah beroleh bonus senyuman dan tepukan di punggung. Syukur-syukur sampean dapat segelas es kelapa muda campur jeruk — sesuatu yang barangkali ndak bakal sampaean raih di jagad digital.

Ah, itu kan budaya tutur, ndak asyik lagi dan kuno. Sekarang zaman literer, tulis-tinulis, Ndoro.

Lah, tapi kan tetangga sampean juga belum tentu membacanya. Kecuali sampean menulis surat langsung ke mereka, lalu mengirimkannya via pos, mungkin tulisan itu bakal dibaca.

Kalau sampean nulisnya di blog, apa ya mereka baca? Ya kalau mereka pengeblog juga. Kalau bukan? Ya kalau mereka punya pc. Kalau nggak punya? Ya kalau mereka punya koneksi Internet. Kalau listrik saja ndak ada bagaimana?

Halah. Rasah crigis, ndak usah banyak ngomong, Ndoro. Lah wong sampean ya tetep nge-blog ketika orang lain libur. Ngaca dong, ngaca!

Hahaha … Ketika satu telunjuk menuding, jari lainnya memang menunjuk diri kita sendiri bukan?

Selamat menikmati libur yang panjang, tuan dan puan …

§ 15 Responses to Telunjuk Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Telunjuk Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: