Penggusuran Pecas Ndahe
Januari 22, 2008 § 33 Komentar
Saya menemukan rumah ini di kawasan belakang bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Tangerang. Ia berada di tepi sebuah akses jalan baru. Saya melewatinya setiap pagi, dalam perjalanan menuju pabrik.
Di tengah rumah-rumah lain di kanan dan kirinya yang sudah rata, rumah ini jadi agak ganjil. Saya ndak tahu mengapa rumah ini masih bertengger dan selamat untuk sementara dari penggusuran. Mungkin ini soal waktu atau uang ganti rugi yang belum disepakati. Barangkali juga karena sebab lain.
Yang jelas, pemiliknya terlihat sangat kesal, hingga mengumpat keras seperti itu. Mungkin juga dia sudah di puncak keputusasaan. Akankah dia tetap digusur? Entah, saya ndak tahu.
Penggusuran, atas nama apapun — kepentingan masyarakat umum, pembangunan, dan sebagainya — terasa tak mengenakkan. Yang tergusur merasa terbuang, yang menggusur sering kali merasa terpaksa karena perintah atasan — alasan kedinasan.
Tapi mengapa yang jadi korban hanya mereka, orang kecil sejak dulu? Bukankah itu pertanda ketidak-adilan dari strategi pembangunan? Tidakkah ada jalan lain, yang jika perlu ada korban maka itu biarlah mereka yang pernah nikmat di atas?
Paklik Isnogud tersenyum tipis ketika saya menanyakan soal itu. Ia menyesap kopi hitam di cangkir rombengnya. Setelah mengelap bibir, Paklik berkata.
“Kalau bicara soal penggusuran, saya teringat sebuah nyanyian sedih yang pernah beredar di London pada pertengahan abad ke-19, Mas …
Siapa yang membangun? Siapa? Wahai kaum melarat …
Jika London saban hari bertambah indah
Di mana lagi ada ruang tempat istirahat
Bila saban hari sebuah rumah dibongkar
dan kalian harus berpindah?
Nyanyian itu dikutip dalam buku Hanya Satu Bumi yang tersohor itu. Sebuah contoh, tentu saja, dari pelajaran sejarah yang kini makin keras diingat: gedung-gedung bisa saja dibangun, bisnis maju, kota nampak indah tapi si miskin tambah sengsara.
Abad ke-21 ini belum juga lolos dari “keganjilan” itu. Ikhtiar yang paling serius ke arah perbaikan sekalipun ternyata gagal untuk mengadakan perbaikan yang mengenal semua.
Mungkin itulah sebabnya orang makin santer mengatakan, umpamanya, bahwa yang kini tengah terjadi ialah macetnya pikiran-pikiran lama.
Tentu, pikiran lama biasa macet. Namun, yang menarik dewasa ini ialah bahwa yang disebut ‘lama’ barangkali cuma berumur beberapa dasawarsa. Dalam perubahan-perubahan yang begitu cepat, umur ide pun bisa jadi amat pendek.
Sejarah akan berjalan. Keadaan akan lebih baik, jika kita belajar dari kesalahan masa lalu.”
“Paklik kok yakin sih? Dulu bangsa kita berjuang ingin merdeka, dengan keyakinan bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas dan seterusnya. Tapi ternyata keadaan hanya lebih baik bagi sejumlah orang dan tetap buruk atau malah jelek bagi orang-orang lain. Jadi, pada dasarnya nasib kita tak pernah berubah, Paklik?”
“Begini, Mas. Dulu Marx menganjurkan revolusi agar manusia lebih bahagia, tapi sampai sejauh ini apa yang kemudian terjadi di Rusia, China, dan Kamboja?
Dulu teknologi dimaksudkan untuk perbaikan, kini banyak terjadi pengrusakan. Dulu pertumbuhan ekonomi diniatkan untuk membuat rakyat sejahtera, tapi sekarang harga-harga bahan pangan justru naik dan rakyat terpaksa kian mengetatkan ikat pinggang.
Tapi begini, Mas. Kebahagiaan memang tak bisa mutlak di dunia ini. Dan kalau perubahan tidak menjamin perbaikan total, itu tak berarti perubahan harus dianggap sia-sia. Itu tak berarti kita tak usah berusaha, Mas.”
Saya termenung lama setelah Paklik mengakhiri kata-katanya.
kalo bukan tanah milik sendiri, mbok iyao jangan mendirikan bangunan di situ, jangan dagang di situ…
Jakarta skrg lagi musim bongkaran..
setelah pasar bunga & pasar burung barito, menurut daftar di pabrik.. selanjutnya pasar keramik & pasar kerajinan rotan di rawasari serta pasar buku kwitang akan segera menyusul dibongkar.
Baik yg menggusur maupun yg digusur sama2 harus introspeksi. Yg lemah dan kecil memang perlu dibela, tapi yg lemah dan kecil pun juga harus tau diri. Jgn mentang2 lemah dan kecil trus merasa selalu benar dan patut dikasihani. Yg besar juga begitu. š
Nderek tepang ndoro..dari Gunungkidul
Saya pembaca pasif setia blog ini..:)
Buat yang diatas yang dari Gunungkidul,email dong ke aku.
Pengin kenalan juga gitu he…he…
Yach…begitulah ndoro, memang sulit mencari yang ideal di dunia ini…apalagi untuk orang banyak, mencari pasangan ideal untuk satu orang saja susah…
Btw, mohon maaf nggih ndoro, kemarin komen ndorokakung di tempat sayah ditangkep pulisi spam akismet. Sudah tak de-spam kok ndoro…lah kemarin mo online modem sayah ngadat. š
Lha kapan nDoro ikut-ikutan ngorek-orek tembok ngasih URL blog gitu?
awannya bagus.
tumben fotonya serius š
nah dulu waktu masih 1 atawa 2 rumah liar yang dibangun, pemerintah membiarkan saja, tapi begitu udah banyak n kumuh, baru deh gusur menggusur, kalo sudah begini sapa yang harus disalahkan? ee tanya kenapa š
jangan lupa, SPBU juga bakal dibongkar, kabarnya ada yang milik orang dekat bekas penguasa, kita lihat saja
kalo jakarta lagi musim bongakaran bangunan, saya juga lagi nunggu bongakran. Tapi bongkaran tabungan arisan di kampung saya š
Sebaiknya aparat pemerintah sedini mungkin melarang pembangunan rumah/gubuk/bedeng di atas tanah kosong milik negara atau swasta. Jangan sampai yang punya rumah mengaku sudah belasan atau puluhan tahun tinggal di sana. Sehingga, ketika tanah tersebut akan digunakan, yang punya rumah malah harus memberi ganti. Padahal, seharusnya yang membuat bangunan di atas tanah itu yang harus membayar uang sewa selama bangunan itu berdiri di sana.
Apabila yang digusur adalah tanah milik yang sah maka pemerintah atau siapa pun yang menjadi penggusur harus melakukan pembelian secara adil dengan harga kesepakatan antara penjual dan pembeli. Prinsipnya, negara/swasta tidak boleh merugikan siapa pun yang memiliki properti yang sah.
penggusuran = kesalahan pemertintah.
kalo pemerintah bener nggak perlukan ada yg digusur š
pasti sebelum di bangun udah di hardik duluan.
woooo…tulisan yang manjur. yang suka gusur2 ga mau dibilang turunan anjing! hahaha….apa salah jadi anjing? tanya aja sama si tukang gusur2
Hmmm…
pejabat yang mau diangkat membela akar rumput . . .
pejabat yang sudah diangkat menginjak akar rumput . .
pejabat yang sudah lengser meniduri akar rumput . .
pejabat . . ini mungkin spesies missing linknya Darwin š
sugar coating.
@mikow : Haa???? Pasar buku Kwitang mau dibongkar juga??? Omaigad… jadi gak bisa beli buku harga murah meriah dunk š¦
cuma satu yang nggak pernah di gusur gusur dari jaman dulu…Dolli di Surabaya
Di Jogja, ada beberapa rumah yg mirip begitu..sendirian tanpa kanan-kiri — cuma bukan krn gusuran, tapi krn gempa:) Thank’s udah mampir.
hmm .. memang harusnya pemimpin kita juga harus memikirkan nasib masyarakatnya .. skali lagi harus …. itu tanggung jawab ….. seberapa tanggung jawab pemimpin kita mengayomi rakyatnya ….
InsyaALLAH
alhamdulillah ….
kalo nggusur sech boleh ajah, emang bukan hak mereka.. tapi mbo iyao dnak pek pentungan…ndak pake larak larakan mesake para lansia ma janda jandanya..
ini nyata dan ada karena indonesia raya š
Wah..jagoan banget yang punya rumah itu…
@mas iman: Dolli itu apa toh mas ???
*culun mode = on*
iya tuh.. masa dimana2 mau di gusur sich..di jadiin gedung kantor, lap golf, tapi gak ada yang mikir kita nanti orang kecil mau tinmggal dimana? emang kudu di desa terus? udik donk.. makanya neg gak maju2 lha wong kita di suruh tinggal di desa scr gak langsung… cuma orang berduit aja yang boleh tinggal di kota.. dasar mrk ambisius & egois yachhhh
itu kenapa lambang keadilan berupa timbangan…
ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, nggak bisa semuanya untung…
jadi apa perlu kita rubah lambang keadilan itu? šæ
jadi ‘terong’ misalnya?
@antobilang:
“terong” ? trus penjelasannya gimana ituh?
Apa juga hubungannya dengan penggusuran?? ** bego mode on **
“Itu tak berarti kita tak usah berusaha, Mas.ā”
yep, seenggakna berusaha menjadi yang terbaik bagi diri sendiri, dan keluarga…
dan masyarakat…
dan kalo bisa negara…
ah ya..
kalo ferlu dunia…
lama saya ndak baca tulisan panjang dan komeng bijak Paklik Isnogud di blog ini. š
Hihihi…bener2 tekanan hidup itu memunculkan kreativitas.