Negeri Pecas Ndahe
April 1, 2008 § 23 Komentar
Ada sebuah cerita yang disampaikan oleh seorang yang membaca surat.
Ia tinggal di Pandeglang dan suatu hari di koran pagi ia membaca sepucuk surat dari Sangihe. Ia tak mengenal siapa penulis surat itu, tapi tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang penting.
Surat itu berupa setengah keluhan dan setengah pertanyaan kepada redaksi koran di Jakarta itu. Ia merasa ada yang tak beres dengan orang Indonesia.
Lihat saja, tulis pembaca itu, ada ibu membunuh anak kandungnya. Ada polisi menembak istrinya. Artis kawin dan cerai. Minyak tanah dan bensin langka di sejumlah daerah. Jalan-jalan berlobang dan memakan korban para pengendara. Harga beras naik. Politikus bertikai melawan Presiden dalam urusan pencalonan Gubernur Bank Indonesia. Ada anak SD melarikan uang dolar orang tuanya. Daftar itu bisa diperpanjang. Tapi, ia tak sanggup
Kalimat terakhirnya berbunyi, “Apa sebenarnya yang sedang terjadi di negeri kita?”
Nadanya, jelas, prihatin. Tapi bukan keprihatinan itu yang menyebabkan si pembaca di Pandeglang itu terkesima. Apa yang ia sadari tiba-tiba, yang selama ini tak pernah ia renungkan betul, adalah kata negeri kita di ujung itu. Orang tak dikenal di Sangihe yang jauh itu ternyata masih merasa mempunyai negeri ini!
Dan di Pandeglang itu, pembaca koran itu pun tiba-tiba seperti ketularan. Ia merasa ke-indonesia-an yang tetap sulit dirumuskan itu ternyata bisa dikukuhkan kembali. Negeri ini ternyata masih berarti, bahkan bagi seorang yang begitu jauh nun di Sangihe. Dan mengapa negeri ini juga tak bisa berarti baginya, di Pandeglang?
Keprihatinan, seperti halnya kebanggaan, juga kecemasan, seperti hanya optimisme — semua itu adalah pertanda rasa ikut memiliki. Atau rasa terpanggil.
Barangkali karena tanah air memang bukan cuma sepotong geografi dan selintas sejarah. Barangkali karena tanah air itu juga sebuah panggilan. Mungkin karena ia adalah sebuah gagasan yang tiap kali berseru, keras atau pelan suatu potensi yang minta diaktualisasikan, suatu impian yang minta dijelmakan dari waktu ke waktu.
Ketika kita bernyanyi bahwa “Indonesia adalah tanah yang mulya” kita bukannya tak sadar bahwa banyak yang tidak mulya di sekitar kita. Tapi kita tak bisa menerima itu.
“Bersyukurlah,” kata si pembaca surat di Pandeglang, “tanah air ini belum ramai-ramai ditinggalkan.”
Saya jadi mikir, bagaimana seandainya semua orang Indonesia eksodus ke negeri seberang?
…dan saya akan tetap di sini… 🙂
Sungguh menyentuh……
kapan kedamaian terwujud…..
kapan negeri ini bisa makmur…..
kapan……kapan….???
kapan..kapan..
kapan kapan
kalo eksodus ya gak mungkin, ndoro. naik apa perginya?
**dikaplok**
eksodus? kemana dulu, ndoro? ke singapur? ntar tenggelam pulaunya. Ke malingsia? bisa2 ada reformasi jilid 2 di sono…susah deh jd orang indonesia…:(
kalo orang2 pada eksodus, kita nyalon presiden disini aja ndoro, kan tinggal kita penduduknya 😀
“bagaimana seandainya semua orang Indonesia eksodus ke negeri seberang?”
Maka negri sebrang jadi rame. Ada ibu membunuh anak kandungnya. Ada polisi menembak istrinya. Artis kawin dan cerai. Minyak tanah dan bensin langka di sejumlah daerah. Jalan-jalan berlobang dan memakan korban para pengendara. Harga beras naik. Politikus bertikai melawan Presiden dalam urusan pencalonan Gubernur Bank Indonesia. Ada anak SD melarikan uang dolar orang tuanya.
Daftar ini bisa diperpanjang. Tapi, saya tak sanggup
kita “merasa” memiliki negeri ini tapi apa negeri ini “merasa” memiliki kita-kita ya… sepertinya negeri ini hanya memiliki dan dimiliki oleh beberapa orang
ndoro kakung….thnx udah ngunjungin blogku.emang sih, negara kita kok kayaknya ancur.tapi walaupun gitu, negara kita untungnyanya gak ditinggalin orang-orangnya.tapi ditinggalin sama para bapak koruptor ke luar negeri! he..he..
mungkin lebih ke …
negeri ini memiliki hampir seluruh manusia yang tinggal di dalamnya, tapi hanya dimiliki segelintir orang. jaminan keamanan cuma buat orang-orang yang punya kekuasaan lebih.
apa yang sedang terjadi di negeri ini? apa yang sedang terjadi di dunia ini? ah … masa’ gak tau 😀
ayo ayo… senang saya tinggal di negeri entah, mana saja. dan kita bikin negeri virtual sehingga tak perlu tanah air lagi. 🙂
postingan ini bagus sekali Ndoro….
*serasa nasionalisme menggelembung…semoga tidak pecah..
tulisan ndoro mengingatkan saya bahwa ada yang lebih berharga dari sekedar memiliki KTP yang terdapat gambar Garuda di pojok kiri atasnya
eksodus yang paling memungkinkan saat ini paling ganti layanan engine blog
nanti kalo udah pada mo pindah semua saya dibilangi ya…
ehmm..kalo semuanya sih saya ngikut aja.Daripada sendirian di tanah segede ini..
makanya ndoro..ikut KB
miris memang…negeri yg kaya menurut cerita orang tapi, hanya disini manusia makan nasi akik. Tapi gak ada yg peduli. ndoro, terus suarakan teriak anak negeri yg tertindas namun tidak berdaya…maunya sih exodus tapi tidak punya ongkos ndoro, butuh sponsor! bravo teman
wah…wawako pada eksodus ke negeri maya… he he he… :TAnah mayaaaku…. tumpah mayaaaku… tanah yang maaayaa… ngeeebloggeeer …
semua eksodus? enak dong, ga ada macet…plus sepi
sepertinya cerita yang ada di media massa itu jaman dulu udah ada. tapi rasanya sekarang lebih heboh aja. kalo ndak gitu korannya ndak laku…
Ngak ahhh… saya tinggal aja disini… kalo smua orang niggalin harta bendanya… eksodus jauh2… khan saya jadi pemilik negri ini…. hahaha… kaya mendadak saya!!!
*membatalkan tiket ke london*
ah saya masih cinta indonesia kok. 😀
[…] seringkali lahir tulisan2 yang penuh kejutan. Ndoro Kakung juga menyadarkan kita bahwa dunia memang makin tua dan […]