Kesengkarutan Pecas Ndahe

April 3, 2008 § 16 Komentar

Whereof one cannot speak, thereof one must be silent – Ludwig Wittgenstein.

Di setiap masa nampaknya selalu ada saat yang tak mudah untuk berbicara, tapi juga tak gampang untuk diam. Kita tak tahu pasti bagaimana persisnya kata-kata akan diberi harga, dan apakah sebuah isyarat akan sampai.

Di luar pintu, pada saat seperti ini, hanya ada mendung, atau hujan, atau kebisuan, mungkin ketidak-acuhan. Semuanya teka-teki.

Perlukah kita mencerca dia? Haruskah kita melempang-lempangkan garis kata-kata yang dibuatnya secara bengkok?

Mungkin tidak. Karena toh setidaknya kita masih membutuhkan pembicaraan dengan diri sendiri. Kita tidak hanya bertindak. Setiap tindakan memerlukan penghalalan.

Pada saat kita minta orang lain untuk diam sekalipun, sebenarnya jauh di dalam hati kita ingin agar orang lain itu kemudian membenarkan tindakan kita. Kapasitas kita untuk mengalahkan ingin kita sertai dengan kapasitas kita untuk meyakinkan.

Memang, itu tak selamanya bisa terjadi. Tapi adalah wajar bila kita, dengan tindakan kita, ingin dinilai “berhasil” dan serentak itu kita ingin dinilai sebagai “orang baik.” Pendeknya, orang lain di luar kita adalah sesuatu yang tak terelakkan, juga sesuatu yang kita butuhkan.

Mungkin itulah sebabnya, ada semacam hukum dalam setiap kekuasaan: betapapun hebatnya kekuasaan itu, ia masih tetap membutuhkan orang lain yang bebas.

Sang raja yang sendirian di planet kecil dalam cerita Le Petit Prince karya Antoine de St. Exupery yang termasyhur itu akhirnya toh meminta seorang manusia lain untuk hadir, sebagai rakyatnya. Ia memang tak bisa bertahta hanya bagi langit yang bungkam.

Begitu juga kehidupan di ranah blog. Ketika wilayah ini dibangun, ia pun tidak dimaksudkan hanya berupa teks, gambar, foto, video, dan alamat-alamat yang bisu.

Tertib, tenteram, aman dan makmur memang suatu cita-cita. Tapi, seperti laiknya sebuah negeri, ranah blog harus selalu siap dengan kenyataan-kenyataan. Bahkan kenyataan-kenyataan yang terkadang sengkarut, nampak semrawut, itu barangkali mengandung hikmah.

Tentu saja kita tidak bisa bertolak dari ilusi bahwa begitu blog Indonesia lahir, kemerdekaan langsung tersedia penuh baginya — seperti oksigen. Toh ranah blog di negeri ini tidak dilahirkan dari pikiran Thomas Jefferson.

Meskipun demikian, di ranah ini kemerdekaan belum dicoret mati. Kita tidak dikutuk secara beramai-ramai bila kita menyatakan bahwa kita butuh kemerdekaan.

Seakan ditopang oleh pengalaman sejarah yang silam dan harapan ke masa depan, kita seperti sepakat meyakini bahwa bila kemerdekaan mampet, banyak hal lain akan ikut macet.

Barangkali karena sebagai blogger yang begitu beragam, kita butuh berbicara satu sama lain. Ada sesuatu yang murni yang menyebabkan kita bersedia menembus lingkaran-lingkaran monolog yang tertutup.

Seperti anak yang berjalan malam, kita takut kepada suara sendiri yang tak berjawab …

§ 16 Responses to Kesengkarutan Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Kesengkarutan Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: