Popularitas Pecas Ndahe
Februari 23, 2008 § 25 Komentar
Jangan mencari popularitas. Begitu kebajikan yang pernah Paklik Isnogud ajarkan kepada saya, pada suatu masa, dulu.
Paklik lalu bercerita tentang seorang pejabat yang jadi pemimpin daerah di satu titik terpencil Republik.
Sang pejabat itu juga pernah mendengar ajakan untuk tak mencari popularitas. Ia lalu menuliskan dalam lubuk hatinya semboyan “jangan-mencari-popularitas” itu.
Ia bekerja tanpa pamrih. Dia selalu bilang kepada para wartawan lokal yang kadang-kadang mendatanginya, “Saya tidak suka publikasi, dik” — maksudnya, tentulah, tidak suka publisitas.
Dan ia mencurigai dirinya sendiri bila ia sudah mulai ngomong dengan wartawan, sebagaimana ia juga mencurigai koleganya bila mereka sudah mulai sering dimuat di koran.
Barangkali ia memang takut jangan-jangan atasannya menilai dia teramat banyak bicara, dan dengan begitu menjadikan ia lebih menonjol ketimbang sang atasan.
Maka ia cuma berbicara seperlunya. Dan karena popularitas bukan tumbuh lantaran di koran saja, tapi juga lewat pergaulan luas dengan masyarakat, pejabat itu juga membatasi diri ke situ.
Ia berhati-hati bersikap dalam kesempatan bertemu dengan orang banyak. Ia tidak mau nampak terlalu hangat, teramat mendekat, bergurau, berbantah ataupun menunjukkan rasa intim yang lain.
Ia bisa pura-pura tidak begitu kenal dengan orang yang sebenarnya sudah dikenalnya. Dalam upacara, juga dalam pidato, ia menunjukkan tidak ingin dikasih tepuk-tangan dan sambutan meriah.
Ia selalu berkata teguh: “Saya tidak ingin cari popularitas”.
Tapi pada suatu hari, tanda-tanda krisis mulai terasa di bawah kursinya. Urusan yang harus dilakukan demikian banyak, tapi ia tahu bahwa orang-orang yang menjadi anak-buahnya terbatas jumlah, gaji dan pengalamannya.
Ia sebenarnya membutuhkan elemen lain dalam melaksanakan tugas jabatannya: elemen dari luar birokrasinya. Ia membutuhkan “partisipasi masyarakat”.
Ia tahu bahwa apa yang didengarnya dari atasannya itu benar: pentingnya masyarakat melu handarbeni, “ikut memiliki”. Tapi ia kini merasa seperti dalam langkah yang mati.
Ia menjadi susah tidur — terutama juga karena takut kalau dicopot. Proyek-proyek memang mulai berantakan. Ia berpikir bahwa ia bisa saja mengadakan mobilisasi penduduk, dengan sedikit paksaan di sana-sini, untuk mensukseskan program pembangunannya.
Tapi untuk itu pun ia tak begitu berani. Jangan-jangan ia bakal dituduh menjadi “oknum”. Ia tahu bahwa atasannya pasti tidak suka jika ada kerusuhan, protes atau malah korban di daerahnya. Atasannya tidak mau ada ribut-ribut.
Ia jadi berkeringat, resah. Sebagai apa dia ini sekarang? Birokrat? Atau pemimpin?
Kepada siapa ia harus menyandarkan dirinya? Kepada atasan?
Ah, atasan tidak selalu tahu keadaannya yang sebenarnya. Ia tak pernah berhubungan dalam garis “solidaritas” dengan dia.
Ia cuma takut. Dan untuk bersandar kepada masyarakat, dia mungkin tidak pernah dikenal. Atau lebih tepat: dia cemas tidak akan dipercaya. Ia tidak pernah bersentuhan dengan mereka, lewat hati.
“Karena itu Mas, dalam pergaulan, sebaiknya sampean menggunakan hati. Pakailah nurani. Jangan asal ceplas-ceplos ndak keruan. Ingat-ingat itu, Mas,” kata Paklik sambil mengelus-elus pundak saya.
Saya mengangguk dan menjura, “Sendiko dhawuh, Paklik.”
Wuah, mencerahkeun!
Ah, rasanya bga perlu menenamkan “ga ingin cari popularitas” segala. Yang penting jalani apa yang ada dengan nurani…
Memang demikian katanya, pemimpin harus memimpin dengan hati dan nurani.
Saya percaya nurani saya, tapi saya tidak percaya nurani orang lain. Nah gimana itu? š
āSendiko dhawuh, Ndoro.ā
saya percaya Nuraini
*garing
popularitas itu bukan tujuan akhir seseorang bahagia.ada saat nya menjadikan pribadi manusia lebih tinggi dari yang lain kemudian terbersit rasa sombong akan jati diri nya. Pemikiran si Pak lik terkesan kalem, dan memiliki hasrat memiliki kepada rakyat.:D
salam perjuangan,
cempluk
makanya itu saya ga mau ada di top position …
mending jadi jelata,..cukup makan minum,, aman sejahtera hati dan fisik..
Thiiinx :: golek tentrem ing manah ndoro…
untung saya bukan pejabat….ga kena sindiran wartawan senior ini…kikikikik…………
Pemimpin kita banyak kok yang menggunakan hati..lhaa ituu..banyak yang sakit hati klo dikritik..heehee
kalo saya sih biarkan semuanya mengalir asal jangan dibuat-buat. kalo popularitas meningkat juga gak papa asal kita siap tekanan2 yang pastinya datang.
maaf kalo ada salah kata.
tengkyu perimas
hidup akar rumput…!!
bagus . . . . tulisanmu mulai bagus lagi . .
ndak seperti pas nulis mbilung pecas ndahe . . .
walaupun pas nampang di MM UGM terkesan kental
cari . . . . . eh apa judulnya tulisan ini.. š
Parmin : “Kang…maksud’te “NURANI” iku apa tetangga desa kita itu yo…yang habis kawinan itu lho…”
Kang Parto : “Halah…ngawur kowe iki…itu Si “NUR’AINI”…kalo “NURANI” itu calon istri ke duaku…kekekeh….”
Parmin : “Halah…Kang Parto ini…malah mau Poligami…”
bentol eh betul ding. jadi pemimpin ato publik figur musti menjaga sikap! jangan asal ngomong cuman untuk crai sensari atawa pupolaritas!
waw, ayat baru isnogud segera diwikikan!
@ antobilang
wikimania yah ha ha ha. btw dah register seruit.com? katanya orang lampung juga?
Hmm..>Popularitas, apabila diartikan positif, hubungannya dengan eksistensi.
Tanpa popularitas, ada kemungkinan kita ini tidak pernah ada di dunia.
Jadi, sedikit atau banyak, popularitas itu perlu. Nggak bisa disalahkan juga. Menyoal itu, kayaknya kita tinggal pilih – pilih mana yang baik. š
“Bedil ndak bunuh orang. Chuck Norris nyang bunuh orang.” š
nurani itu yang ini …ato yang itu ya…
kadang juga susah nentukan….!
saya juga ikut menjura. paklik isnogud itu kayaknya kok ndemenakake ya. sebuah alterego yang bagus, sayang (tentu saja) imajiner. coba kalo “keponakannya” bisa kayak dia. tapi tak apalah, cita-cita kan tak salah. š salam kenal untuk beliau.
Ndak iyo tho? wong nulis blog iku aja, yo mau nyari “partisipasi komen:” alias popularitas kok.
Ndak iyo tho paklik? wong jare pakde itu, nulis blog iku aja, yo mau nyari “partisipasi komen:” alias popularitas kok.
ooww…jadi begini caranya jadi populer? dg cara pura2 ga mau populer? :p
True story ndoro?
la nek pun kadung populer pripun ndoro? koyoto mas anto ingkang populer mboten sengojo niku?
popular? eksis? saya lebih suka kata “loyal”