Sarah Pecas Ndahe

November 14, 2007 § 78 Komentar

Perempuan bermata indah itu tiba-tiba ada di depan saya. Saya terpana karena seperti melihat ada manik-manik bening yang selalu berpendar di sana. Mmm … seperti taburan bintang di langit kelam. Haiyah.

Senyumnya mengembang lebar ketika tangan kami berjabat.

“Sarah,” begitu dia menyebutkan namanya dengan lembut, selembut telapak tangannya.

Ya, dia Sarah Astriani yang itu: anak bungsu dari tiga bersaudara, lahir 7 September 1988, pernah sekolah di SMA Bopkri II, depan Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta.

[Heh, itu kan sekolah saya dulu? Jadi, kamu terhitung satu almamater, adik sekolah jauh? Halah.]

Kami bertemu di Amadeus Cafe, Setiabudi Building, Jakarta, atas jasa baik Iman Brotoseno. “Sarah pengen ketemu temen-temen blogger,” kata Iman via SMS.

Jadilah kami, Iman, Sarah, Saya, Sir Mbilung, Ipul, dan Iqbal reriungan di bawah keremangan lampu kedai yang hangat.

Dan, begundal Mas Bagoes itu cuma bisa misuh-misuh [sambil ngedug sumur] melalui YM … πŸ™‚

Tentu saja, Sarah jadi seperti kelinci di tengah kepungan serigala durjana. Duduknya kikuk dan terlihat gelisah. Halah. Padahal kami cuma blogger sontol kenyut dan bukan Burisrawa pemakan bayi.

Untunglah, kebekuan es lekas mencair. Dewi Supraba dari Matraman itu lama-lama merasa nyaman berada di tengah buto-buto cakil tanpa taring ini. Pelan-pelan dia membuka diri dan memamerkan senyumnya yang menggetarkan itu. Ehm …

Sarah lalu bercerita tentang ketakutan dan kegundahan hatinya gara-gara insiden “kopipas” itu hingga akhirnya terpaksa menutup blog Buanadara di blogspot miliknya. “Aku ngeri baca komentar-komentar itu, Ndoro,” katanya sambil mengedikkan pundak.

Kami, blogger-blogger tengil dan sok tahu ini, ngakak begitu mendengar kepolosannya. Buat kami, komentar-komentar sak penake dewe itu bukan sesuatu yang harus membuat Sarah harus menutup blog.

Saya setuju dia perlu belajar mengenal kehidupan di ranah yang nyaris tanpa batas ini. Tapi, sebetulnya dia juga harus lebih tegar dan dewasa menghadapi tantangan. Sebab, bukankah dengan semakin sering mendapat “tepukan ringan di pundak”, seseorang akan jadi lebih kuat?

Entahlah. Yang jelas, Sarah lalu berterus terang tentang ketidakmengertiannya bermain di kolam bernama blogosphere ini. “Saya titip pesan ya Mas, saya minta maaf pada teman-teman di luar sana yang merasa nggak nyaman karena posting saya dulu.”

“Tentu,” jawab saya.

Saya merasa kebesaran dan kerendahan hati Sarah perlu dihargai. Ia sadar dirinya bukan perempuan yang sempurna, yang bisa alpa dan berbuat salah. Ia sudah memulai. Kita wajib menghargai. Sebab, begitulah adab kita bergaul dengan orang lain.

Apalagi, saya mendengar Sarah sudah menelepon Dewi Pencumbu Hujan langsung untuk rekonsiliasi. Dan, Dewi — lewat SMS ke saya — mengatakan, “Sudahlah Ndoro, layar sudah ditutup. Case closed.”

Saya lega mendengarnya. Pada akhirnya everybody happy [Pachinko, Harry Dagoe?]. Sekarang tinggal kita menunggu kapan Sarah akan membuat blog lagi. Kita tunggu tulisan-tulisannya lagi, tentang apa saja. Bahkan kalaupun dia cuma sempat menuliskan titik dan koma pun tak mengapa.

Ndak usah takut nge-blog. Rileks saja. Nge-bloglah suka-suka, sesempatnya. Bahkan ketika Sarah ndak punya apa-apa, layar kosong itu bisa menjadi pertanda bahwa dia barangkali cuma sedang kehabisan ide menulis atau mungkin juga karena dia sedang kesepian dan butuh teman saja.

Jadi kami menunggumu, Nduk …

§ 78 Responses to Sarah Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Sarah Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: