Ruwet Pecas Ndahe
Juni 28, 2007 § 18 Komentar
“Malu bertanya sesat di jalan.”
Kata-kata itu tertulis besar-besar pada dinding retak di dalam kamar kumuh penuh buku-buku filsafat milik seorang mahasiswa, sebut saja namanya Tanyamelulu.
Kuliahnya sudah semester sepuluh, tapi belum lulus juga. Rambutnya lusuh, berminyak. Kacamata minus tujuh nangkring di atas hidungnya. Ia cuma punya satu sepatu kulit lancip asli buatan Cibaduyut.
Di hari-hari ini, di saat ia merasa kesepian karena tak seorang pun mengacuhkan pertanyaannya, kawan-kawannya sekuliah sedang ramai mengecam pemerintah, ia memutar CD lawas yang sedang ia gemari: suara sayu Betharia Sonata. Halah. Jadul amat!
Hanya pacarnya yang masih telaten, bersedia mendengar pertanyaannya.
“Apa pertanyaanmu kali ini, Mas?” begitu tanyanya.
“Banyak sekali, banyak sekali,” jawab Tanyamelulu. “Tapi tak seorang pun mau mendengarkan.”
“Aku mau mendengarkan.”
“Hebat. Tapi apa kau tahan? Sebab aku akan bertanya tentang masa depan Tanah Air. Aku akan bertanya manakah yang harus kita pilih lebih dulu: pulihnya hak-hak asasi manusia di sini, atau terjadinya perataan pendapatan, atau lahirnya pemerintah yang bersih. Atau bisakah ketiganya terjadi secara simultan?”
“Ah, itu semua abstrak, Mas.”
“Baiklah. Tapi misalnya kau bicara perataan pendapatan. Ukuran apa yang bisa dipakai untuk menilai kemerataan? Siapa yang berwenang menentukan ukuran itu? Dari mana wewenang itu terjadi? Bagaimana halnya dengan hak asasi orang lain untuk tak tunduk kepada ukuran itu? Perlukah hak tertentu ditiadakan — misalnya hak mencari kebahagiaan, hak milik, hak waris — untuk mengurangi peluang hidup yang tak merata?”
Pacarnya terdiam. “Mmm … Mungkin ada baiknya kalau kamu ganti nama, Mas.”
“Jadi apa?”
“Ruwetmelulu.”
“???@#$#$Q@%??”
Ditunggu mas ndoro artikel versi Ruwetmelulu nya … 😉
Halah..kali ini ko posting soal pemerintah sih ndoro..?? Jadi ikutan ruwet niii…
Beruntung sekali masih punya pacar yg mau mendengarkan, kalo enggak apa harus bertanya pada rumput yg bergoyang? btw lanjut donk ndoro cerita diajengnya.
sampeyan ngintip kamarku pas aku jadi mahasiswa dulu ya ndoro?
iya bener ruwet. kalau bisa sih jalan bareng aja meskipun pelan. si Tanyamelulu selain tahu kata-kata “Malu bertanya sesat di jalan” juga mesti tahu, “Banyak bertanya, memalukan!
🙂
Berbobot
yang harus ada itu kan, pemerataan kesempatan. yang kaya bisa tambah kaya kenapa orang kecil mau makan gorengan aja antri? sama rata sama rasa itu nonsens!
yang pasti yang pertama kesejahteaan, tapi kesejahteraan baru bisa tercapai kalo pemerintahan bersih. terus, mmm, tauk ah…
kalo perbincangan di semester 20 gimana, mas ndoro? 😀
wah,mngkin itu hnya gmbaran kbanyakan MHS indonesia.miirnya jauh2,mikirn bangsa,yg hampir2 hancur,tp dy ndak tau klo ada jurang dalam didepannya,yg harus lebih diwaspadai, D O !!!!!!!
mikir bangsa boleh,tp mikir diri sendori dulu jauh leih penting daripada ngomong doank,nggeh to ndoro??
(mngkinitu nasehat bwt saya sendiri,hwekekekekekekekew…)
:”)
wah… ndoro saingi aku, aku juga lagi ruwet buat skripsi gak jadi-jadi, cari kerja gak dapat-dapat, cari pacar gak ada yang mau, ….. apa lagi yooo, piye jal….
Baru Tanyamelulu aja minusnya tujuh, gimana kalo jadi Ruwetmelulu. Bisa-bisa buta 😉
hahaha….kok obrolan saya dikopas ke sini? :p
“hmm..lantas bagaimana dik? masa saya harus melakuken pergantian nama?”
“ho’oh”
“serius?”
“iya!”
“kenapa?”
“auk ah..!”
“lho..?!”
STRESS NDORO…
Kuliahnya sudah semester sepuluh, tapi belum lulus juga.
bukan sayah tho ini???!!!
Hahaha…. ruwet deh saya bacanya. Ditanya melulu sih…
hahahhaaha..seng ini bener2 bikin ngakak…thanks bikin sore ini ndak bgt mendung ndoro..hihi