Embun Pecas Ndahe

April 25, 2008 § 45 Komentar

Aku melihat senyummu tadi pagi, Jeung. Sebentar saja. Ia mengintip dari balik daun-daun cemara. Lalu lesap bersama embun yang menguap.

Secepat itukah kau pergi, seperti gerimis kepagian? Kenapa?

Mestinya kau tahu, aku bukan pangeran negeri kabut — penunggang kuda putih dengan gandewa di tangan. Jadi usahlah kau takut. Lalu beringsut. Menjauh. Dengan lembut.

Aku cuma pengelana murba yang berlawalata sepanjang masa. Rumahku udara. Pergi ke mana suka. Senjataku kata. Tamengku cinta. Jalanku sunyi. Arahku matahari.

Aku lahir pada musim semi di kilometer nol. Ayahku matahari, ibuku rembulan. Ibuku bersalin tak lama setelah hujan dan matahari bercumbu, lalu melahirkan pelangi. Langit redup. Awan runduk. Burung-burung beterbangan seperti arak-arakan kebahagiaan yang menunggang senja di kejauhan.

Ibuku bercerita, aku menangis keras ketika pertama kali menjilat udara. Kaki menendang, tanganku mengentak. Jumpin’ Jack Flash!

Aku besar dalam kelimun mega-mega. Malam inangku, siang temanku. Hamparan bintang-bintang peraduanku. Dan semesta taman bermainku.

Aku menadah air mata bidadari setiap pagi. Membelai angin setiap hari.

Hingga kau datang dan merobek kesunyian.

Ya kamu. Perempuan dengan segerobak letih dan lesu. Tubuh lisut. Kuyu. Dan bibirmu kelu.

Malammu racun, siangmu topeng. Langkahmu oleng.

Kamu rama-rama dengan sayap yang retak. Tertatih terbang arungi ruang dan waktu yang tak pernah beku.

Mungkin kamu lahir di musim panas, ketika La Nina dan El Nino bersekutu menghumbalang bumi. Lintang kemukus dini hari. Yang berpendar sebentar, lalu mati.

Barangkali para bidadari tengah merajut sedih ketika kau hadir di sini. Aku tak mengerti. Aku cuma tahu ada luka di matamu. Kepedihan yang dalam. Tapi hanya itu. Selebihnya kabut biru.

Tentu saja aku kehilangan — sangat — saat bayangmu lindap. Aku jadi sepi sendiri, ditikam sepisau sunyi. Kamu pasti tak tahu aku telah berjalan melintas waktu mengejar jejakmu. Nyaris letih dan lunglai di ujung harapan semu.

Dan kini, setelah kau moksa, apa lagi yang tersisa selain hampa …

§ 45 Responses to Embun Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Embun Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: