Kompetisi Pecas Ndahe

Januari 26, 2010 § 52 Komentar

Membuat sesuatu yang sederhana menjadi rumit itu sudah biasa; membuat sesuatu yang sulit menjadi sederhana, menjadi sangat sederhana – nah, itu namanya memiliki daya cipta. Begitulah kata pemusik jazz, Charles Mingus, kepada majalah Sport Illustrated.

Agar memiliki daya cipta, konon kita harus mempunya imajinasi. Karena, imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Anugerah imajinasi adalah inti kemampuan kita untuk berinovasi, kata Albert Einstein.

Imajinasi adalah kunci.

Saya baru melihat hubungan dari elemen-elemen penting itu setelah tempo hari menjadi juri sebuah kompetisi yang diadakan oleh perusahaan teknologi terkemuka.

Kompetisi tersebut bertujuan mencari individu-individu yang berpikiran terbuka, seorang inspirator, generator, aktif dalam pelbagai kegiatan sosial di dunia nyata maupun daring (online), sekaligus mampu menciptakan terobosan dalam bidang pendidikan berbasis teknologi.

Elemen-elemen itu muncul pada diri seseorang secara utuh, tapi tidak pada yang lain. Memang ada satu dua peserta lomba yang memiliki beberapa unsur yang diperlukan untuk menjadikannya sosok yang dicari, tapi anasir-anasir itu belum menyatu menjadi sebuah karya atau inovasi.

Saya tak menemukan pribadi seperti Charles Dickens yang memperoleh inspirasi setelah berjalan-jalan di sekitar komunitasnya, memperhatikan kebutuhan mereka, lalu menyediakan solusi dengan melakukan eksplorasi, pada semua kandidat.

Tapi saya menemukan satu sosok semacam Leonardo da Vinci, yang minatnya merentang dari seni, musik, geometri, sampai sains, dan lebih jauh lagi bekerja sukarela demi kemaslahatan khalayak.

Ada memang seorang peserta yang telah menciptakan sebuah karya. Dia merasa karyanya itu menginspirasi orang. Tapi saya tak melihat passion dalam dirinya. Ia hanya “merasa” tapi belum mampu membuktikan perasaannya itu menjadi kenyataan.

Ia juga merasa sudah berguna bagi lingkungannya hanya dengan mendermakan sebagian rejekinya. Itu saja. Tapi ketika saya bertanya apakah dia pernah menggerakkan komunitasnya secara nyata dan langsung untuk melakukan sesuatu, ia menggelengkan kepala.

Ada perbedaan besar antara “merasa” dan benar-benar melakukan sesuatu dan orang lain memang mendapatkan manfaat.

Ini bukan soal benar dan salah. Baik dan buruk. Kompetisi ini hanya ingin mencari seseorang yang mempunyai keterampilan sosial, memiliki gagasan-gagasan baru, menciptakan sesuatu, dan memberi manfaat bagi lingkungannya. Kompetisi ini bertujuan mendapatkan sosok yang berkualitas. Dan dalam lomba meraih kualitas, tidak ada yang namanya garis finis.

Maka, akhirnya, kami para juri bersepakat memilih seorang pemuda dengan ide-ide yang segar. Seseorang yang benar-benar telah bekerja demi lingkungannya. Memiliki antusiasme yang besar pada pendidikan. Menyebarkan pengetahuan dengan cara baru. Seseorang yang sangat aktif melakukan kegiatan sosial dengan memanfaatkan teknologi untuk meraih tujuan — lelaki dengan social skill yang tinggi.

Tidak ada kolusi. Tak ada kongkalikong. Para peserta telah menunjukkan diri masing-masing sesuai kemampuan dan hasil kerja mereka. Tugas para juri hanya bertanya. Selanjutnya, para peserta sendirilah yang membuktikan apakah mereka sekadar tong kosong berbunyi nyaring atau bukan.

>> Selamat hari Selasa, Ki Sanak. Apakah sampean juga memiliki keterampilan sosial?

Tagged: , , , , ,

§ 52 Responses to Kompetisi Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Kompetisi Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: