Surat Pecas Ndahe
November 24, 2007 § 28 Komentar
Berapa lama waktu yang dibutuhkan sepucuk surat untuk sampai ke tujuan? Berapa kilometer per jam kecepatan secarik dokumen berjalan dari satu alamat ke alamat lain?
Saya menanyakan perkara itu pada sebuah malam yang getir kepada sebutir sekrup di sebuah pabrik besar bernama birokrasi.
“Ya ndak tentu, Ndoro,” begitu jawabannya. “Kalau yang nganter itu kurirnya perusahaan besar pengantar surat dan barang seperti yang di negeri tetangga itu, ya mungkin cepat. Dari Hong Kong ke Jakarta mungkin hanya perlu satu malam. Namanya overnight service.”
Tapi kan mahal?
“Relatif,” jawabnya. “Mahal tapi cepat sampai ya ndak apa-apa. Tapi, kalau mahal dan ndak tahu kapan sampainya, itu namanya sontoloyo.”
“Halah. Lalu, apa lagi faktor yang menentukan kecepatan sepucuk surat?”
“Tempat, Ndoro.”
“Tempat? Maksudnya jarak antara satu lokasi ke lokasi lain.”
“Bukan. Tempat surat itu berjalan dari satu meja ke meja lain.”
“Maksudnya?”
“Kalau seperti di pabrik saya, sepucuk surat bisa butuh sehari penuh untuk berjalan dari satu lantai ke lantai yang lain?”
“Halah. Lama amat? Kenapa bisa begitu?”
“Birokrasi.”
Birokrasi? Aha, saya ingat bayangan tentang birokrasi: sebuah meja yang lusuh, penuh dengan abu rokok, setumpuk map kumel, koran-koran berserakan, dan seraut wajah yang jemu.
Tapi, dari sanalah hidup kita ditentukan. Identitas kita disahkan, pernikahan kita dilegalkan, kendaraan kita dicatatkan, dan sebagainya. Tanpa birokrasi, kita bukan siapa-siapa.
“Birokrasi itu juga membuang waktu. Sepucuk surat bisa nongkrong berhari-hari di sebuah meja karena sang juragan besar sedang ndak ada di tempat. Entah cuti, sakit, jalan-jalan, atau indehoi di apartemen gundiknya, Ndoro.”
“Padahal mungkin saja surat itu berisi permohonan izin pengiriman bantuan makanan ke para pengungsi korban gunung meletus. Nah, kalau suratnya ndak segera diteken, lalu bagaimana perut para pengungsi itu? Bukankah perut ndak bisa menunggu?”
“Nyatanya begitu, Ndoro. Birokrasi memang merepotkan, tapi kita memerlukannya. Dan birokrasi itu ongkosnya memang mahal?”
“Seberapa mahal?”
“Lah mosok saya sering diajari untuk selalu memberi uang setiap kali selesai rapat.”
“Mau?”
“Ya ndak. Mosok cuma turun tangga ada uang transportnya.”
“Loh itu namanya amplop turun tangga, hahaha …”
“Lucunya, begitu saya tanya apa ada bon transportnya, eh yang saya tanya malah mendelik.”
Huahahaha … Modyar kowe!
Indonesia ternyata belum berubah ya, Ki Sanak? Sampean punya cerita seperti itu?
pertamax.. hehehe
kalau bisa dipersulit kenapa dibuat mudah… bukan begitu ndoro hehehe…
Ya itulah Ndoro.. kaya postingan di blog saya ini:
http://hariadhi.wordpress.com/2007/11/20/jerat-birokrasi-dan-geger-media/
Orang sakit bukannya dikasih kemudahan untuk berobat ke luar negeri malah dihalang-halangi. Katanya takut ahli kesehatan Indonesia tidak bisa mempelajari penyakitnya. Padahal bisa aja bareng peneliti asing, berbagi data.
(numpang populerin blog ya, Ndoro. hehe)
Thiiinx: Yang enak memang yg panjang2 ndoro, wis tradisi soko jaman singosari ampek jaman orde paling nyar…
Saya juga ragu Ndoro……..
Bisa dibayangkan jika semua pekerjaan dilakukan oleh mesin, meski bagian pengaturan dan pengawan dilakukan oleh manusia, demi pencapaian tujuan yang bernama “kecepatan” dgn embel-embel untuk mengurangi “korupsi”.
Terus, ada berapa banyak yah calon pengangguran?
.::he509x™::.
Mungkin karena budaya kita masih budaya sowan, jadi harus disowani dulu.
Dari beberapa kasus, suami saya rajin mengurus sendiri, kayaknya melelahkan, tapi di satu sisi menjadi tahu persis prosesnya. Jadi urusan IMB, ngecek sertifikat tanah di BPN dan melihat buku tanahnya (cerita tentang riwayat tanah tsb sejak pemilik awal s/d pembeli terakhr), juga urusan KTP dilakukan sendiri. Kalau urusan KTP, sejak masuk Jakarta akhir tahun 1979, saya selalu mengurus sendiri…memang ada sih biayanya, tetapi tertulis di kantor kelurahan…dan plus sumbangan sukarela. Menurut saya masih wajar kok, apalagi sekarang, kantor kelurahan ada telepon, ada hp, jadi bisa dihubungi sewaktu-waktu.
Surat pos sekarang juga udah baik, kita bisa melihat melalui internet apakah surat yang kita kirim itu sudah sampai apa belum, dan siapa penerimanya (jika surat dikirim via pos tercatat).
isi dan tanggungjawab yang terkandung di dalamnya. faktor lain.
semua butuh ‘transport’. namanya juga indonesiana :p
lho, ngomong apa saya tadi? waduh…
Di tempat saya bikin KTP Rp. 5.000,- ndoro…
Ditunggu juga bisa kok… paling2 kalo nggak rame 30 menit dah jadi…(dengan asumsi semua syarat dah lengkap).
Lambat atau cepatnya “birokrasi”, menurut saya tergantung pimpinan yang ada di “birokrasi” itu sendiri.
belum ada yang berubah ndoro… walaupun gaji pegawai depkeu naik berlipat lipat, ya lalulintas surat masih macet dimana mana kok 😛
sulit ndoro ,,endonesa sulit untuk berubah kayaknya,perlu kemauan yang super duper gede dari aparatnya sendiri,, ;p *sigh*
Salam kenal ndoro. Memang sulit ndoro menghapus “keleletan” ini. Gak usah orang dari pemerintah, swasta pun sudah ketularan. Mengakar sudah. Sayangnya, orang-orang yang sadar seperti kita, seringkali secara tak sadar menjadi birokrat, dengan memperpanjang urusan tersebut. Ya seperti urusan nota bon tadi. Ya daripada salah, dan dituduh yang bukan-bukan, walaupun nilai rupiahnya kecil,lebih baik nyuruh org tsb balik lagi ngambil bon. Itu pengalamanku ndoro…..
Ndoro,
kulo badhe ngaku : kulo gadhah 3 katepe :katepe ndeso, jakarta timur kalian jakarta utara, hehehehehe….lha kulo sakniki wonten bekasi..lha kados pundi, birokrasi njlimet,kulo nomaden jeeeeee……Sampun ditiru nggih, ki sanak…
huaaaa sering sekali mengalami yang kayak gitu. semuanya mulur hanya karena birokrasi… heran; banyak waktu, uang, dan tenaga yang terbuang hanya demi sesuatu yang bersifat struktural dan mengatasnamakan prosedur/formalitas. untung di kantor flat aja strukturnya, kalo gak bisa gila hehehe ;p
Seharusnya “de facto” bisa jadi alat untuk hidup, namun dalam situasi berbangsa dan bernegara malah “de jure” dibutuhkan. Repotnya, birokrasi ga punya substitusi, jelak atau bagus tetap dibutuhkan orang…
kesrempet sithik.. mak genyuk… wehehehehe 🙂
Wex..kan udah ada internet, Hp ndoro. Ngapain surat2an..
Lha kq.. *kaburr..*
Ndoro…sarah kabur…aku kejar ya ndoro???
* lari ngejar Sarah… *
@ sarah :
jangan samakan ndoro dengan kita2 yang masih berusia belia.
suatu waktu, ndoro perlu bernostalgia dengan kenangan jaman dahulu.
kalo birokrat doyan gundik
ya… gundiknya suruh ngantar surat!
cepet toh!
[endak juga.. jangan-jangan suratnya ikut dikeloni beserta gundik-gundiknya!]
pake merpati pos aja ndoro, kalau sudah tua dan lamban langsung dijadikan burung dara goreng
walah ndoro kakung uenak ceritane..
pengin tiru aku..
jadi ingat lagunya vina paduwinata:
“hari ini kugembira, pak pos melayang di udara..”
😀
masalah birokrasi…hhmmm…
aku masih gak abis pikir, kenapa biaya pembuatan KTP di kampung 5000 di Jakarta 300rebu ?????
/*gak punya KTP Jakarta
konon salah satu penyebab tertundanya sistem pembuatan nomor identitas satu orang satu nomor ya ini ndoro. harus ada banyak kepala yang harus dipangkas…
#pinkina… kamu nembak ya?
@pink
podo..haha, khan kita masih nomaden ya pink..hihi
citra meja birokrasi tengik. tapi disitu juga dulu aku ngurus beasiswa kuliah. ealah … urip ning Endonesa