Ekstrem Pecas Ndahe
April 2, 2008 § 24 Komentar
Selarik kalimat tiba-tiba nyelonong masuk ke kotak Yahoo! Messenger. Dari id-nya, saya tahu siapa pengirimnya: seorang kawan lama.
“Aha, finally, I know who you are. You guys never take side, yes?”
Saya tersenyum membaca teks itu dan kenapa dia mengirimkannya. Dia memang pembaca setia blog saya ini. Ia mengikuti dengan seksama setiap kata, kalimat, bahkan hingga titik koma dari setiap posting yang ada di blog ini, sejak awal saya mulai ngeblog hingga sekarang.
Tak heran bila dia mengenal saya, terutama sikap dan pandangan saya tentang banyak hal. Kalimat itu merupakan semacam kesimpulan dia tentang semua posting saya yang membahas pelbagai macam isu.
Dan di hari-hari ini, ketika ranah blog berderak-derak oleh pelbagai macam isu, dia merasa sikap dan pandangan saya makin menegaskan sosok saya. Sikap dan pandangan yang sama juga dia temukan pada sosok beberapa blogger lain, seperti Sir Mbilung dan Paman Tyo.
Saya cuma tersenyum dan tak segera bereaksi pada kalimat yang ditulisnya itu, sampai kemudian dia bertanya dari mana dan bagaimana kami bisa mempunyai semacam kesamaan sikap.
Terus terang saya ndak tahu. Mungkin karena pengalaman, status sosial, asal, dan budaya kami serupa. Barangkali oleh sebab lain. Saya ndak tahu. Saya bahkan baru menyadarinya setelah dia mengirim pesan di Yahoo! Messenger itu.
Saya cuma ingat, Paklik Isnogud pernah berkata, “Orang yang ekstrim biasanya menarik. Tapi orang moderat biasanya yang mendekati kebenaran.”
Paklik mengucapkan kalimatnya itu dengan nada datar, lalu diam. Kami, murid-muridnya di pabrik, menyeringai. Lelaki di depan kami memang tidak memikat. Tidak berapi-api. Hanya sedikit menenteramkan. Terutama kalau seraya menerangkan sesuatu ia menyelingi suasana dengan petilan lagu dari film.
Tapi cuma itu. Selebihnya Paklik sering dilupakan. Kenapa? Karena, meski dia suka humor, sikap dan pandangannya tak pernah meledak-ledak. Ia bukan jenis orang yang menggugat, menghardik dengan keras. Jarang sekali kami melihatnya meluapkan amarah.
Saya pernah bertanya kepadanya mengenai sikapnya yang tenang itu, setenang air telaga Sarangan. Saya bahkan meledeknya sebagai sosok yang abu-abu, hambar. Tapi, apa reaksinya?
“Memang ada citra yang hambar tentang orang-orang yang yakin kepada benarnya ucapan bahwa sebaik-baiknya perkara ialah yang tengah-tengah,” jawab Paklik Isnogud.
“Maksud, Paklik?”
“Ya, hambar, Mas. Orang-orang tanpa warna. Tidak tegas. Kompromistis. Kurang punya greget buat memihak kepada salah satu kutub yang sedang berkonfrontasi.
Di dalam masa yang membutuhkan hentakan kaki dan gemertak geraham di suatu kurun yang panas dan suram hingga pikiran lalu-lalang seperti petir berlistrik, moderat sering dianggap ‘banci’.
Dan, ‘banci’ adalah sesuatu yang menjijikkan, terutama bagi mereka yang menyenangi kejantanan. Moderation dianggap sebagai kelambanan khas intelektuil, yang selalu cukup untuk dihina oleh mereka yang menyukai aksi.
Masa seperti itu pernah ada beberapa ribu hari yang lalu. Di sekitar gerakan protes kalangan pemuda Amerika, kata ‘radikal’ menjadi suatu cap yang gagah.
Berkat publisitas yang luas, karena hegemoni media massa Amerika, hampir seluruh cendekiawan muda dunia mengenal pamor kata itu. Juga daya tarik dari semangat Kiri Baru.
Kalau tak percaya datanglah ke pelbagai seminar. Biasanya, dalam semangat ini, Amerika Serikat sedemikian dikutuk sebagai ‘Setan Dunia,’ hingga apa saja yang dekat dengan Amerika dicap sebagai “pion”, atau “komprador”, dan hingga apa saja yang memusuhi Amerika (misalnya Hanoi atau Khmer Merah) dianggap sebagai pahlawan. Ketidak-sukaan kepada Amerika itu juga menyangkut sampai ke masalah gaya hidup yang memang tidak selalu sehat.
Lalu beberapa orang menganggap justru sekarang saat kembalinya moderation dalam sikap berpikir. Pada saat kita menelaah kembali posisi, penilaian dan tinjauan kita tentang hal-ihwal di dunia sekitar kita, pada saat itu kita mau tidak mau surut sebentar dari pendirian yang tegas, jelas, tidak di tengah-tengah.
Saya rasa itu bukanlah sikap yang hampa. Sebab jika ada yang dipilih di situ, maka itu ialah pilihan yang dasar keberanian untuk berpikir bebas. Bukan sekadar berani menghadapi pikiran-pikiran lawan yang kita anggap bebal, jika kita mau. Tapi berani menghadapi kesimpulan kawan sepaham dan diri kita sendiri, yang biasanya kita anggap pintar.
Begitulah Mas, penjelasan saya tentang sikap dan pandangan saya yang sampean anggap abu-abu, banci, itu. Sampean boleh ndak setuju. Tapi itu urusan sampean, bukan urusan saya. Saya cukup nyaman dengan pilihan saya,” kata Paklik sambil menutup buku yang dari tadi dipegangnya.
Saya hanya bisa diam dan memandang Paklik dengan semakin takjub. Di luar, mendung meneduhkan pohon-pohon. Siang tak lagi terasa panas …
HEhehhe….Om Roy mang kontroversial???
Brarti perkataan Paklik Isnogud benarkah??
baiklah kalau begitu, aku akan memilih menjadi moderat yang ekstrem saja ndoro.
hehehe..biasanya memang tergantung usia juga sih..semakin menua, ya semakin moderat…
aih, antiklimaks-nya pakai mendung lagi 😀
Extremely moderate apa masih bisa masuk kategori yah ?
Ndoro seorang jurnalis dan jurnalis tidak sebaiknya memihak, No?
kalo di jalanan, berada di tengah itu bahaya lho, ndoro
lebih mudah tertabrak dibanding berada di sisi kanan ato kiri
karena dianggap menghalangi laju
tergantung usia? heheheheheh
😀
“dia bertanya dari mana dan bagaimana kami bisa mempunyai semacam kesamaan sikap”
kirain akan dijawab: karena kami kembar tiga beda bentuk :d
..Kiri Baru..?
ah, baru kali ini saya dengar istilah ini, Mas..
PKB: Partai Kiri Baru…
PKS: Partai Kiri Sekali
Golkar: Golongan Karno…
abu-abu, ya? berarti masih SMA tuh. kalo biru masih SMP. kalo pake jins dan kaos oblong kemungkinan sih masih kuliah atau lagi lontang lantung cari gawean. hihihi… gak nyambung ya…
saya memilih tidak memihak…
saya jadi pembaca setia aja dah 😀
aku suka dengan pelangi
moderatkah aku ?
Paklik Isnogud itu siapanya Paklik Isnobes?
aku akan memihak pihak yang tidak memihak siapapun
Wah kalimat pertama postingan ini sama-sama menggunakan bahan dari Yahoo Messenger, padahal enggak janjian. Apa karena sama-sama moderat? (halah sok tahu dan sorry mas kalau gak nyambung).
Memang memilih hitam atau putih kadang-kadang sulit untuk dilakukan. Nanging, bagaimanapun juga, setelah memilih salah satu dari kedua ekstrim itu, rasanya akan lebih melegakan daripada memilih mencampurnya menjadi warna nggak jelas.
tidak memihak kan juga sebuah sikap ?
komen e pitik bener2 tajam 😆
kupikir cuma kompas yang punya jurnalisme kepiting
ternyata ndoro juga
hehehe
piss ndoro, ya? 😀
lagi-lagi faktor “U” bermain
ehem… setuju sama komen mas hedi di atas..
😛
saya tidak akan berpihak tapi saya hanya mengamati dari jauh? bolehkah sikap sperti iTu?