Dewa Pecas Ndahe

November 14, 2007 § 33 Komentar

Mengapa setiap perjumpaan dengan kawan-kawan sesama blogger selalu membuat kita gembira? Buat saya, kopdar itu pertama-tama adalah sebuah kehangatan lain yang tak saya temukan di ranah maya.


[dasar blogger, kopdar pun sambil ngeblog]

Dengan bertemu langsung, fish to fish (kata Tukul Arwana), saya bisa beroleh banyak hal yang serba baru: ya gagasan, pemikiran, gosip, visi, gojekan kere, dan sebagainya.

Begitulah, pada Senin malam dan Selasa malam kemarin saya bertemu dengan para pendekar di dunia kangouw blogosphere. Senin malam, saya menemui dewa-dewi itu: Pakde Totot, Paman Tyo, dan Atta di Plasa Semanggi Jakarta, berlanjut di selasar Apartemen Aston.

Pertemuan dimulai pukul 19.00 sampai 02.00 dini hari. Halah.

Kami ngobrol tentang banyak hal, dari yang remeh-temeh hingga membingungkan. Pakde Totot itu orang periklanan dengan segudang kegelisahan, tapi juga visi yang dahsyat. Ia bicara tentang industri yang digelutinya, lengkap dengan centang-perentangnya, juga proyek-proyek yang tengah digarapnya.

Di sela obrolan ringan dengan menu sop iga itu, Pakde Totot mengeluarkan pernyataan yang menggetarkan. Ia bilang:

Keterampilan tanpa estetika itu sirkus. Estetika tanpa keterampilan itu kotbah.

Sampean jangan tanya maksudnya karena saya pun ndak ngerti. Bertanyalah pada Pakde yang ilmu ginkang dan iweekangnya tiada tanding dan bandingan itu.

Termasuk kenapa ia bisa terharu ketika bercerita tentang Si Enengnya yang sedang belajar mandiri itu. Karena, di depan anak-anak, kata Pakde, orang tua memang sering terpaksa menelan ludahnya sendiri. Nggak tegaan gitu …

Lah iya Pakde. Kalau menelan ludah orang lain itu namanya “french kissing” bukan?

Adapun dewa berikutnya adalah — siapa lagi kalau bukan — Paman Tyo yang sekarang mendapat julukan baru: Raja Minyak van Pondokgede. Dialah alasan kenapa kami bertemu malam itu.

Pakde Totot mengajak saya bertemu Bukek Siansu, dewa persilatan dengan ilmu di atas orang biasa itu, untuk bertanya apa rahasia Paman bisa hidup dalam kenikmatan yang tak pernah terbayangkan oleh para buruh seperti kami.

Paman itu bisa sarapan gudeg di Pasar Cikini, siangnya nonton pameran lukisan atau berburu foto untuk blognya, dan malamnya keluyuran di kawasan Kota hanya untuk membuang duit recehan.

Adakah itu karena duitnya memang bermeter-meter? Adakah dia memang raja minyak baru?

Saya kira hanya dia yang tahu jawabannya. Mungkin dia memang sengaja menyimpan rahasia hidup enak kepenak yang dilakoninya hari-hari ini agar kita ndak bisa mencuri kiat suksesnya. Mungkin juga karena alasan lain. Saya ndak tahu. Saya hanya bisa menjura dalam-dalam kepadanya.

Attalah dewi penyejuk yang menyegarkan udara malam di antara dua bintang itu. Perempuan dengan kepekaan dan keunikan tulisan di blognya itu menemani saya ndomblong mendengarkan ajaran-ajaran para suhu itu. Kami bukan apa-apa di depan para dewa itu — cuma kere unyik yang mencoba bertahan di dunia yang keras ini.

Makanya, kita mesti sering-sering berguru ke mereka, Ta … 😀

Well, dini hari itu akhirnya saya pulang [tentu saja ke rumah saya sendiri] dengan kepala dan hati penuh. Saya merasa sangat beruntung masih menemukan oase-oase di tengah Jakarta yang kian kering kerontang …

[NB: Nantikan cerita selanjutnya tentang kopdar dengan “the hottest blogger of the week” — Sarah!]

§ 33 Responses to Dewa Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Dewa Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: