Perbedaan Pecas Ndahe
April 22, 2008 § 27 Komentar
Senin malam itu lima lelaki bergegas. Mereka menyusuri jalan besar di Kampung Ciparay, Sukarya, Kecamatan Samarang, Garut, Jawa Barat.
Menikung ke kanan, kapak dan pentung terayun di tangan mereka. Seorang di antara mereka “menampar” kaca jendela masjid itu.
Prang, prang. Sunyi pecah. Lainnya, merusakkan pintu, menghancurkan genting, membobolkan langit-langit bilik.
Malam itu memang tak ada perlawanan. Seperti biasa, selepas salat Isya pintu masjid dikunci. Masjid itu milik pengikut Ahmadiyah Qadian, dibangun pada 1973.
Didin, salah seorang pengikutnya, mengatakan jemaahnya telah mendengar rencana penyerangan itu dua hari sebelumnya. Konon, akan dilakukan Minggu malam. Tak jelas kenapa diundur sehari.
Di Kecamatan Samarang, jemaah Qadian minoritas: 80. Selama ini mereka tak digangu. Setelah ada ceramah di masjid itu memakai pengeras suara, buntutnya lain.
“Sejak itu ada beberapa tokoh merasa disisihkan. Mereka menghasut dari rumah ke rumah, menyebut pengikut Ahmadiyah kafir, dajjal, PKI,” kata Ilman Fajar, 29 tahun.
Ia mubalig Ahmadiyah yang masih lajang. Kemudian, jemaah Ahmadiyah, katanya, “Dimusuhi orang sekampung.”
Serangan di malam akhir bulan pada 1988 itu, konon, dimulai dengan beredarnya fotokopi selebaran bertanggal 20 September 1984 dari Dirjen Bimas Islam. Di situ disebut: Ahmadiyah Qadian bertentangan dengan Islam.
Tapi selebaran dari instansi yang sama (dikeluarkan pada 1986) yang mencabut selebaran terdahulu itu tak ada fotokopi untuk disebarkan. Isinya, Qadian dibolehkan asal “tidak meresahkan masyarakat”.
Enam bulan sebelumnya, rumah jemaah Qadian di Buniasih, Cianjur, Jawa Barat, juga dihancurkan. Di Sindangkerta, Cianjur Selatan, api menjilat atap masjid Ahmadiyah. Karena dilihat seorang ibu dan anaknya, masjid itu tertolong sebelum jadi abu.
Walau demikian, jemaah Ahmadiyah Qadian semakin aktif. Mereka juga akan memperingati ulang tahun keseratus lahirnya ajaran itu, Maret 1989.
Tapi selain yang Qadian, di Indonesia juga berkembang Ahmadiyah aliran Lahore. Kegiatan jemaahnya berjalan terpisah — ada yang di Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI) dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Semula mereka berpohon dari ajaran Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, pada 1889 Masehi. Setelah ia meninggal pada 1908, penggantinya adalah Hazrat Hakim Nuruddin menjadi Khalifah I.
Sepeninggal dia pada 1914, penganut Ahmadiyah pecah karena berebut kepemimpinan. Jemaah Qadiani menganut kekhalifahan Basyiruddin Mahmud Ahmad. Yang bertahan di Lahore mengangkat Maulvi Muhammad Ali.
Yang Lahore mengakui Ghulam Ahmad (lahir di Qadiyan, India, 1835) hanya pembaru, dan bukan nabi. Namun, karena masih bertahan dengan pengakuan itu, Rasyid Ridha menyebut mereka bid’ah alias mengada-ada.
Sedangkan untuk yang Qadian, ulama Al-Azhar itu menuding dengan dobel: kafir murtad. Penilaian dimaksud, paling tidak, karena “jalan” mereka menunjukkan perbedaan bersimpang.
Dalam hal kenabian, misalnya. Bagi umat Islam, yang Suni dan Syiah, setelah Rasul Muhammad tak ada nabi baru. Muhammad S.A.W. tetap sebagai Nabi Penutup atau Khatam al-Nabiyyin. Dasarnya Quran ayat (40) surat al-Ahzab.
Sedangkan ahli-ahli tafsir besar seperti al-Thabari, Qatadah, dan yang lain, bahkan mengutip berpuluh hadis untuk menunjukkan (berdasar ayat tadi) bahwa Muhammad adalah nabi terakhir.
Lain dengan Qadian. Mereka berbalik seperti kepala berjungkir di tanah. Lalu berpendapat, kenabian adalah rahmat, dan itu tak hanya setelah wafatnya Muhammad.
Di Syiah, ada pengakuan kepada sejumlah nama sebagai imam, sedangkan Ghulam Ahmad sendiri mengaku dirinya sebagai “nabi” (yang tidak membawa syariat). Bahkan, ia mengaku dirinya Almasih dan al-Mahdi. Dan debat terurai panjang.
Di Indonesia, debat yang monumental berlangsung antara Abubakar Ayyub H.A. (dari Ahmadiyah) dan A. Hassan (Pembela Islam), dengan moderator Muhamad Muhyiddin. Debat tiga hari di Jalan Kenari Jakarta, akhir September 1933, itu tuntas dengan pendirian masing-masing yang kukuh — terutama soal kenabian itu.
Empat puluh tahun kemudian, al-Muslimun (Persis) dan Sinar Islam (Ahmadiyah Qadian) membuka polemik. Ramai. Bahkan di tahun 1975, mereka hampir berakhir ke tingkat berdoa, minta kutukan dari Allah alias mubahalah — untuk mempertahankan sebuah keyakinan.
Pengikut Qadian tak kalah gigih. Mereka, misalnya, tanpa bosan memberi pangkat “nabi” pada Ghulam Ahmad. Syahdan, bertugas adalah menyampaikan pesan Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad.
Tentu, mayoritas muslim di sini keki, hingga Majelis Ulama Indonesia memfatwakan, “Ahmadiyah adalah jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.”
Lalu muncul pertemuan ulama di Mekah 1974. Mereka menyebut kaum Qadian kafir. Tapi kaum Qadian juga menjawab dengan nada sama.
Sebaliknya, Ahmadiyah aliran Lahore malah aman dari pengafiran semacam tadi. Bahkan mereka mengkritik cara saling mengafirkan sesama muslim itu.
Selain itu, kaum Lahore tegas menyatakan, “tak diperlukan lagi jabatan kenabian” karena Nabi Muhammad sudah sempurna.
Yang masih diperlukan, kata mereka, adalah turunnya nikmat Tuhan berupa wahyu. Menurut Islam, Allah menurunkan wahyu kepada orang pilihan-Nya saja.
Maulana Muhammad Ali, dalam tafsirnya, Quran suci terbitan Lahore (1979), menambahkan, “Wahyu kenabian tak ada lagi.”
Seakan mengoreksi, dari Lahore ada ketegasan: bukan nikmat kenabian itu yang bersinambung, malah nikmat wahyu.
Jadi, benarkah itu perusakan masjid-masjid itu puncak dari sebuah perbedaan?
Saya tak tahu. Saya bukan kiai atau ulama tentang sesuatu. Yang saya tahu sejarah terus berulang hingga kini.
Sejak Badan Koordinasi Penganut dan Aliran Kepercayaan Masyarakat melarang Ahmadiyah beraktivitas di Indonesia pekan lalu, situasi jadi genting. Dan para anggota kelompok Ahmadiyah pun rawan jadi sasaran kemarahan …
[Cerita di atas diperoleh dari arsip di pabrik saya]
Ndoro cari arsip lainnya donk yg menceritakan kenapa Ahmadiyah justru berawal dan berkembang dari Pakistan ? Adakah tradisi keislaman di Lahore/Qadiyan memang kuat atau ada faktor lainnya, misalnya kemiskinan? Thanks
Pabriknya ndoro, komplit tenan je.. salut.. *packing tas, siap2 main ke pabrik-nya Ndoro kakung..*
dah kehabisan bahan ya ndoro? jakakakak
wih arsip pabriknya ndoro kumplit temenan, ngalah2in BIN
sara pembawa sengsara….kebodohan akut karena kelamaan dijajah ato apa itu ndor?
*pening tiap ngliat orang emosi tak terkendali 😦
Katanya nabinya Ahmadiyah itu buatannya penjajah Inggris ya, ndoro?
#detnot
pabriknya ndoro disebelahnya BIN kali ..hehehe
mas..
sepertinya gudang arsip sampeyan banyak sekali menyimpan sejarah..
kapan kapan ngintip ah hehehe
udah tiarap masih dipukuli…haduh, nasib. padahal ga ada yang tau siapa yang akan masuk surga :p
saya selalu merasa geli tiap kali ada yang posting komentar disini dan menyapa ndoro dengan sebutan “Ndor..” tanpa “o” terakhir
lucu gimana gitu 😛
masih tentang ahmadiyah?:p, lawan dengan tulisan ya, ndor, hehehe…oya teman-teman aktivis sedang mengumpulkan dukungan untuk Ahmadiyah, yang rencananya akan ditindaklanjuti oleh Ibu Musdah Mulia, ndor..
Ibu Musdah Mulia yang JIL itu ya? ya sama2 ngerusak Islam dong….
orang indonesia gampang di adu domba ya?
gimana mo maju… kalo urusan2 kaya gitu masih aja jadi perdebatan…
gak pernah mbangun, bisanya ngrusak
idem sama yang di atas.
itu njuk namanya apa ya???
lha kalo gag diperdebatkan trus digimanain dats ?
gag ada bahan untuk mbakar mesjid nu 😀
wah ndoro, ini masalah memamng harus segera dituntaskan, karena jika dilihat dari berita2nya, permasalahan ini sudah terjadi sejak dulu. Saat inilah mungkin pemerintah harus jelas dan tegas apakah ahmadiyah itu ajaran yang dilarang atau tidak biar tidak ada konflik berkepanjangan.
apapun alasannya, pengrusakan macam itu tak bisa dibenarkan. dapatkah dibenarkan jika satu/sekelompok manusia mengklaim orang/kelompok lain sesat dan menyesatkah?? hhhhh…ntahlah….
Hiks… orang-orang teriak Selamat Hari Bumi, Team Obama, dsb. Saya cuma bisa bilang “semoga cepet sembuh Indonesia…”
Masih Ahmadiyah ya Ndoro… 🙂
ada sedikit pandangan berbeda dr senopati wirang, intelind0nesia.blogsp0t.com
mungkin tambahan saja 😀
ndoro,
kalau lagu Chrisye (alm)
“Jika Surga dan Neraka Tak pernah Ada”
apa masih saling berebut ya ndoro …
untuk meng Claim “NIH GUE YANG TER…/..YANG PALING…”
andai pribadi-pribadi ndak suka di adu domba …
(hihihi .. berarti ada yang nggaduin ya ndoro ?)
hla yang ngadu sopo to ndoro … binun aku …
kalik aja ndak pada suka baca tulisan … ndor…. O’o
ada yang protes tuh ndor,
“nglirik anti JIL,”
sekali lagi tentang ahmadiyah saya yakin masih tetap ada motif politik yang sangat kental di balik peristiwa ini, dan anehnya mengapa ini mesti terjadi menjelang 2009?
Ahmadiyah di luar Islam, tapi justru mereka memiliki PIRI (Perguruan Islam Republik Indonesia) yang sama legendarisnya dengan BOPKRI (Badan Oesaha Pendidikan Kristen Repoeblik Indonesia)
saya mau bertanya nih, baik orang2 ahmadiyah maupun orang2 yang menentangnya itu pada bekerja gak? maksudnya sehari2 ngantor atau kerja dikebun/sawah atau pokoknya kegiatan yang mendatangkan nafkah bagi keluarganya. Kalau bekerja, Alhamdulillah…kalau tidak..mbok yao antara duniawin dan akhirat itu imbang…
“Pada akhirnya, keberadaan Ahmadiyah hanya akan memperkuat kelompok Islam yang merasa paling Islam”
Dalam perkembangannya, Ahmadiyah mendapatkan angin segar dari koloni penjajah. Sampai di Indonesia di tahun 1920an berkembang dengan kontribusi kurang lebih tidak begitu ‘menyesatkan’, malah sebaliknya. Sebagaimana yang telah dilansir di Jawa Pos senin 28 April, Imam Ghazali Said, pengasuh pesantren mahasiswa ‘an-Nur’ dan ketua FKUB Surabaya memaparkan kronologis historis kiprah dan jasa Ahmadiyah dalam perjuangan kemerdekaan dan andil mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hingga di tahun 2008 ini, Ahmadiyah tidak hanya mendapatkan angin, tetapi juga api, pentungan dan lemparan batu. Perusakan masjid Ahmadiyah berlangsung dengan lancar. Orang-orang marah, membakar masjid dengan minyak tanah bersubsidi. Kedepan, bisa saya pastikan akan terjadi pembakaran masjid dengan gas elpiji. Sampai suatu saat, ketika air ludah menjadi sebagai konversi elpiji, merekapun akan membakar masjid cukup dengan cara meludahi.
Fawaizul Umam dalam tulisannya berjudul ‘Membakar Massa dengan Fatwa” memantau ekskalasi kekerasan atas nama agama tiada berkesudahan bahkan memuncak. Ujung tulisannya mengerucut pada uraian singkat potensi dan kontribusi ulama yang terkait dalam badan resmi pemerintah, mengolah dan menyulut kekerasan.
Kegundahan masyarakat luas seolah-olah terobati dengan dimunculkannya fatwa penyesatan. Tentunya, fatwa menjadi tolok ukur kebenaran atas setiap kenyataan, disadari atau tidak, ekses lanjutan dari kebenaran sebuah fatwa adalah bagaimana menghentikan kesesatan sebuah aliran meski lewat amuk massa .
Dalam kasus ini, kebenaran fatwa yang secara hukum bersifat legal opinion telah menunjukkan kepemihakkannya. Pastinya kepemihakkan pada sekelompok muslim yang telah mendapatkan pembenaran atas tindak anarkisnya. Padahal, ‘kebenaran itu tidak pernah memihak’, kata Koran Jakarta. Sedangkan menurut hemat saya, kesalahan itu hampir selalu saja ada di semua pihak.
Kesalahan itu ada dengan tidak adanya niatan serius dalam mengkaji kitab Tadzkirah, testimoni, interogasi, dan dialog dengan para tokoh dan kaum awam Ahmadiyan. Naif memang, jika cuma buku Amin Jamaluddin dan Hartono Ahmad Jais dijadikan acuan penyesatan dengan tanpa menyandingkan buku-buku rujukan aliran-aliran dalam Islam, semisal karya al Baghdadi, Syahrastani, Ibnu Hazm, al Ghazali dan al Asy’ari.
Naif, memang band yang melejit lewat single hit ‘possessive’ dan kelompok Islam tertentu yang mengaku paling Islam terlalu naïf untuk terlalu memiliki Islam.
Ahmadiyah lagi Ndoro? Kok aku jarang lihat orang ahmadiyahnya turun ke jalan protes karna dipojokin. Mungkin orang-orang ahmadiyah pada sibuk kerja ndoro jadi gak sempat buat turun ke jalan enggak karu-karuan.