Pers Pecas Ndahe
Februari 9, 2008 § 37 Komentar
Seseorang mengeluh. Bukan karena hujan yang terus-menerus jatuh. Bukan karena kemacetan yang kian menjadi-jadi. Ia mengeluh kenapa mutu pers kita makin jeblok belakangan ini.
Ia tak sendirian. Rasanya makin banyak orang punya keluhan yang sama. Bukan cuma mutu pers yang mundur. “Wartawan zaman sekarang tak ada bedanya dengan preman,” kata seseorang yang lain.
Preman? “Iya, mereka main sradag-srudug tanpa menghiraukan tata krama, hak privat, dan sopan santun. Nggak punya etika sama sekali.”
“Lihat itu di televisi,” katanya. “Artis-artis dikejar-kejar, dipepet, dipojokkan. Lantas ditanya-tanya. Konfirmasi kabar ini dan itu. Apa iya kerja wartawan seperti itu? Artis kan juga manusia. Bisa kesal dan gondok.”
Saya cuma bisa menunduk dalam diam. Ada apakah gerangan? Benarkah pers sudah kehilangan laku yang bermoral? Bagaimana hal itu bisa terjadi? Apa penyebabnya? Persaingan bisnis yang kiat ketat? Para pemodal?
“Bukan cuma para pemilik modal yang jadi biang keladi, Mas,” kata Paklik Isnogud dengan suaranya yang melodius itu. “Kini pekerjaan wartawan sangat mudah tergoda untuk jadi empuk dan berlemak.
Si wartawan kian biasa hidup enak, hingga setiap ancaman atau gangguan kepada nikmat hidup itu akan langsung dihindari.
Maka, ia pun akan rela untuk melakukan hampir apa saja — untuk membagi dusta atau setengah justa, untuk serba keder kepada kesulitan hidup dan ancaman pemberangusan atau pemecatan.
Maka, jurnalisme pun, kata sebuah ejekan, telah membuktikan diri jadi profesi tertua dalam sejarah — seperti halnya pelacuran.
Semua ini memang kabur kini. Bisnis media nampak menguntungkan, dan para wiraswasta pun terjun ke dalamnya, baik untuk mendapatkan uang tambah atau, syukur-syukur, untuk prestise dan dagang sapi politik.”
“Oh, seperti Murdoch, raja media dari Australia itu, Paklik?”
“Oh, tidak, Mas. Ada beda antara Rupert Murdoch dan para majikan pers sekarang.”
“Apa bedanya, Paklik?”
“Murdoch bagaimanapun orang koran, dan punya cinta kepada dunia koran. Sedang para majikan baru itu hanya melihat koran sebagai ia melihat produk industrinya yang lain, misalnya seperti kecap dan ban mobil.
Pers memang sebuah perdagangan. Ia menjual jasanya kepada publik. Tapi bisnis pers bukanlah bisnis yang sama dengan bisnis garmen atau udang. Sebuah surat kabar memang harus tumbuh secara bisnis, tapi tujuan pertumbuhan itu adalah untuk meluaskan kemampuannya melayani informasi pada khalayak ramai.
Sebuah usaha pers memang harus dapat untung — laba adalah patokan kinerja kemampuan manajemen — tapi untung itu adalah buat memperbesar dana, guna memperlancar lalu lintas informasi, dan dengan begitu mencerdaskan bangsa. Sebuah koran, sebuah majalah, pada dasarnya adalah sebuah misi demokrasi,” kata Paklik menutup wejangannya.
Saya termangu lama. Saya membayangkan wajah blog dan blogisme lima, sepuluh, dua puluh tahun lagi. Akankah kelak sejarah berulang? Apakah yang terjadi pada pers dan jurnalisme juga berlangsung di ranah blog dan blogisme?
Tiba-tiba saya jadi teringat kata-kata Paklik, dengan subyek yang berubah, “Kini para blogger sangat mudah tergoda untuk jadi empuk dan berlemak.
Si blogger kian biasa hidup enak, hingga setiap ancaman atau gangguan kepada nikmat hidup itu akan langsung dihindari. Maka, ia pun akan rela untuk melakukan hampir apa saja — untuk membagi dusta atau setengah justa …”
“Halah, sampean kok serius amat sih, Ndoro?” seseorang mendadak berteriak di belakang.
Saya pun bangun dari tidur pagi. Ah, mimpi. Semprul …
>> Sebuah renungan di Hari Pers Nasional, 9 Februari 2008
makanya dulu parto patrio sampe ngeluarin pistol & nembak ke atas
Kalo perasaan saya sih, yang ndak nggenah itu wartawan enfotenmen, kalo wartawan berita dari stasiun-TV-Indonesia-yang-ndak-ada-sinetronnya itu, saya masih salut
semoga misis untuk mengawal demokrasi itu mampu mengalahkan misi pemodal untuk mengeruk untung sebanyak-banyaknya ndoro
semoga blog tidak kehilangan semangat suka-suka dan integritas-nya.
SEBUAH GUGATAN PADA JURNALIS INDONESIA – 2008.
Jurnalis-jurnalis besar semacam Jacob Oetama dan Goenawan Mohamad, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, ternyata sulit untuk digantikan…..
Suryopratomo, pengganti JO, ternyata mengecewakan kualitasnya (saya membaca Kompas lebih dari 20 tahun silam, dan kini kian merasakan kemunduran kualitas yang dari koran besar itu).
BHM, pengganti GM, ternyata juga masih “jauh” dibawah mutu GM.
Agak “memalukan” sebenarnya, kita tak pernah lagi menyaksikan kualitas investigasi legendaris semenjak drama Pertamina di korannya mendiang Mochtar Lubis (dan itu sudah lebih dari 20 tahun silam, duh!!).
Sudah pasti, mutu jurnalis tahun 50, 60, dan 70-an jauh lebih baik dibanding generasi sekarang….
Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, dan KORAN TEMPO menurut saya tak lebih dari sekedar “koran biasa”.
Saya tadinya bermimpi suatu saat koran-koran itu bisa sekelas NYT, atau WP (Washington Post) atau WSJ. Namun mimpi itu ternyata sama dengan berfantasi PSMS suatu saat bisa sekelas Real Madrid atau Chelsea….
Kalau kelak JO, GM dan Rosihan Anwar wafat, kepada siapa lagi kita bisa BERHARAP?
Menunggu lahirnya “jurnalis-jurnalis besar” di era sekarang mungkin seperti MENUNGGU GODOT….
Bli koran krna pengen ngliat iklanya. Keren2,berwarna warni menarik dan terkadang bisa jd poster besar di dinding.
Thiiinx:: gerakan gemar membaca koran di smp & sma kata pak sby, tp kalau yang di baca kelasnya lampu merah sepertinya semakin banyak adik adik pelajar kita yang (begitu dech).
ahhh… masalahnya emang kompleks ndoro, apalagi melihat ada beberapa media yang bertumbangan sehingga mau tidak mau media harus lebih aktif mencari iklan. Wartawan seringnya tunduk kepada marketing dan seterusnya bla bla bla.
Kalau mengenai wartawan infotainment mengejar artis artis, ya karena banyak wartawan tersebut yang asal comot bahkan mungkin mereka itu bekas supir, anak jalanan atau mungkin preman. Banyak juga teman2 yang tidak menganggap itu wartawan atau menyangsikan profesinya. Teman saya yang pernah kuliah di jurnalistik juga bilang kalau kebanyakan alumninya sekarang lebih memilih untuk masuk ke infotainment, mungkin karena honornya lebih besar, tidak pake mikir yang berat-berat atau tidak membutuhkan intelegensi, sering ke tempat-tempat dugem atau pesta. halah embuh..
Bagaimanapun juga, selamat hari pers nasional. semoga . . . . . . . . . . .. . . .
apa ini gara-gara si “MISI” dan si “VISI” ya ndoro….kemarin saya liat mereka pergi ke Arab jadi TKW……jadi kita kehilangan deh….
ngeselin….pagar apinya udah padam :p
*lagi nyari lowongan untuk peneliti…halah :d
kabarnya ada juga wartawan “bayaran” dan bisa “terima order” ndoro ???
selamat hari pers ndoro…dan untuk rekan rekan jurnalis lainnya…[kaosnya dah jadi ndoro..alamat pengirimannya kemana nih??]
mengingatkan saya pada sebuah cerita teman, wartawan olah raga.. bagaimana dari pihak management selalu menitipkan “salam” kepadanya sebelum liputan …
agar bisa membawa seorang pembeli halaman kosong di koran mereka…
sepertinya free mags lagi naik daun ndoro….
Selamat Hari Pers Nasional!
Hmmm, lima, sepuluh, dua puluh tahun lagi? Saya masih ngblog nggak ya? *lirik blog sendiri yang jarang diapdet * ndak mutu postingannya**
jadi wartawan itu sama dengan pelacur gitu yah , ndoro? 😀
ah, tapi sekarang susah mengembalikan pelacur dalam konteks yang sesungguhnya, karena banyak profesi lainnyapun yang ikutan melacur.
hmm emang too kompleks ndoro
*garuk garuk*
paling sebel kalo udah lihat wartawan yg ngejar-ngejar narasumber, sampai si narasumber emosi. Kalo kayak gini serba salah.. didiamin ngelunjak wartawanya, kalo di pukul ntar katanya penganiayaan dan melawan kebebasan pers.
*untung bukan seleb jadi gak dikejar-kejar wartawan semprul*
jadi misalnya ada maklumat presiden tentang pengibaran bendera pada hari pers, baiknya satu tiang penuh atau setenghah tiang ndoro?
Lalu bagaimana, Ndoro?
apa sampean bosen di pabrik kertas dan lantas serius berkolaborasi dengan paman yang dagdigdugder itu?
masih ada tuh awrtawan bagus di sebuah majalah bulanan berlisensi…jakakakakak
Emang enak kok kalo nge-blog dibayar…
Tapi siapa ya yang mau bayar saya nge-blog?
Emang ndak boleh ya kalo ngeblog dapet duit?
Hal yg sama juga terjadi di sepakbola (inggris misalnya) dimana para pemodal ramai membeli klub2 sepakbola yg profitable.
Btw bgmn kalau para jurnalis yg punya idealisme tinggi patungan utk membeli saham2 media, ya seperti supporter Liverpool mau patungan uk membeli saham klubnya ???
sik…peliput infotainment itu (dulu) sempet diragukan apakah mereka wartawan karena si peliput justru ga pernah nulis beritanya sendiri. Dateng ke kantor cuma nyerahin hasil liputan trus keluar lagi cari berita lain. Saya ga tau modus mereka saat ini, apakah nulis juga atau tetap begitu…
*bersiap menjadi pemodal, untuk mbayari blogger2 agar menulis sesuai titipan saya..*
Blogger ber-lemak..?
Makanya saya sekarang olahraga dan jarang makan makanan berlemak, Ndoro!
“Kini para blogger sangat mudah tergoda untuk jadi empuk dan berlemak”
Tau aja,ndoro ini kl saya blogger yg punya toko kasur dan daging. 😀 empuk dan berlemak. 😀
*kaburrrrrrrrr
Eh ndoro, tergoda jadi empuk dan berlemak itu artinya tergoda cari duit di blog… atau juga bisa berarti tergoda untuk cari aman2 saja?
klo gitu tambah satu target lagi . . .
abis komikus keren, musikus keren . . . tambah
“WARTAWAN KEREN”
Memang susah ndoro, saat ini sebuah organisasi maupun yayasan semuanya mengarah ke profitable. Lihat saja lsm-lsm sekarang? humm..
kadang-kadang aku ingat gimana dulu sebelum turun liputan si redaktur sudah punya “frame cerita” jadi kita tinggal ngeliput sesuai “frame cerita” dia yang sebetulnya diarahkan supaya “laku keras” di pasar.
selamat hari pers, mas.
bagaimanapun juga, selamat hari pers nasional, ndoro.
halah…
Bodrex, Ndoro? 😉
Berkah demokrasi, Ndoro. Melihat kalangan legislatif enak-enakan menyusul rekan-rekannya di eksekutif dan yudikatif; maka sebagian yang bergerak di ranah ‘fourth estate’ juga ndak mau kalah to…
Selamat hari Pers, Ndoro.
dunia sudah semakin semprul ndoro..
Itu konsekuensi dari kapitalisme kan ndoro?
ah………
“merenung jugah”
“wartawan” impotainment apah layak dianggap sebagai wartawan!
lha gak ada bedanya sama mbokdhe sebelah rumah!