Serangan Pecas Ndahe
Maret 1, 2008 § 24 Komentar
Hari ini, 59 tahun yang lalu. Perang pecah di Yogyakarta mulai pukul 06.00. Tentara Indonesia menyerbu pasukan Belanda di Kota Gudeg itu.
Buku-buku sejarah anak sekolah mencatat peran Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kelak sejarah juga menyebut perang enam jam di Yogya itu dengan sebutan Serangan Oemoem 1 Maret. Tapi, kontroversi kemudian muncul. Siapakah sebetulnya penggagas Serangan Umum itu? Soeharto atau Sri Sultan HB IX? Atau ada orang lain?
Anhar Gonggong, sejarawan, pernah mengatakan penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta untuk menyingkirkan pasukan Belanda, bukan Soeharto, melainkan komandan berpangkat yang lebih tinggi. Soeharto, kata Anhar, hanya sebagai pelaksana di lapangan.
Pejabat militer lebih tinggi itu, katanya, seperti Panglima Besar Jenderal Soedirman, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB Simatupang, dan Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel Abdul Haris Nasution.
Anhar menyebutkan buktinya dari tulisan TB Simatupang (waktu itu Kepala Staf Angkatan Perang RI) dalam bukunya Laporan dan Banaran (1960). Dalam buku itu ada salinan Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng yang memerintahkan seluruh kesatuan tentara untuk mengadakan serangan besar-besaran di Yogyakarta mulai 25 Februari hingga 1 Maret 1949.
Karena itu, menurut Anhar, perlu ada pelurusan informasi tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 dalam buku-buku sejarah di sekolah-sekolah yang menyebutkan inisiatif penyerangan adalah Letnan Kolonel Soeharto.
Karena masih penasaran soal itu, saya pun bertanya kepada lelaki dengan suara melodius yang pengetahuan sejarahnya menembus cakrawala, Paklik Isnogud.
“Jadi bagaimana Paklik? Siapa yang menggagas Serangan Umum di Jogja?”
“Waduh, Mas. Sebetulnya apa masih penting kita membicarakan soal itu?”
“Loh penting dong, Paklik. Ini sejarah. Siapa tahu sejarah kita memang harus ditulis ulang karena banyak yang salah,” jawab saya ndak mau kalah.
“Ah, sampean rupanya sudah lupa ya. Sejarah itu seperti dongeng Jaka Tingkir, cuma lebih asyik. Sejarah yang ditulis manusia ada kemungkinan tidak selalu tepat karena manusia bersifat salah.
Manusia paling-paling hanya dapat melancarkan dugaan-dugaan (atau “conjectures”) terhadap suatu perkara berdasarkan pengetahuannya yang lama.
Dugaan itu adalah dugaan, tak pernah kebenaran atau kepastian. Di atas dugaan-dugaan inilah hidup kita berjalan, di atas kesalahan dan kekeliruannyalah hidup kita berubah. Maka, dugaan ini tidak akan berarti kalau ia ditampilkan sebagai kepastian atau kebenaran.
Ada kemungkinan bahwa dengan itu kita akan terjatuh ke dalam yang lazim dicontohkan sebagai sophisme. Dengan sophisme seseorang mengatakan bahwa tidak ada kebenaran. Padahal pernyataan tidak ada kebenaran itu bagi si pembicara adalah kebenaran juga.
Kita hidup bukan untuk merumuskan suatu pernyataan yang salah. Manusia mencari kebenaran. Hanya ia harus selalu bersedia dengan pengakuan bahwa yang ia capai tak pernah bulat.
Memang berbahaya usaha mencari kebenaran, tapi lebih berbahaya lagi bila kita merasa telah mendapatkannya. Maka tak ada jeleknya kita merenungkan kata-kata seorang bijak bestari,
‘Betapa malangnya dia yang ingin agar ucapan, dugaan dan pernyataannya diterima sebagai kebenaran dan kepastian yang tak tergugat.’
“Hadooooooooh … Paklik. Lah wong saya mau tanya siapa penggagas Serangan Umum je, sampean kok malah nggedabrus ngalor-ngidul ndak keruan.”
“Inilah perbedaan kita Mas. Sampean bicara perkara remeh-temeh, saya bicara esensi. Jadi bacalah dengan mata hati apa yang saya katakan tadi, Mas. Maka, sampean akan menemukan jawabannya.”
“Huh, asyem! Ya sudahlah, Paklik. Percuma berdebat dengan sampean … ”
Apa sampean sudah menemukan jawabannya, Ki Sanak?
penggagasnya bukannya cahandong? di depan benteng vredeburg malem ini toh? 😀
Pelakunya sudah berpaling semua. Hanya 1 informasi A2 yaitu Sultan Hamengkubuwono X yang diceritakan langsung mengenai SU 1 Maret oleh sang ayah Hamengkubuwono IX.
Sejarah selalu manipulatif di negeri ini ya ndoroo…
itu spion belanda kok ya ndak tau kalo mau diserang.
Jawabannya belum saya temukan, Ndoro…
Tapi, alangkah lebih bagusnya jika sejarah itu dapat diluruskan, agar tidak membutakan anak cucu kita kelak.
jadi gimana donk ndoro? paklik juga gak tahu siapa yg benar? berarti kita tanyakan pada rumput yang bergoyang saya ndoro 😛
Menemukan jawaban yang menghasilkan pertanyaan, apakah itu sebuah jawaban? 😀
Kalau 1 Maret ditulis Serangan Oemoem, trus Serangan Khoesoes dari Ndoro kapan ya??
Apakah nunggu korbannya ‘nyepak dhisik’ ???
sebenarnya penggagas serangan itu adalah…….
lam kenal ndoro
sekedar info : kalo tanggal 11 maret 76, itu tanggal berdirinya universitas sebelas maret surakarta atau yang biasa disebut UNS…[kampusku tercinta, wedoke ayu-ayu]
betul. sayahlah sang kebenaran.
tidaklah suatu keluputan terkandung di diri sayah.
bwahahahahkakkkk..!!!!
*kesedak*
@tika: kesedak bilyard tik?*bliin wedhang jahe*
Nang wiki cahandong ndak ada po?
Yang jelas penggagasnya adalah seseorang pria, penganten baru.
Malemnya udah diniatin mau “serangan fajar” tapi sayang si istri lagi “verboden”.
Kesel ga kesampaian, mau nyerang pembokat takut kualat, ya akhirnya nyerang belanda gila aja.
Yang paling mungkin, penganten baru pada waktu itu ya Bapak Pembangunan khan ?.
Kalo gak percaya, tanya aja sama oom Suryo (Dikasur Sontoloyo)
Yach…kalo ada yang lurus, mending pilih lurus aja ndoro…
Kan lebih enak yang lurus daripada yang
nglokrobengkok, ya tho?Kalo ndak percaya, tanya sama ibu-ibu tuh… *halah*
Hidup Lurus!!!
yang pasti bukan Soeharto…
yang pasti bukan ndoro…
Sri Sultan HB IX, lalu ia menitahkan
” get soeharto right now, i wanna talk ! “
hehehe…jadi inget wawancara sri sultan di kick andy :d
Walah…
Mau sejarah itu lurus, bengkok, ndak ngepek sama kita to ndoro ???
Ndak membuwat perut kita jadi kenyang….
Jadi ya biarin ajalah….
Nyang cocok meribukeun soal itu, nyang perutnya kenyang….
Saya sudah tau jawabannya Ndoro…tapi saya takut, ucapan, dugaan dan pernyataan saya diterima sebagai kebenaran dan kepastian yang tak tergugat.’
(ngomong opo to jan-jane cah iki)
saya sih tetep menunggu kebenaran dari dongeng supersemar 😀
ndoro waktu itu umur brapa?
ndoroo…omongane pak lik ta quote nggih …
Weleh lha SO itu lak udah terjadi, lha kok diperebutken siapa yg paling pegang peranan. Yang pegang peranan itu yo masyarakat yogjo jaman dulu itu. Lha kalo Overste Soeharto, dll. itu kan cuma ngomandoin, mrakarsain de el el…
Yang gedres getih itu rakyat yogjo lho. coba abis itu menurut sejarah, pasca SO beberapa kampung digrebeg Londo & KNIL ‘hanya’ untuk cara pejuang yang ‘bikin onar’ Londo di 1 Maret 49. Konon banyak yang di-drel Belanda. Pada Mati.
Lha apa yg rebutan prakarsa itu mikirin rakyat-e. Ya tho???
Mbok uwis, sejarah diuri-uri, jangan dipolitisasi oleh siapa yg berkuasa.
Ngaten Ndoro….