PSSI Pecas Ndahe
Juli 18, 2007 § 19 Komentar
Petang nanti, hanya beberapa jam lagi, sebuah tribute mungkin akan ditulis oleh para penyair, pujangga, wartawan, juga para pengeblog untuk tim sepak bola nasional Indonesia (PSSI).
Pasukan yang dilatih Ivan Kolev itu akan menghadapi kesebelasan Korea Selatan di ajang Piala Asia 2007. Kalau menang, berarti ini untuk pertama kalinya tim Merah-Putih lolos ke perempat final. Sebuah rekor baru. Sejarah. Jika kalah, maaf saudara-saudara, kita masuk kotak.
Tapi, rasanya tak penting benar kita menang atau kalah. Hari-hari ini kita telah melihat bagaimana bergeloranya semangat dan manisnya sikap para suporter, fans, pendukung Ponaryo Astaman dan kawan-kawan. Lihatlah ketika mereka ikut menyanyikan Indonesia Raya. Betapa bergemuruhnya teriakan mereka. Betapa hasrat, passion, telah menyatukan mereka dalam sebuah dukungan bersama.
Terus terang, hari-hari ini, saya jadi ikut bergetar karenanya. Belum pernah rasanya, tim sepak bola kita membuat para pendukungnya begitu sensitif. Sentimentil. Benarkah karena ini merupakan semacam simbol dari seberkas cahaya di ujung lorong yang gelap?
Saya ndak tahu. Paklik Isnogud lebih tahu. Meski tak begitu menyukai PSSI, ia sering menonton pertandingan mereka. Ia pernah bilang, dengan agak sinis, bahwa “Setiap pertandingan besar selalu diakhiri dengan sesuatu yang agak menjijikkan: saling bertukar kaus.
Bayangkan Mas, ketika peluit akhir ditiup, seluruh tim telah basah oleh keringat kompetisi. Para pemain telah pegal linu, luka atau lecet, oleh gerak dan benturan. Lalu tiba sebuah ritual yang tidak higienis tapi tampaknya penting: si menang dan si kalah mencopot kaus seragam masing-masing, lalu mereka saling menukarkannya. Ih, geli … ”
Sebagai seorang yang tak bisa menganalisa Piala Asia dan piala-piala lain, dan cuma sesekali menonton sepak bola dari layar televisi, saya justru menganggap itulah adegan yang paling menarik dari kesibukan di lapangan hijau itu.
Tentu, saya selalu membayangkan bagaimana kecut dan busuknya bau itu kaus yang kuyup oleh peluh. (Bagaimana kalau Bambang Pamungkas punya panu?). Tapi tampaknya ini bukan peristiwa aroma dan kebersihan. Ini adalah suatu peristiwa simbolik.
“Memang itu peristiwa simbolik, Mas,” kata Paklik Isnogud. “Ketika kaus tim kita ditanggalkan dan dipertukarkan dengan kaus lawan, apa sebenarnya yang dikatakan? Yang dikatakan: tim “kita” dan tim “mereka” adalah satuan-satuan yang didefinisikan hanya oleh warna kaus. Para suporter boleh meradang seperti kecebong mabuk, tapi sergap-menyergap di lapangan itu tak berlaku buat seumur hidup.
Yandri Pitoy, Elie Eboy, atau Budi Sudarsono, besok mungkin tak lagi memakai warna itu, dan siapa tahu dua pemain yang tadi berhadapan bulan depan akan bermain dengan kaus yang sewarna.
Kaus itu lambang sikap bersungguh-sungguh yang sementara dari antagonisme.”
Saya mengangguk, menyetujui setiap larik kalimat Paklik.
“Tapi, lebih dari semua itu, yang paling penting adalah passion. Sebab, ada semacam sihir dalam tiap passion. Mungkin karena itulah pada 1970 orang-orang El Salvador dan Honduras saling panas, setelah sebuah pertandingan besar, dan perang meletus antara kedua negara itu. Mungkin itu pula sebabnya di Belgia, di Stadion Heyssel di tahun 1985, 40 orang mati karena bentrokan.
Apa pun sebabnya, passion seperti itu yang merundung jutaan manusia dengan bermacam-macam tingkat IQ — bisa disimpulkan sebagai ciri sebuah masa yang telah menjebol aristokrasi.
Karena itu Mas, ketika berbicara tentang sejarah, Hegel menulis,
“Tak ada hal besar di dunia telah tercapai tanpa passion.”
Teknik, perencanaan, ketertiban memang menjanjikan hasil yang diperhitungkan, tapi jika ada pelajaran yang bisa ditarik dari pertandingan besar sepak bola, maka itu adalah satu hal: tanpa orang banyak, tanpa fan, yang gandrung dan tergila-gila, permainan di sana itu akan segera kehilangan makna.”
Baiklah Paklik, moga-moga para pendukung PSSI di Senayan akan memberikan passion yang sama dan kita menang …
UPDATE: Indonesia ternyata kalah 0-1 … hiks 😦
akhirnya paklek isnogud muncul lagi]
HIDUP INDONESIA
Ndoro, cembanan yuk, Ndoro… Panjenengan megang mana, Ndoro? Mayan lho Ndoro kalo menang bisa nraktir Diajeng di angkringan… Seger to, Ndoro?
Thanks ndoro, tulisan ini juga sudah merupakan tribute tersendiri buat sepaqkbola, PSSI dan penggila bola Indonesia, apapun hasilnya nanti sore.
ya memang inti dari semuanya itu bukan apa yang keliyatan, tho?! 😉
http://anangku.blogspot.com/2007/07/kalah-dengan-kepala-tegak.html
sedikit penegasan: yg tepat adalah “Tim Nasional Indonesia” dan bukan “Tim PSSI”, ndoro…PSSI mah: au ah, gelap…salut buat Tim Indonesia dan pendukung Indonesia…bangkit lagi, Indonesia-ku…
hiks…kalah…. T_T
Wong Korea mlayune buanterrrr banget…mergo gingseng po yo?
waduh akhirnya kalah….
tapi kalah menang bukan masalah, itu biasa… yang saya sangat senang semangat semua orang itu lho… jarang kita mendapatkan suasana seperti itu….
masih ada event2 yang lain… terus maju merah putih…
kalah
/* gak ngaruh, aku ra seneng bal kok Ndoro
endonesa kalah..aku sedih..tapi aku menang taruhan…jadi seneng…rasane kok campur aduk ngene…
kata temen saya, biasanya waktu opening, para supporter nyanyi dengan semangat “indonesiaaa tanah airkuuu..”
lha pas udah kalah, nyanyi lagi keras2 “..itulaaah indooooneeeesiiaaaaa…”
so sorry for being skeptical. and sinicle. tapi team bola kita memang payah, yes???
@ mbok venus, team kita lumanyan jauuuuhhh lebih baik sekarang setelah d pimpin kolep. ok mungkin kita kalah kali ini..tapi gak mustahil kalau kita tetap bermain seperti kali ini kita akan di takuti nanti saat piala asia berikutnya d gelar.
semoga sih mbok=(
tim kita memang kalah.
tapi mereka mainnya bagus kok.
meminjam istilah pembawa acara globaltv, “kita kalah dengan kepala tegak”.
perihal skeptis/sinis, memang ciri umum orang indonesia sepertinya.. soalnya jarang tidak dikecewakan.
betul, mbak venus?
ketimbang nanti kecewa juga ujung2nya mending sinis duluan ya?
🙂
tapi aku yakin kok, kalau mainnya seperti ini terus insya Allah piala asteng/tiger/asia berikutnya bisalah at least lolos perempat/semi final.
amiiiiinn…
ndoro, gimana kalo ritual tukar kaosnya diganti sama tukar celana aja?
Ya, saya makin bangga dengan Tim Indonesia. Sekarang semakin baik daripada sebelum-sebelumnya. Walau kalah, banyak peningkatan… 😀
Hidup Indonesia…
Salut dengan team Indonesia yang nggak mau kalah begitu saja dengan lawan yang lebih jangkung. Cukup berhasil membangkitkan semangat nasionalisme kita yang sudah lama tertidur.
kalah.. *keluh*
lawan korea kok mau menang. ya ndak mungkin. tapi memang betul, passionnya terasa sekali di stadion. dan itu cukup memuaskan penonton.