Toko Pecas Ndahe
Maret 14, 2008 § 41 Komentar
Mengapa mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan terus bertumbuhan di Jakarta? Tanda-tanda kemakmuran? Pertumbuhan ekonomi yang meroket?
Saya tak tahu. Tapi, kemarin siang, di Pacific Place yang menjulang, luas, dan dingin itu, saya melihat toko-toko sepi tanpa pembeli. Tapi, tempat-tempat makan, kafe, rata-rata ramai pelanggan.
Bapak-bapak berdasi LV, ibu-ibu dengan tas Prada di tangan, mengudap jajanan. Sesekali terlihat mereka menyesap kopi berlogo bulatan hijau itu.
Saya heran, bila toko-toko baju, parfum, arloji, dan sebagainya itu tiada laku, dan itu artinya tiada pemasukan, bagaimana mereka bertahan? Bukankah menyewa lahan di dalam kompleks pertokoan mewah jelas butuh uang tak sedikit?
Lantas mengapa pula syahwat para pengembang, developer, bergairah terus untuk mendirikan pencakar-pencakar langit tempat orang berjualan? Masih adakah calon penyewa berikutnya? Apakah duit mereka tak berseri?
“Mungkin mereka memang melakukan praktek pencucian uang, Mas,” bisik seorang kawan.
Benarkah? Jangan-jangan ini sekadar tentang keserakahan. Tapi apa sebenarnya keserakahan itu?
“Sesungguhnya tak ada orang yang bisa mengartikan persis, apa definisi kata itu, Mas,” jawab Paklik Isnogud yang saya tanya-tanya soal fenomena pembangunan pusat belanja yang bergemuruh di Jakarta.
“Mungkin keserakahan itu artinya keinginan memiliki lebih banyak dari yang diperlukan, Paklik.”
“Barangkali. Tapi orang pun bisa menjawab, bahwa dalam hidup kita kini, begitu banyak hal yang semula sekadar keinginan kemudian berkembang jadi keperluan.
Ada yang butuh punya Volvo, ada yang perlu jajan bakso. Mereka mengatakan, ‘manusia tak cuma hidup dari nasi.’
Jadi rasanya definisi sampean tadi masih kurang pas, Mas.”
“Oh mungkin juga keserakahan itu berarti memiliki barang yang serupa dalam jumlah berlebihan, Paklik.”
“Boleh jadi, Mas. Tapi di sini pun batasan kuantitas tak selamanya memuaskan. Apa arti ‘berlebihan’?
Memiliki 15 buah becak dengan cat yang sama tak bisa dengan serta merta dicurigai tamak. Tapi memiliki 15 eksemplar buku telepon yang serupa adalah gejala kejiwaan yang aneh.”
“Jadi apakah keserakahan itu Paklik?”
“Saya ndak tahu, Mas. Dan mungkin kita memang tak pernah tahu dengan tepat apa itu keserakahan.
Tapi, saya tahu, justru dari kebengisan, kebakhilan, dan ambisi manusia, telah lahir banyak hal yang baik di dunia. Keserakahan jugalah yang telah mendorong orang membuat perkakas. Dari sana lahir teknologi, untuk memperoleh hasil yang kian lama kian besar.
Keserakahan jugalah yang menyebabkan manusia mengarungi lautan, dan Columbus menemukan Amerika.
Keserakahan bahkan bisa membuat manusia taat beribadat: setelah bekerja untuk dunia (seperti hendak hidup selama-lamanya), bukankah seseorang bersembahyang untuk mengharapkan kenikmatan lebih lama di dalam surga, Mas?”
“Jadi ada semacam paradoks di balik keserakahan itu ya, Paklik?” saya bertanya.
“Barangkali. Saya ndak sepenuhnya tahu,” kata Paklik sambil berlalu.
Saya lihat ia mengembuskan asap tembakau lintingannya jauh-jauh. Tiba-tiba saya ingat ucapan Michael Douglas sebagai Gordon Grekko dalam film Wall Street, “Serakah itu baik.”
Ia mengatakan kutipan yang masyhur itu di depan sebuah rapat pemegang saham di Hotel Roosevelt yang tua di Manhattan …
Jadi ingat petuah Mbah Adam Smith…
coba aja sampeyan tanya harga barang-barang ditoko-toko itu kekeke
saya pernah diceritakan oleh salah satu penjaga toko yang ada di grand Indonesia, hari itu ada satu pembeli yang baru saja memborong 2 buah tas dan 1 arloji. Total uang yang di keluarkan oleh tante sang pembeli itu untuk 3 item tsb adalah 120 juta!
Jadi meskipun sepi, tapi harga-harganya mungkin cukup untuk menutup operasional toko-toko tsb.
Indonesia sugeh lan makmur tibake yoh?kekekeke
saya juga heran… katanya kita lagi prihatin semua kebutuhan lagi meningkat dan harga bahan pokok juga naik tak terkendali, tetapi kok ya masih banyak juga yg berbelanja kemewahan 😦
Wah.. kenapa saya melihat ndoro menjadi terlalu abu-abu disini? atau memang mata saya yang abu-abu?
PERSIS obrolan saya dengan seorang teman di Bandung beberapa saat lalu…
“keserakahan manusia yang bernafsu seksual itu juga yang mendorong nya ingin masuk Surga yang penuh bidadari cantik nan seksi..”
serakah=konsumerisme. ada perlunya supaya roda ekonomi berjalan:D
Saya juga serakah kok ndoro…Serakah ngetik. Ndak cukup cuma 1-2 jam sehari, mesti lebih dari 18 jam tiap hari. Hihihihi…
Ndoro termasuk yg rajin ikutan ngupi atau keluar masuk toko ?
kalo punya blog banyak sekali serakah ga?
saya mah kuatnya minum kopi ajah 😛
kopi berlogo bulatan ijo itu saya suka sekali tuh ndoro..
endonesah sekali. ndoro dah beli gucci terbaru belum? :p
Mungkin keserakahanlah yang membedakan Indonesia yang memble dengan Amerika yang adidaya?
blog saya ada 3, termasuk srakah gk ndoro?
supaya titik kemacetan makin banyak 😦
semakin banyak mall dibangun, bukan berarti semakin banyak penyewa. IMHO, mall baru hanya memindahkan penyewa di mall lama ke tempat yang baru. demikian seterusnya. yang beli mall/ruko/kios ya itu-itu aja. akibatnya, mall/ruko/kios lama pun cenderung menyepi.
masih ingat ratu plaza era 80-90-an? bukankah itu pertokoan elite di jakarta pada masa itu? lalu menjelang tahun 2000-an mati kembali. renovasi ulang, sekitar tahun 2004-5 direnovasi, kembali terisi. sekarang sepi kembali.
tinggal tunggu waktu saja hingga plaza indonesia, ex, hingga senayan city hilang pamornya, karena pasti akan selalu muncul mall ekslusif baru, yg mematikan mall lama. meski penyewanya ya itu lagi itu lagi.
[Mengapa mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan terus bertumbuhan di Jakarta? Tanda-tanda kemakmuran? Pertumbuhan ekonomi yang meroket?]
kayaknya nggak cuma di jakarta deh bertumbuhan mal, superblock, pusat perbelanjaan. di daerah juga mulai tumbuh gerakan mal-isasi, bahkan di sebuah tempat yang merupakan wilayah pusat perkantoran di dalam tata ruang kota…
ndak tau deh, saia yg gila ini aja bingung ama menjamurnya mal-mal…mungkin memang kita pny kebutuhan, ato sing duwe duit yang punya kebutuhan…mbuh ah!
saya ya heran kalo ke mall itu yang rame biasane mung tempat maem na tok ik,la piye jal kuwi? terus kalo di kek toko aksesories juga ndak rame tuh,sering sepi..
Kalau bayangannya serakah itu duit berpuluh ribuan lembar saja, jelas dikira negatif.. :))
segmen premium memang masih ada kok ndoro, dengan margin yang tinggi maka tidak perlu pengunjung berjubel untuk mendapatkan keuntungan. Yang udah over supply adalah kelas ITC-ITC an itu.
saya sih mbayangin Jakarta jadi surga belanja untuk premium label, dan uang-uang yang dipakai ribuan orang Indonesia untuk belanja di Singapore tiap minggunya itu bisa berpindah ke Jakarta saja, at least tidak melarikan devisa kita.
tapi, sekali lagi tapi, ini butuh upaya menyeluruh dari pemerintah kita
Definisi Serakah saya ndak tau persis…karena tergantung penempatan kalimatnya…
tapi ngomong2…cita2 saya pengen punya istri resmi 5 …istri simpanan juga 5…serakah bukan Ndoro…. 🙂
waduh kok mirip kejadian akhir-akhir ini ya.
yang dipake membangun dan belanja2 itu, duit semua?
bener mas andrias…
paling nggak uangnya muter di negeri sendiri…
ndak perlu ke singapore untuk belanja.
Serakah itu indah, asal tak berlebihan.
kere kok serakah
kenapa begitu??????????
pak, tenants yg jadi anchor itu biasanya dapet tarif khusus dari pengelola mal. wkt krismon dulu, beberapa mal/plaza kasih kurs dollar yang murah untuk branded outlets 😀
isu ini familiar sekali. hehehe. oh iya, lupa nanya. nasi gudegnya enak, nggak, ndoro? 🙂
lebih enak mengakomodasi kaum berduit.
Nah itu juga jadi pertanyaan saya ndoro… Kenapa mereka buat pertokoan gede2, harga sewa tinggi2 dan akhirnya ga ada yang mau sewa maupun beli2 di dalamnya…. Kenapa???
kangen ndoro…sehat ndoro?
dunya cilik pakdhe, sebuah dunia yang comfy untuk mereka sendiri. Dunia yang mempersilakan keserakahan dibandingkan menatap mata2 yang kelaparan sejengkal dari mall.
belakangan beberapa mall membebaskan uang sewa agar banyak tenant yang masuk.
di balik itu sebaiknya kita dukung saja. dengan banyaknya orang2 “serakah” mendirikan bangunan, maka lapangan pekerjaan terbuka, kuli2 dapat kerjaan, pajak mengalir, ce2 itu jadi spg daripada nganggur terus jadi wanita simpanan, dll.
saya rasa hal ini masih lebih baik daripada tingkah tenggang rasa, menunjukan sikap hemat dengan menyimpan uangnya di bank dalam jumlah besar atas nama masa depan, dan kerjanya hanya berdoa, berkotbah dan memberikan sedekah… secara konkrit tidak berkontribusi positif terhadap perekonomian negara.
mungkin para delevoper…eh salah developer syahwat di ranjangnya kurang manteb kali ndoro, jadi mereka lampiasin dalam bentuk onani membangun gedung2 pancakar langit dan pertokoan…klo ketemu sama salah satu dari mereka, tolong saranin kasih nagen atau viagra aja ndoro biar tambah strong hehehhehehehe
Yah, begitulah orang kita sudah terbawa budaya barat kalee ya ?@# Saya inget pernah nonton di FOX salah satu ekonom ternama di AS bilang, “kapitalisme itu baik bagi peroekonomian negara manapun”, begitu juga dengan halnya hegemoni budaya borjuis yang mereka endapkan dalam sistem yang ada hingga kini.
Emm….. nggak sengaja saya menemukan bacaan menarik. Melihat gaya tulisannya seperti dari Jogja, betulkah.
Terimaksih, saya menikmati tulisanya.
Salatiga sedikit, Ndoro. Semarang, Boyolali pun nampaknya begitu. Kalo Jakarta sih masih lumrah. Kota besar plus ibukota kok.
Justru enak kali di jakarta pilihan toko ama tempat makan banyak banget, nah di serang (banten)? mau cari toko yang biasanya ada di mal2 jakarta aja susah sekali. Sekali2 review tempat makan enak dan murah di serang dong hehe biar saya juga ada referensi