Megatruh Pecas Ndahe

November 28, 2007 § 30 Komentar

Sebuah kisah jatuh dari dahan ke sungai yang keruh. Ia hanyut ke sana-sini. Bunyinya seperti megatruh, dari jenis yang paling ngelangut.

Seorang lelaki memungutnya, lalu membacanya pelan-pelan. Dahinya mengernyit tanda berpikir keras. Mungkin juga dia tengah berusaha meresapi karena tak sepenuhnya ia mengerti.

Kisah itu dimulai dengan sebutir embun yang merambas dari kelopak mata seorang perempuan. Bulir-bulir bercahaya itu melintasi beranda kwarsa biru abu-abu dan ruangan berwarna jingga menuju ke balairung panjang tempat orang berpesta.

Ia pun melihat di atas ranjang kelabu terbaring seseorang dengan rambut bermahkota mawar, dengan bibir yang jadi merah karena anggur.

Ia mendekat, menyentuh pundak lelaki yang terbaring itu.

“Kenapa kau hidup seperti ini?” ia bertanya perlahan sambil menggigit ujung bibir.

Lelaki itu tersenyum getir. Sekilas saja. Matanya setengah terpejam.

“Aku lelah, teramat lelah,” jawab si lelaki lirih. “Aku telah mengarungi lima benua, tujuh samudera. Tapi, apa yang kudapat?”

“Apa? Apakah gerangan, Tuan?”

“Aku hanya melihat dirimu. Ketika kuberpaling, lagi-lagi kulihat dirimu. Siapakah engkau?”

Perempuan itu mendadak bisu. Bibirnya kelu. Mulutnya seperti digerendel seribu gembok. Wajahnya muram.

Masih terngiang di kepalanya, bertahun yang silam, lelaki itulah yang memberinya seuntai gelang kaki dengan giring-giring yang berbunyi nyaring.

“Supaya aku tahu kau tak pernah jauh dariku,” kata si lelaki ketika si perempuan bertanya mengapa ia memberinya gelang giring-giring.

Sebuah ikatan. Kepasrahan. Mungkin juga keputusasaan.

Dan, kini lelaki itu sama sekali tak bisa mengingatnya meski giring-giring itu tetap berbunyi nyaring setiap kali kakinya bergerak.

“Ingatlah Tuan, ingatlah. Ayo, kau orang yang gayal. Kau pasti bisa mengenangnya.”

Lelaki itu diam. Tubuhnya menggogol. Parasnya lesi. Ingatannya terbang entah ke mana, sepotong demi sepotong.

Kesedihan, kesepian, kekosongan, telah menggerogoti tubuhnya yang kian renta dan letai. Ke manakah perginya gelora? Ke manakah lenyapnya imaji?

Padahal lelaki itu pulalah yang menggandeng sang perempuan di atas madukara. Membawanya meniti janji-janji menuju moksa.

Adakah gelap telah menyelimuti raga? Adakah sesat membungkus rasa?

Pertanyaan perempuan itu bergema dari ujung sebuah ngarai tanpa dasar, memantul-mantul, hingga lenyap ke angkasa.

>> Untuk perempuan yang tetap bersinar seperti kejora dalam kesendirian. So this is the morning surprise for you.

§ 30 Responses to Megatruh Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Megatruh Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: