Batak Pecas Ndahe

Maret 30, 2007 § 11 Komentar

Saya cuma mau minta komentar sampean tentang nasib yang menimpa rekan kita di Medan ini. Tapi baca dulu tulisannya tentang amplop dan blog.

Sedikit penjelasan, abang kita ini mengaku wartawan idealis yang selalu menolak amplop. Sayang, nasib tak berpihak kepadanya. Gaji dari kantornya rupanya tak memenuhi kebutuhan keluarganya. Istrinya bahkan sempat mengancam minta cerai jika si abang tak sanggup mengurus keluarga lebih baik.

Akhirnya, dia berhenti sebagai wartawan, lalu ngeblog. Untuk menyambung hidup, dia membantu istrinya berjualan.

Ia memberi pelajaran: jangan kampanye tolak amplop saja, tapi perjuangkan dulu standar gaji jurnalis.

Ah, perut rupanya tak ma[mp]u menunggu idealisme … Simpati saya untuk Bung Jarar.

§ 11 Responses to Batak Pecas Ndahe

  • avatar cahyo wijanarko cahyo wijanarko berkata:

    orang jujur gk bakal ancur..salut!!!btw, trade link dong ndoro…

  • avatar mbahatemo mbahatemo berkata:

    wah, mas ndoro memulai kampanye.. 😛
    orang awam begini kalo mau ndukung liwat apa/mana?

  • avatar mathematicse mathematicse berkata:

    Wartawan itu kan biasanya pandai menulis. Jadi, penulis aja….

  • avatar Hedi Hedi berkata:

    Aku melihatnya persis seperti polisi atau aparat pemerintah negeri ini. Gaji tak memadai, tapi tuntutan/beban pekerjaan tinggi.

    Lalu bagaimana dengan petinggi media, katakanlah kelas redaktur, yang juga masih menerima amplop. Padahal mereka sudah punya bayaran yang lumayan memadai, terutama dari media mapan.

  • avatar balak6 balak6 berkata:

    Kita ‘berkeluh-kesah’ hanya kepada Tuhan.
    Kita cukup ‘bercerita’ kepada manusia lain, sebagai bagian mencari wujud pertolongan Tuhan.

  • avatar Jarar Siahaan Jarar Siahaan berkata:

    untuk bapak yang punya blog, terima kasihku yang tulus.

    untuk anda semua yang memberi dukungan juga kuucapkan terima kasih.

    sedikit meluruskan, istriku memang sudah pernah benar-benar menuntut cerai. waktu itu aku redaktur di salah satu koran milik jawa pos grup di medan. dia tak tahan lagi harus meminta beras dari mertuanya, karena gajiku cuma 700 ribu. dia akhirnya pergi ke palembang menemui saudara-saudaranya di sana. ketika itu aku anggota aji — organisasi wartawan yang mengharamkan amplop. aku patuhi larangan itu. sehingga, setiap mau mudik ke kampung untuk menjenguk istriku, aku harus meminjam ongkos 50 ribu dari kawan-kawan kantor. mulai pemred, redpel, reporter, staf iklan, hingga office-boy pun sudah pernah kupinjam duitnya.

    kala itu, hampir tujuh tahun lalu, anak pertamaku pun meninggal. istriku bilang: “kautahu kenapa anak kita mati? karena ALLAH lebih sayang dia daripada sayangmu padanya. kau lebih mencintai profesimu, idealismemu, aji-mu.” batinku merana karenanya, hingga hari ini.

    sekarang aku bukan lagi anggota aji; aku sudah mundur. sejak 20 maret, setelah berkarir selama 12 tahun, akhirnya aku berhenti dari media dan berjanji sampai kapan pun takkan mau lagi bekerja di media yang banyak bohongnya itu.

    kupikir orang yang awam jurnalisme pun pasti paham; kenapa banyak wartawan dan redaktur yang sanggup bertahan pada profesinya sementara gajinya cuma 700 ribu atau 1,5 juta. anak kecil pun tahu jawabannya. yaitu, mereka tak malu melacurkan idealisme dengan menjadi pemeras atau menulis berita karena diberi amplop.

    surat terbuka yang kukirimkan ke aji dan dewan pers — seperti yang di-link di blog ndoro kakung di atas — adalah berisi kritik dan seruan kepada aji. sudah banyak kawan-kawan wartawan di indonesia yang mendukungku. mereka sepakat: selama gaji wartawan kecil, mustahil amplop bisa ditolak. dan kalau pun ada yang nekat menolak amplop, maka ia adalah wartawan lugu dengan logika tolol sepertiku dulu.

    kalau boleh kukutip sebagian isi suratku itu:
    *yang harus dilakukan aji adalah mendesak semua media agar menggaji wartawannya dengan layak. aji harus berani menggalang wartawan untuk mogok kerja. dan sebelum media memberi gaji layak, hentikan kampanye tolak-amplop.

    *abang dan kakak jangan dong berpura-pura buta; hampir semua koran daerah tak menggaji wartawannya dengan layak. sebagian besar di bawah 1 juta, itu pun cuma bagi wartawan yang bertugas di ibukota provinsi; sementara di kabupaten umumnya tidak digaji. aku mau bertanya: begitu banyak anggota aji di seluruh provinsi dan bekerja di koran lokal, apa penjelasan yang masuk akal bahwa mereka tidak terima amplop? oh TUHAN, alangkah kita — kau dan aku — sudah lama berbohong.

    begitulah. aku tahu apa yang kuperjuangkan saat ini bukanlah untuk diriku, sebab aku bukan lagi pekerja media. ini agar media menggaji rekan-rekanku wartawan secara layak; dengan begitu mereka bisa menolak amplop dan menulis tanpa rekayasa; dan pada ujungnya rakyatlah yang terpuaskan dengan berita-berita yang apa adanya.

    kini, aku adalah seorang wartawan freelance yang menjadi penjual oli sambil ngeblog.

    sekali lagi, terima kasihku yang tulus untuk ndoro kakung dan untuk semua saudaraku di mana pun.

    khusus untuk rekan-rekan wartawan kusampaikan salam; jangan bohongi nuranimu.

    wassalam,
    jarar siahaan di balige, kampung kecil di tepi danau toba.

  • avatar yati yati berkata:

    bukan wartawannya yg harus terus diingetin untuk ga terima amplop, tapi perusahaan tempatnya bekerja. Jangan nekat bikin pabrik kata2 (baca: media) kalo ga bisa nggaji wartawan dengan layak!

  • avatar babunegara babunegara berkata:

    itulah mengapa saya make nama babu….

  • avatar mei mei berkata:

    teman aku pernah bercerita, kalau suaminya yang juga wartawan majalah trust pernah menolak amplop yang isinya sekian jut. idealis yang tinggi, secara motornya juga masih motor butut keluaran athun 60

  • avatar MasIndra MasIndra berkata:

    Amplop…kok kelihatannya itu bagaikan momok buat wartawan sih. Padahal memberi dan menerima amplop kan sudah biasa dari dulu apalagi sebelum teknologi email dan sms belum ditemukan…halah…
    Btw saya pikir idealisme tidak ditentukan dari amplop, tapi dari isinya ( apalagi ini? :p ). Kalau saya pernah dengar cerita dari kawan-kawan senior, terima saja amplopnya, kalau kita ga butuh ya kasih aja ke panti asuhan atau orang yang lebih butuh…Bener ga sih? Ya kalau kita butuh, taruh di saku,,,kasih ke istri. Ya ga?

Tinggalkan Balasan ke mei Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Batak Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta