Untung Pecas Ndahe

Oktober 5, 2009 § 59 Komentar

Tetangganya mengingatnya sebagai Kusmindar. Tapi teman-temannya di Pasukan Tjakrabirawa mengenalnya sebagai Kusman. Kus, begitu ia biasa dipanggil. Kelak, orang mengenalnya sebagai Letnan Kolonel Untung.

Siapakah sesungguhnya Untung? Dari mana asalnya? Koran Tempo edisi Senin, 5 Oktober 2009, menurunkan laporan utama lengkap tentang Untung dan perannya dalam insiden G30S.

Karena beberapa kawan mengeluh susah mendapatkan edisi cetak Koran Tempo, saya muat kembali artikel yang ditulis oleh kawan-kawan saya: Endri Kurniawati, Aris Andrianto, dan Erwin Dariyanto itu. Siapa tahu bermanfaat sebagai penambah khasanah pengetahuan sampean.

Nah, tulisan ini merupakan sambungan dari posting sebelumnya. Kali ini tentang profil Untung yang legendaris itu. Selamat membaca.

Dusun yang tak jauh dari dekat Pantai Krakal, di bagian timur Kebumen, itu berhawa gersang. Di siang hari panas menyengat, khas kawasan pesisir. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai pengrajin dan pedagang peci. Dulu, daerah itu basis Angkatan Oemat Islam, organisasi yang didirikan untuk melawan pendudukan Belanda sekitar 1945-1950.

Orang-orang Kedung Bajul, Desa Bojong Sari, nama daerah itu, tergolong pemeluk Islam yang taat. Tua-muda rajin beribadah dan mendaras Al-Quran. Dusun itu merupakan tempat kelahiran Letnan Kolonel Untung. Tetangganya mengingatnya sebagai Kusmindar. Tapi teman-temannya di Pasukan Tjakrabirawa mengenalnya sebagai Kusman. Kus, begitu ia biasa dipanggil.

Untung tak punya darah militer maupun politik dari kedua orang tuanya. Slamet, kakek Kusman, cuma tukang sapu di Pasar Seruni di desa itu. Ayahnya, Abdullah Mukri, buruh peralatan batik di Solo, Jawa Tengah.

Meski cuma buruh, Mukri dikenal sebagai penakluk wanita. Ia kawin-cerai sampai tujuh kali. Untung lahir dari istri kedua Mukri. “Ibunya pemain wayang orang desa kami,” kata Sadali, 71 tahun, tetangga dekat Untung di Kedung Bajul. Sadali, yang sekarang berdagang peci, tak ingat nama perempuan yang minggat, menikah dengan lelaki lain ketika Untung masih 10 tahun, itu.

Sepeninggal ibunya, Untung hijrah ke Solo. Ia diasuh adik ayahnya, Samsuri, yang tak punya anak. Karena itu, “Dia lebih dikenal sebagai Untung bin Samsuri,” kata Sadali, yang kakaknya sekelas dengan Untung di Sekolah Rakyat Seruni, Kebumen, hingga kelas III.

Seperti kakaknya, Samsuri buruh pengrajin batik di Solo. Meski begitu, Samsuri memperhatikan pendidikan sang keponakan. Suhardi, teman kecil sekaligus junior Untung di Tjakrabirawa bercerita, dari sekolah rakyat di Kebumen, Untung dipindahkan ke Sekolah Rakyat di Jayengan, Kartopuran, Solo.

Barangkali karena Samsuri berada di lingkungan pedagang yang kuat, selepas sekolah rakyat Untung dimasukkan ke Klienhandel, sekolah dagang Belanda setingkat SMP. Toh, setamat sekolah dagang, Untung tidak jadi saudagar. Ia malah masuk Heiho pada 1943, yakni ketika Jepang masuk ke Indonesia. Sejak itu ia terus berkarier di militer.

Sejak pindah ke Solo, Untung tak pernah lagi pulang ke Kedung Bajul. Sekitar 1957-1958, menurut Sadali yang kala itu berdagang batik, dia beberapa kali bertemu dengan Untung. Temannya itu, kata Sadali, pulang ke rumah Samsuri saban bulan ketika masih berdinas di kesatuan Banteng Raiders di Gombel, Semarang.

Bagi Sadali, Untung orang yang ramah, halus tutur katanya dan rajin mengaji hingga dewasa. Jika bertemu, ia senang mengajak ngobrol Sadali, bahkan menasihati. “Sesama orang Kebumen di perantauan harus saling membantu.”

Selebihnya, orang-orang Kedung Bajul tak tahu lagi kabarnya hingga pernikahannya dengan Hartati digelar megah pada 1963, setahun setelah kepulangannya dari Irian Barat. “Pesta paling meriah waktu itu,” kata Syukur Hadi Pranoto, 71 tahun, tetangga Hartati di Kelurahan Kebumen.

Untung menikahi Hartati setelah bertemu di rumah Yudo Prayitno di Kecamatan Klirong, pesisir selatan Kebumen, pada sebuah acara keluarga. “Usia Hartati jauh lebih muda dari Untung,” kata Siti Fatonah, kerabat Hartati di Kebumen.

Hartati adalah anak kelima dari tujuh anak Sukendar, pemborong besar yang kaya dan terpandang. “Dia punya banyak kuli,” ujar Syukur. Beberapa gedung besar di Kebumen adalah hasil karyanya.

Tak aneh jika pesta pernikahan Hartati-Untung yang digelar siang hari dibikin megah. Tenda besar dibentang. Hiburannya wayang orang Grup Ngesti Pandawa dari Semarang yang sedang ngetop. Jalanan sekitar rumah Sukendar ditutup. Mobil tetamu berjajar di sepanjang jalan di sekitar rumah Sukandar.

Menikah dengan adat Jawa, Untung mengenakan beskap dan blangkon. Setelah itu ia mengenakan pakaian kebesaran militer.
Tamunya kebanyakan petinggi pemerintahan, pejabat militer dan anggota Dewan. Soeharto dan Tien Soeharto pun datang. “Soeharto datang mendadak, membuat tuan rumah sedikit kebingungan menyambut kedatangannya,” kata Syukur, yang sempat dipenjara enam tahun karena dituduh terlibat G-30-S.

Di antara para tamu, tak ada tetangga dan kerabat dari Kedung Bajul yang diundang. Dikabari pun tidak. “Mungkin karena ia sudah menjadi orang besar,” kata Mashud, tetangga dekat Untung di dusun. Padahal keluarga besar Slamet masih berada di dusun itu hingga sekarang.

Setelah menikah, Untung memboyong Hartati ke Jakarta. Siti Fatonah, kerabat Hartati yang masih tinggal di Kebumen, mengatakan, dari pernikahannya dengan Hartati, Untung mendapat seorang anak lelaki, Anto. Fatonah menyebutnya, Insinyur Anto.

Sepeninggal Untung, Hartati menikah lagi dengan seorang petinggi sebuah perusahaan tekstil di Bandung.

Tagged: , , , , ,

§ 59 Responses to Untung Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan ke lilliperry Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Untung Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta