Keadilan Pecas Ndahe

Mei 12, 2007 § 16 Komentar

Benarkah kerusuhan Mei 1998 dipicu oleh hilangnya rasa keadilan, pendapatan yang timpang? Saya ndak tahu.

Pada hari-hari itu, sembilan tahun yang lalu, saya cuma tahu Jakarta mendadak genting. Udara pengap. Gerah. Api di mana-mana. Rusuh.

Saya ingat asap hitam membubung ke angkasa. Saya melihatnya dari kejauhan. Dan malam menjadi sangat mencekam dalam selimut gelap. Sesekali terdengar senjata menyalak.

Hari-hari ini, saya bisa mengenang kembali drama itu dengan lebih tenang, dalam ruangan yang sejuk, kopi hangat, dan teman yang meneduhkan, Paklik Isnogud. Tak ada keringat, darah, api, dan kecemasan.

Suasana enak, menu syedap, apalagi yang kurang? Aha, dongeng Paklik. Rasanya seperti sayur tanpa garam bila duduk berdua tanpa mendengarkan Paklik ngoceh tentang apa saja.

“Ceritakan soal keadilan, Paklik,” saya memintanya.

“Keadilan? Keadilan apa sih, Mas?”

“Apa sajalah. Soale saya tiba-tiba pengen tahu pendapat Paklik tentang keadilan.”

“Oh gitu. Apa ya … Menurut saya, seandainya tak ada soal keadilan, kita semua bisa tahu bagaimana rasanya harmoni. Seperti di zaman dahulu kala …”

“Kapan itu, Paklik?”

“Di zaman dahulu kala, di abad ke-14, bahkan pujangga istana sendiri tak perlu menyembunyikan cerita bahwa Baginda Rajasanegara dari Majapahit gemar menghabiskan waktu untuk santapan sedap, tarian nikmat, tuak yang memabukkan dan perempuan yang molek. Ada legitimasi untuk kemewahan yang seperti itu.

Tapi kini, nasihat yang paling sering terdengar adalah: jangan pamerkan kekayaan. Atasi jurang antara yang berpunya dan yang tidak. Jangan sampai ada revolusi sosial.

Nampaknya benar juga kata seorang penulis: masyarakat tak reda-redanya gaduh di zaman ini karena satu-satunya legitimasi yang ada padanya adalah keadilan sosial. Tanpa adanya keadilan itu, hidup bersama, yang disebut masyarakat manusia ini, hanya omong kosong.

Tentu saja dasar legitimasi itu bukan sesuatu yang buruk. Tapi jelas dia punya kesulitan. Napoleon, kata orang, mendorong daya tempur serdadunya dengan membekali tiap prajurit dengan sebatang tongkat komando. Pesannya: percayalah, tiap prajurit bisa menjadi jenderal.

Tentu saja “perangsang” ini hanya ibarat dongeng untuk anak. Sebab, meskipun secara teoritis tiap prajurit bisa jadi jenderal, tidak serta mereta mereka akan berbintang empat.

Soalnya, kita tahu, jumlah jenderal dalam tentara mana pun terbatas. Seperti halnya jumlah kursi kelas VIP di bioskop. Seperti halnya tanah luas untuk rumah indah yang bertaman. Seperti halnya kesempatan memacari Dian Sastro, idola sampean itu, Mas.

Maka, yang terjadi adalah dilema, yang sebenarnya tak suka diakui secara terus terang. Di satu pihak dibuka kesempatan memperoleh bagi semua. Di lain pihak barang yang harus dibagi pada akhirnya akan terbatas.

Seandainya semua orang mendapatkan kursi VIP, maka arti kursi VIP itu sendiri pun akan berubah — bukan lagi previlese. Dan seandainya semua pria akhirnya kawin dengan Dian Sastro …

Tak ayal lagi, kerepotan dan kekikukan dalam soal pemerataan pun berlangsung dengan sengit dan, lebih sering lagi, seret. Alangkah baiknya seandainya orang berhenti berebut tempat dan benda-benda.

Tapi di zaman seperti sekarang, mana mungkin? Kita harus berhenti serentak, dan itu sama artinya dengan mengharapkan sihir datang dari UFO.

Maka, selalu ada kecenderungan, untuk mengembalikan persoalan ke dasar lagi: karena tak setiap kita akan berhasil jadi raja minyak, baiklah kita tak usah bikin program pemerataan pendapatan secara ruwet. Bicaralah saja soal pemerataan kesempatan — dan bahwa gaji gede akhirnya ditentukan oleh keuletan masing-masing.

Artinya kita kembali kepada satu-satunya legitimasi yang dimiliki masyarakat, keadilan sosial. Tapi benarkah kita yakin bahwa itulah yang terbaik, Mas?”

“Ndak tahu, Paklik. Saya ndak tahu … ”

Sampean tahu, Ki Sanak?

§ 16 Responses to Keadilan Pecas Ndahe

  • avatar balak6 balak6 berkata:

    kok bisanya menghubungkan kerusuhan 1998 dengan Dian Sastro….
    Ndoro terObsesi jadi pacar Dian Sastro ?

    Maju terus Ndoro….
    lha wong Datuk Duda bisa ngembat Siti Nurhaliza,.. je!

    terima kasih untuk dukungannya, mas … 😀

  • avatar kw kw berkata:

    gak tahu juga ndoro. mungkin keadilan yang sama rata sama rasa lebih baik. 🙂

    belum tentu juga, mas. apa sampean ya mau gajinya sama dengan anak buah sampean? 😛

  • avatar peyek peyek berkata:

    “pemerataan kesempatan”

    ndoro, bilang sama dian sastro untuk memberi kesempatan yang sama buat saya untuk memacarinya.

    beres, kang. upahnya peyek yo? 🙂

  • avatar bim bim berkata:

    saya pernah nanya sama pembantu saya…
    kamu tahu nggak Pancasila..
    tahu… jawabnya..
    Terus dia sebutin…
    PANCASILA.. SAtu, bla-bla….Dua, ….Tiga..
    Lengkap hapal sampai lima..
    trus saya tanya lagi..
    Lha yang ke enam belum….
    ….
    dijawab juga dg enteng
    ….

    saya sekolah cuma sampai kelas lima…
    ???

    Sepertinya keadilan
    pendidikan masih jauh ya ndoro…

    wah, analogi yang bagus, bim … *menjura*

  • avatar Ira Lathief Ira Lathief berkata:

    Salam kenal dari seorang kutukupret dari khayangan 🙂 Panjengan emang pancen oye……Ndoro Kakung!! Yo wis, hayu atuh kita bikin Republik Mimpi aja lah!! Ndoro jadi Presiden…saya jadi pembisik Ndoro ;0 !!

    pembisik? wah, jangaaan … kupingku bisa geli … 😀

  • avatar yati yati berkata:

    hahaha…bisa ya, contohnya dian sastro….ckckck…

    maunya sih, contohnya yati. tapi takut ada yang marah .. 😛

  • avatar langit langit berkata:

    ngga bisa ngomong banyak ndoro..keadilan di negri kita ini sekarang sudah menjadi barang mewah,yg sulit dijangkau 😦

  • avatar Goio Goio berkata:

    Keadilan, sama seperti cinta, adalah hal yang sulit didefinisikan… atau mungkin tidak perlu didefinisikan?

    Artinya begitu beragam dari satu kepala dan kepala yang lain. Adil bagi satu pihak akan menjadi tidak adil bagi pihak yang lain. Apalagi di mata orang-orang yang terlalu egois.

    Keadilan hanya milik orang-orang yang berpikir bahwa ‘adil itu untuk orang lain’, bukan dirinya sendiri.

    *mebalikkan badan… kembali melamun…

  • avatar mbahatemo mbahatemo berkata:

    berani digledah, saya benar2 ndak tau, mas ndoro..
    terposeng-poseng dg keadilan ituh…

  • avatar pudjakesuma pudjakesuma berkata:

    …Bicaralah saja soal pemerataan kesempatan — dan bahwa gaji gede akhirnya ditentukan oleh keuletan masing-masing.

    he eh…
    setuju sama Pakliknya. kan analoginya mirip dengan “an eye for eye”.
    hasil dari kristalisasi keringat … bla bla bla (hahaha :D)

  • avatar kenny kenny berkata:

    kalo ndoro bisa macari dian sastro trus ari wibowo gelem macari aku…itu namanya keadilan 😀

  • avatar abi_ha_ha abi_ha_ha berkata:

    Jurang pendidikan memang yang paling perlu ditimbun.
    Supaya pada paham bahwa keadilan bukan berarti sama rata.
    Supaya pada paham bahwa demokrasi bukan berarti demo tiap hari membuat macet.
    Supaya pada paham bahwa walaupun sudah bisa nyicil motor baru tapi belok itu harus didahului lampu sein.
    Supaya pada paham bahwa kalau nyetop angkot/bis mbok jangan di pengkolan.
    Mbuh pirang yuto ‘supaya’ maneh ki…

  • avatar kikie kikie berkata:

    guruku waktu SMP (atau SD ya..) dulu pernah bilang, kalau keadilan diartikan sebagai “sama rata” maka adalah bahwa kacaulah. misalnya kalau diterapkan dalam kasus .. pekerja yang produktif diberi gaji yang sama dengan pekerja yang gag produktif.
    kata beliau, keadilan itu lebih berarti “ada pada tempatnya”.
    yaa nggak berbuat dzalim gitu.

  • avatar mathematicse mathematicse berkata:

    Ga tahu juga kisanak…

  • avatar venus venus berkata:

    saya juga ga tau…tapi kaosnya buat saya dong, ndoro *teuteup*

    ah, simbok. lah wong kaos itu sudah bau kringetku je. kangen kringetku po? 😛

  • avatar andrias ekoyuono andrias ekoyuono berkata:

    adakah keadilan itu ndoro? sementara semua orang di semua kalangan masih serakah dan ingin menang sendiri, sehingga mereka gak akan pernah merasa diperlakukan adil.

    nah ya itu pertanyaanku kang. 😦

Tinggalkan Balasan ke Goio Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Keadilan Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta