Kentut Pecas Ndahe
November 12, 2007 § 39 Komentar
Apakah yang benar dan salah di ranah blog? Diary? Puisi cinta anak SMA? Resep masakan? Pamflet? Doa-doa dan zikir?
Apakah yang benar dan salah di ranah blog? Seleb? Blogger militan? Pendatang baru? Perempuan cantik? Banci tampil? Lelaki gombal?
Apakah yang benar dan salah di ranah blog? Prosa? Sastrawangi? Epigon? Lelucon basi? Penjiplakan?
Apakah yang benar dan salah di ranah blog? Membela? Imparsial? Kompor?
Saya ndak tahu. Saya cuma tahu bahwa hidup di ranah blog makin tak mudah dan sederhana. Gerumbulan sesak ini kian mirip alas gung liwangliwung yang penuh jin, setan, prewangan, wewe gombel, dan hantu blau.
Tak semua yang masuk selamat. Tak semua yang bertahan pun akan selamanya survive — seperti keraton-keraton itu.
Saya ingat, Paklik Isnogud pernah bercerita tentang keraton sebagai simbol keagungan.
“Ada masanya Mas, para dalang berbicara tentang wibawa yang ideal bagi sebuah kerajaan, dalam sepotong kalimat yang elok: Kang cedak manglung, kang tebih tumiyung — yang dekat merunduk, yang jauh meliuk.
Itulah hegemoni yang dicita-citakan. Tapi, hegemoni, keagungan, memerlukan biaya. Keraton dan kekuasaannya akhirnya juga sebuah persoalan ekonomi. Untuk merawat sejarah, kita perlu uang … agar keraton tak lapuk dimakan hujan dan debu … ” kata Paklik.
Saya mengira sebuah blog itu seperti keraton juga. Agar mampu membuat “yang dekat merunduk dan yang jauh meliut”, diperlukan “ongkos”. Ia butuh kebaikan, kerendahan hati, juga niat baik.
Sebab, jika ongkos itu tak terbayarkan, bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya, seolah ada “keselarasan” antara yang-di-atas dengan yang-membisu-di-bawah, tapi sesungguhnya terdapat retak tajam yang pedih.
Akan lebih elok seandainya yang kecil lekas besar, yang besar membimbing yang kecil. Bukan sebaliknya. Yang kecil susah besar, dan yang besar menindas yang kecil.
Sebab, pada akhirnya kita toh tak bisa menindas dengan otoritas. Kekuasaan. Juga ideologi yang berisik.
Ingatlah pepatah Ethiopia yang berbicara tentang betapa absurdnya sebuah kekuasaan:
“Bila yang dipertuan agung lewat, petani yang bijak pun membungkuk dalam-dalam — dan dengan diam-diam mereka kentut.”
Saya jadi bertanya-tanya, masih adakah di antara kita seorang Yudhistira — orang yang bicara tentang kebersihan dan perdamaian biarpun di ambang perang?
pertamax… komennya nanti setelah baca…
dadi iki critane mbahas kentut di ethiopia po piye toh ?
halah mbok ya sudah to, ndoro. kok asih mbahas yang beginian sih?
btw, i called the girl. she’ll be okay. bentar lagi juga pasti ngeblog lagi. mudah2an.
masih soal si sarah itu ya?
Bawa diri sendiri saja kadang tidak mudah, apalagi mesti jadi orang lain seperti yang dimaui orang lain. Manusia gudangnya salah.
Lebih baik jadi diri sendiri sambil terus memperbaiki diri.
setahu saya yudistira masih ada ndoro 🙂
dalam setiap masa dan tempat akan selalu ada yudistira … yang senantiasa mencari yang terbaik …
* mode nggambleh: setidaknya di Indonesia masih ada penerbit Yudistira 😀 *
Jujur, saya pernah njiplak lagu mp3nya seleb-seleb itu, dan make beberapa software bajakan.
MASIH ada kok Ndoro… lha wong didunia ini masih banyak kok orang baiknya.. 😀
kayaknya masih soal buandara itu ya ?
Masih soal blog assasin itu ya pak Dhe?
Tenang saja pak Dhe, nanti yang blogger muda tak jagainnya…apalagi yang cantik2 kaya’ Sarah…
^_^
orang kecil jangan ditindas2 to….
masih kejatah yang ke 12
Munyuk mengutip :
“Akan lebih elok seandainya yang kecil lekas besar, yang besar membimbing yang kecil”
Lalu Munyuk Feodal berkata :
Indah banget ya ndoro… ini cuma ketemu di alam feodalisme kuno jaman dulu.
Mungkin serupa kutipan; yang kecil tahu diri, yang besar mawas diri.
iki masih membahas yang sama ya ? moga cepet beres deh
yudhistira ada di mana-mana ndoro. bisa jadi ndoro adalah salah satunya karena yudhistira juga manusia ndoro …
Kalo Ndoro jadi Yudhistira, Saya Arjuna saja deh gpp 😛
Ndoro..
sebuah hukum alam..
juga praktikum sosial..
makanya saya bertanya-tanya,..semoga kesimpulan benar
hukum sosial pun berlaku bagi blogger…
mbok ya dengerin hati nurani saja… *btw hati nurani kie selalu bener gak tho??* Semoga yang bener emang menjadi bener, dan salah bakal kelihatan salahnya dimana. *Tapi koruptor itu koq gak kelihatan yaa??* Wis lah, di entuti aeeee…
jadi gimana caranya biar ga terjadi “Yang kecil susah besar, dan yang besar menindas yang kecil” ?
setelah ini semua, masih adakah yang akan menyebut “dunia internet” sebagai dunia maya?
it’s a very real world kan ndoro?
@sandal : NAH INI GUE SEPAKAT!
semoga ndak waton muni saja ya ndoro…hohohoho
ngendiko nopo to ndoro??
*boeaja tampan
ngendikan entut….tut….
doh, ada toh pepatah Etiopia
apakah kami termasuk hantu blau?
😀
nyuwun sewu, ndoro kakung…. ranah blog memang kadang-kadang lebih kejam dari ibu kota
ada prahara apa toh ini sebenarnya? kok bumi gonjang ganjing langit kelap kelap… trotoktoktoktoktok….
satu lagi, postingan yg menarik dari ndoro. 😛
jadi sebenarnya apa sih yang sedang dirasakan oleh si ndoro ini?! kok tampaknya postingan belakangan ini bernada sama 🙂
evan kan masih kecil ndoro. mohon bimbingannya, biar gak salah arah.
.. hegemoni yang dicita-citakan … memerlukan biaya … perlu uang, diperlukan “ongkos”, kebaikan, kerendahan hati, juga niat baik.. pada akhirnya ..tidak bisa menindas dengan otoritas, kekuasaan dan juga ideologi yang berisik.
dah, selese ndak selese dikumpulkan..
*blak-blakan ngupi-paste*
top dan thx ndoro. saya belajar tentang poin op piu. 🙂
Sungguh sebuah deskripsi yang memuaskan..
saya percaya ada masanya sang “Yudhistira” akhirnya datang juga..
Cuman Aksinya sekarang lewat Blog gt aja..
hehehe..
Yudhistira, Ngeblog uey..
Yang besar membimbing yang kecil. Setuju banget ndoro…
Mohon bimbingannya, Ndorooo….
Yudhistira itu kan penulis to ya????
*garukgaruk*
[…] Wow. Who dares to say internet is not the real world now? […]
alas gung liwangliwung…
sudah lama ndak denger kata itu 🙂
asal copas saja dihakim, punya ide sendiri juga dihujat. jadi bagaimana sebaiknya nge-blog yang baik itu?