Gairah Pecas Ndahe

Desember 17, 2007 § 32 Komentar

Dua kelir raksasa baru ditutup dan berlalu, Konferensi Perubahan Iklim di Bali dan Pesta Olahraga SEA Games 2007 di Thailand. Dan, layar gairah baru kembali dibuka Senin ini.

Apa yang bisa kita ceritakan tentang yang sudah lewat? Apa yang kita peroleh? Remah-remah? Kedongkolan? Kegembiraan? Kepahitan?

Paklik Isnogud cuma manggut-manggut ketika saya bertanya. Di mejanya terserak koran-koran dan majalah. Hm, rupanya ia baru saja melalap kabar dari mana-mana. Secangkir kopi tampak masih mengepul.

Ia lalu tersenyum, dan sebentar kemudian melinting tembakau dan kertas Marsbrand. “Tentang reriungan di Bali itu, Mas,” kata Paklik membuka percakapan, “membuat saya teringat pada juragan sampean, Mas Goen.”

“Mas Goen? Kenapa dia? Dia menulis apa, Paklik? tanya saya agak heran.

Ia baru saja membuat ulasan yang bagus — seperti biasanya — tentang bumi, lingkungan yang kian rudin, kerakusan manusia, juga kecemasan.”

“Bagus ndak, Paklik?”

“Ya bagus, Mas. Idola sampean je. Ia berbicara tentang ironisnya acara tentang pemanasan global di tengah gemerlapnya panggung yang disiram cahaya lampu ribuan watt. Ia bertutur tentang bumi yang kian sengsara akibat kian rakusnya para penghuninya.

Mas Goen tak lupa mengutip Gandhi yang pernah mengatakan, ‘Yang disediakan bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap orang, tapi tidak untuk memenuhi keserakahan tiap orang.’

Lalu Mas Goen menulis,

Kebutuhan itu sangat berbeda dari hasrat. Tapi, kian lama garis itu kian kabur.

Dan, manusia selalu melahirkan kebutuhan baru yang sebenarnya bukan kebutuhan, melainkan hasrat untuk tak ketinggalan.

Rasa iri adalah daya yang dahsyat. Ialah kekuatan rahasia yang membangun pola konsumsi dari mal ke mal, menggerakkan produksi dan melebarkan distribusi.

Iri, dan bersama itu rakus. Konon, iri dan rakus terbit dari rasa cemas.

Rasa cemas menyebabkan seseorang merasa tak hanya butuh satu mobil, tapi 10 mobil Porsche dan Jaguar, atau merasa perlu membeli dan membeli lagi rumah dan tanah, di samping menyimpan uangnya bermiliar-miliar dalam bank untuk mendapatkan hasil lebih banyak.

Orang-orang macam itu rasanya tak tergerak oleh rasa iri (mereka sudah ada di puncak) atau oleh rasa cemas akan kelangkaan (mereka sudah berlebih) kecuali kalau mereka sedikit sakit jiwa dan ingin membeli juga masa depan.

Celakanya, yang serakah tak pernah merasa diri serakah dan bersalah. Masa depan yang ia sangka dapat dibelinya adalah masa yang rongsokan: hutan habis, ikan punah, udara beracun.

Masa depan memang perlu dikuasai. Masalahnya, bukankah rasa cemas di balik keinginan menguasai itu โ€” yang membuat orang menimbun mobil, rumah, uang โ€” justru membuat rasa cemas baru, karena planet ini dengan demikian akan tak habis-habisnya dikuras sampai kering dan kelangkaan akan berkecamuk?

Terus terang saya ndak mampu menjawab pertanyaan retorik juragan sampean itu, Mas. Sebab itulah saya juga ndak melihat ada yang bisa kita peroleh dengan segera dari acara di Bali itu.

Saya juga ndak tahu mesti bersyukur atau masygul pada kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dalam perhelatan lingkungan akbar itu.

Jalan masih panjang. Kerakusan tak lekas pergi. Kita mungkin akan tetap menyaksikan wajah bumi yang sama — mungkin lebih renta lagi — sepuluh atau seratus tahun ke depan selama manusia tak mengekang kerakusan.

Juragan sampean itu memang elok tenan, Mas. Kata-katanya selalu bernas, membuat kita menunduk dalam dan merenung … ” ujar Paklik mengakhiri ceritanya.

“Usia, Paklik. Usia. Umurlah yang membuat dia begitu. Tapi, sampean ndak kalah ampuhnya kok,” jawab saya.

“Karena itu, ayo sekarang ceritakan soal SEA Games. Saya ingin tahu komentar sampean tentang pesta sukan yang baru saja kelar itu, Paklik.”

“Halah, gundulmu, Mas. Sampean kok membandingkan saya dan Mas Goen. Jelas ndak ada apa-apanya, Mas. Saya pelanduk, dia gajah.

Tapi, ngomong-omong soal pesta sukan, eh … sukan ya? Halah, sampean kok ketularan bahasa Malaysia? Bukannya sampean sering sinis pada mereka, Mas?”

“Lah jelas tidak, Paklik. Saya ini mana pernah sinis … ”

“Halah nggaya!”

Kami terkikik bersama.

“Baiklah, soal sukan ya. Terus terang saya ndak bisa berkomentar banyak soal ini. Sudah lama rasanya kebanggaan dan simpati saya pada tim negara kita ini sudah lama pergi.

Seperti yang sampean tahu, seorang juara tidak lahir tiba-tiba. Ia harus melewati palagan, kawah yang menggelegak, sebelum mentas menjadi seorang yang ototnya kawat, tulangnya besi, seperti Gatotkaca, seperti gambaran para dalang.

Seorang atlet harus berjalan jauh, sebelum ia tiba di ambang itu. Berbulan-bulan ia menggedor dirinya sendiri.

Tubuh memang tak bisa dibiarkan terkulai seperti baju lusuh. Tubuh seorang atlet adalah ibarat busur yang direntang sebelum sebuah performance ditembakkan. Tubuh juga misteri. Banyak hal bisa terjadi pada saat yang menentukan tiba.

Latihan berbulan-bulan pada dasarnya adalah untuk mengatur pelbagai hal yang mungkin itu ke dalam suatu tertib. Dan pertandingan, seperti yang terjadi dalam SEA Games, adalah ujian terpuncak untuk mengalahkan misteri itu.

Seorang atlet dengan demikian, jauh di dasar dirinya, adalah seorang yang sendirian. Ia berlari sendirian mengelilingi beberapa kali jalur utama stadion nasional. Ia berenang sendirian di kolam. Ia memukul sansak sendirian di gym. Semua proses itu mesti dilewati sebelum seseorang tiba di palagan sesungguhnya — dan menaklukkan misteri itu.

Saya ndak tahu, apakah atlet kita juga seperti itu — seseorang yang sudah berjalan jauh sebelum sampai di arena? Mungkin ya, mungkin tidak. Yang jelas, kita tersungkur di Thailand, Mas. Mau bilang apa?”

Pagi ini udara di pabrik tiba-tiba terasa semakin lembab. Langit di atas mendung. Daun-daun berderai sampai jauh. Kami bedua termenung dalam murung.

§ 32 Responses to Gairah Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Gairah Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: