Kavadi Pecas Ndahe

Desember 21, 2007 § 19 Komentar

Malam seperti itu, hujan sering turun. Ada kabut tipis dalam gelap, tumbuh dari udara panas. Kulit terasa lekat. Tapi hujan telah menunjukkan janjinya, untuk datang. Kaki-kaki telah bergegas. Orang mencari tempat dan atap.

Di antara suara sandal itu ada sepasang kaki yang lain. Bukan lain karena telanjang dan tua, tapi karena ritmenya berbeda. Langkah itu mirip langkah seorang penari kavadi. Cekatan, bersemangat, meskipun yang empunya berambut putih meskipun seluruh tubuhnya jembel, meskipun ia seperti sendiri.

Wajahnya adalah wajah tersiksa seorang penari kavadi — tersiksanya seorang kesurupan.

Orang tua itu jelas gila: setelah beberapa meter melangkah ke depan, ia pun akan berhenti. Lalu melangkah ke belakang, seakan-akan ia mencari seseorang atau terlupa akan sesuatu — kemudian berubah pikiran serta melanjutkan jalannya yang termangu.

Tapi ia tak sendiri. Di salah satu tangannya tergantung bungkusan kertas. Di dalamnya mungkin tersembunyi makanannya buat malam itu. Di lengannya yang lain, seorang bocah kecil terguncang-guncang dalam irama jalan pak tua yang rudin itu.

Terkadang ia nampak seperti terpuntir. Tapi tak menangis. Tapi tak ketawa Dari mana ia hingga sampai ke pelukan yang semacam itu? Apa yang kelak akan terjadi kepadanya?

Bocah itu seakan meletakkan kepercayaannya, total, kepada tubuh aneh itu, sebagaimana ia kadang meletakkan kepalanya. Tapi, orang-orang yang bersua dengan mereka di jalan terhenti sebentar untuk bertanya-tanya, dalam hati.

Beranikah mereka bertanya kepada pak tua itu tentang si bocah? Apa yang akan terjadi, jika saja lelaki itu tiba-tiba memutuskan untuk meninggalkan si anak, dan orang-orang yang terhenti menjelang hujan itu harus menggendongnya?

Tidak, tidak. Itu tak akan terjadi. Tapi mungkin saja mendadak orang sinting itu meletakkan si anak di samping sebuah tempat sampah, atau di tangga sebuah rumah di depan pintu di tepi jalan itu. Apa kiranya yang akan terjadi? Bukankah bisa saja anak itu lari ketakutan ke jalan, melontarkan diri ke roda sebuah mobil yang kencang?

Aku memandang ke sekitar, ke arah orang-orang asing yang cemas itu, yang memandang drama yang lebih aneh daripada kehidupan nyata itu. Mereka cuma berdiri dan melihat. Tak seorang pun bergerak. Tak seorang pun bicara.

Tak seorangpun bertindak, atau bereaksi. Apa yang harus mereka lakukan? Pertolongan apa yang dapat mereka berikan, harapan apa yang mereka bisa ulurkan? Adakah rasa belas kasihan pribadi dan kemurahan hati relevan, di hadapan kemalangan yang sedemikian?

Hati mungkin terluka tapi kepala menyurutkan langkah dalam ketidakmampuan yang merancukan pikiran itu. Jiwa yang merasa bersalah pun diam-diam menyisih dari adegan kejahatan ini — kejahatan yang sebenarnya tak pernah mereka perbuat.

Tapi kesalahan mereka adalah karena hidup di sebuah dunia di mana hal seburuk itu bisa terjadi. Hanya pengemis tua itu yang bertindak dengan sikap pasti seorang yang tak bersalah. Ia menempuh jalannya sendiri, langkahnya sungguh mengherankan ringannya, langkah seorang penari kavadi …

Dan ia pun bertanya, dalam air pembersih yang bagaimanakah kita bisa mencuci tangan, bila di luar hujan turun dan malam gelap dan beberapa orang anak tertidur di tepi jalan, tak berubah?

§ 19 Responses to Kavadi Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Kavadi Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: