Penyiar Pecas Ndahe
Oktober 17, 2007 § 13 Komentar
Sampean pernah memperhatikan ndak, daerah/kota mana yang paling sering disebut-sebut penyiar TV dalam dua pekan terakhir ini? Cikampek, Cirebon, Nagreg?
>> Bukan. Yang paling sering disebut itu daerah rawan macet.
Pantai mana yang paling kerap disebut? Pantai Kuta? Pantai Losari?
>> Bukan. Pantai utara (Pantura)
Pasar mana yang hampir tiap hari nongol di TV? Pasar Turi? Pasar Klewer? Pasar Beringharjo?
>> Bukan. Pasar tumpah.
Ya, ya, ya … ini memang tebakan ndak mutu bin wagu, Ki Sanak. Jayus. Basbang. Mohon maaf. Tapi, begitulah yang saya peroleh setiap kali saya menonton TV.
Lah wong di layar kaca itu hampir setiap saat para penyiarnya melaporkan pantauan mudik dan arus balik, dari Jakarta ke daerah lain dan sebaliknya.
Lantas mereka [para penyiar TV itu] nyaris selalu menyebut-nyebut “daerah rawan macet, Pantura,” dan “pasar tumpah”, setiap kali melaporkan situasi jalanan. Jadi ya maklum saja bila lama-lama saya nyaris hapal luar kepala kata-kata yang paling sering disebut-sebut itu, Ki Sanak.
Sayang saya ndak sempat mencatat berapa kali tiap kata itu mereka sebutkan. Adakah di antara sampean yang bersedia jadi relawan — jadi counter gitu?
Pasti seru lo. Soalnya siapa tahu frekuensi para penyiar itu menyebutkan tiga kata itu ternyata sampai ribuan kali sehingga bisa didaftarkan masuk ke Museum Rekor Indonesia [MURI] terus dapat sertifikat. Belum ada yang mengusulkan, kan?
Ayo, siapa lagi yang punya daftar kata yang paling sering disebut oleh penyiar TV dalam dua pekan terakhir ini?
Itu lho nama sedulure ndoro yang di Sleman, si Slamet, sering banget disebut di TV.
Slamet Hari Raya, semoga Slamet di perjalanan, pemudik tiba dengan Slamet, dll…
Lha Pak Sa’at yang biasa adzan magrib di tipi kok ya nggak disebut juga to ndoro?
Sa’at adzan magrib bla..bla..
Sebuah posting yang jenaka, namun sekaligus menyelipkan esensi tentang kultur televisi : repetisi yang membosankan dan penuh kedangkalan. “Amusing ourselves to death”, begitu kata Neil Postman tentang kultur televisi — dan persis frasa itulah yang saya kenang setiap kali nonton tv di saat lebaran (dan juga sepanjang bulan ramadhan kemarin).
waduh, tv kita lagi rusak, hiks..hiks.. bos, hadiah ulang tahunku TV baru aja gimana? flat screen yang gedeee.. gitu. gimana? dirimu kan baik bos…
Kalo lebaran gini banyak yang ganti nama jadi “Sugeng Riyadi”
Sayah ndak punya e, ndoro … adanya ini.
Selama ritual mudik masih berlangsung dari tahun ke tahun pasti acaranya ya itu2 terus. Tapi menurut saya informatif kok kalau disiarkan secara langsung.
lha ya mulakno ndoro… ketimbang cuma jadi pendengar dan pemirsa yang budiman karena sedemikiyan memperhatikan kata2 seputar mudik, mbok ya mudik aja piye?! š
ehuehuehuehe…. keyen keyen…. kreatif ndoro…. aku setuju…
diganteni saja poo ndoro itu pr penyiarnya sama ndoro, kali lebih kureatif lagih nanti š
lha kenapa ndak peno aja yang ngitung?
sapa tau malah njenengan yang masuk rekor MURI sebagai orang kurang kerjaan…
Mentang2 gak mudik, ndoro ini. Info itu kan penting buat para pemudik, apalagi yg gak punya akses ke internet. š
ngga pernah nonton tipi