Ghulam Pecas Ndahe

April 19, 2008 § 25 Komentar

Sesuai janji saya kemarin, hari ini posting tentang Ahmadiyah dilanjutkan kembali. Bahan posting ini diambil dari salah satu tumpukan dokumen di pabrik saya.

Moga-moga, dengan semakin banyak bacaan mengenai Ahmadiyah, pengetahuan sampean bakal bertambah. Sampean juga akan lebih memahami sosok kelompok yang hari-hari ini menghadapi situasi yang ternyata tak pernah berubah dari dulu.

Ada kemungkinan, posting ini juga akan berlanjut. Besok, lusa, atau entah kapan. Tergantung situasi, juga kemampuan saya mencari bahan.

Selamat membaca, dan jangan kaget kalau posting ini juga akan sangat panjang.

Cerita ini dimulai dari pinggir sebuah kota. Beberapa orang tengah berkerumun di depan langgar. Tiba-tiba salah satu menuding kepada orang yang kebetulan lewat. “Dia orang Ahmadiyah,” katanya setengah sambil berbisik.

Gambaran seperti itu kurang lebih masih tepat dipakai untuk melukiskan sikap umumnya kaum Muslimin terhadap aliran yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) dari Pakistan itu: Jamaah Ahmadiyah.

Meskipun aliran ini sangat tersohor di Eropa, Amerika, dan Afrika (punya pusat-pusat penyiaran Islam di banyak negara, punya masjid-masjid di London, Birmingham, Hamburg, Frankfurt, Den Haag, Zurich, Kopenhagen, Washington, Chicago, Pittsburg, Daytona), namun boleh dikatakan orang selalu menghadapi mereka dengan sedikit sikap hati-hati.

Pertama, karena orang-orang Ahmadiyah tak jarang digambarkan sebagai terlalu banyak mempelajari dalil dan putar balik pikiran buat berdebat.

Kedua, dan lebih penting, karena beberapa ajaran yang dianggap secara fundamental berbeda dengan jamaah besar kaum muslimin. Karena itulah, dalam menghadapi Ahmadiyah, orang Islam konon akan melakukan sedikit persiapan mental.

Tapi, persiapan mental ternyata tak diperlukan untuk mengikuti pertemuan besar Ahmadiyah aliran Qadian se-Indonesia yang pernah diselenggarakan di Tasikmalaya pada 1971.

Pertemuan itu diberi nama Jalsah Salanah alias “duduk bersama setahun sekali”. Acara ini memang bukan sidang perdebatan atau diskusi.

“Ini adalah pesan Mirza Ghulam Ahmad. Setahun sekali kami mengadakan pertemuan, apa saja yang dibicarakan”, kata Dr Muhjiddin Danukusumah, anggota Pengurus Besar dengan jabatan Sekretaris.

Seorang jurnalis yang selama tiga hari dan empat malam mengikuti semua acara, termasuk salat-salat tahajud massal dini hari, mendapat kesan tentang suasana pertemuan yang santai. Sekitar 750 orang dari 54 cabang, ditambah sembarang orang yang mau ikut hadir, berkumpul, melimpah-limpah di sebuah gedung sekolah.

Duduk seenaknya di atas tikar, dengan laki-laki dan perempuan dipisah pakai tabir hijau seperti biasa disaksikan di pertemuan-pertemuan NU atau Muhammadijah, mereka mendengarkan sejumlah ceramah yang dilontarkan dengan bermacam gaya.

Ceramah-ceramah inilah hanya yang penting dari Jalsah Salanah ke-2 pada 1971; lebih lagi karena- seperti ditunjukkan oleh judul-judul semacam Chilafat dalam Islam, Jasa-jasa Imam Mahdi, Wafat Isa Almasih atau Tertib Baru — pertemuan itu merupakan penonjolan dan penekanan kembali materi-materi ajaran khas Ahmadiyah, dan dalam hal ini Ahmadiyah Qadian, yang menimbulkan kontroversi di kalangan golongan-golongan mayoritas seagama.

Dan kontroversi mula-mula lahir dari soal kenabian. Apa hang dianggap aneh tentang Ahmadiyah ialah, aliran ini menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, padahal Islam berdiri di atas landasan keyakinan tentang kehadirannya sebagai agama terakhir, yang dibawa oleh Muhammad sebagai Nabi terakhir.

Tapi hakekatnya, memang bukan konsepsi tentang Nabi terakhir itulah yang dipertentangkan, melainkan tafsirnya. Yang dimaksud dengan istilah nabi terakhir menurut Ahmadiyah adalah Nabi dalam pengertian pembawa syari’at.

Ini berarti bahwa kesempatan tetap terbuka bagi dibangkitkannya Nabi-Nabi lain yang kedudukannya hanya penerus Nabi pembawa syari’at jang terdahulu: semacam Isa Almasih sebagai hanya penerus syari’at Musa atau Ghulam Ahmad sebagai hanya penerus syari’at Muhammad.

Bukti kebenaran hal ini adalah ajaran Muhammad sendiri tentang akan bangkitnya kembali Yesus ke dunia — sebagai Nabi yang akan memurnikan syari’at Muhammad pada masa kekacauan. Dan justru nubuat, ramalan kenabian, tentang Isa inilah titik-tolak lahirnja Jemaat Ahmadiyah: manakala Ghulam Ahmad diyakini sebagai Yesus yang dijanjikan itu, di samping kedudukannya sebagai Imam Mahdi, sebagai Krishna dan Budha Avatara alias Maitreya, di luar Timur Tengah.

Tidak seorang pantas menganggap keyakinan itu sebagai hanya sesumbar. Ahmadiyah bukan tidak paham semua agama dengan segala ramalan masing-masing yang bersangkutan dengan kebangkitan sang Mirza.

Jurnal bulanan The Review of Religions misalnya, yang mereka terbitkan di London pada 1901, dan yang mengupas berbagai agama dan aliran-aliran kepercayaan dengan cara yang lazim dianggap menakjubkan para teolog dan orientalis Eropa, dipenuhi dengan kupasan-kupasan yang berangkat dari dunia keimanan masing-masing agama, harapan-harapan mereka masing-masing dan athos mereka masing-masing — dan akhirnja mengalir kepada satu figur: Ghulam Ahmad.

Induk dari jalan pikiran semacam itu, jelas, adalah ajaran kesatuan seluruh agama: bahwa mulanya, sebelum terjadi campur tangan manusia, semuanya berasal dari Wahyu yang satu juga. Dan bahwa Qur’an, misalnya, bukan tidak memberi isyarat tentang adanya Nabi-nabi di luar Timur Tengah.

Tapi sampai pada kesimpulan berikut ini, mayoritas dunia Islam umumnya tidak akan begitu yakin: bahwa Krishna, Budha, Konghubu, Guru Nanak, Spitama Zarathustra, adalah benar Nabi-nabi yang diisyaratkan Qur’an itu, seperti yang dipastikan kaum Ahmadi. Dan bersama dengan penolakan spekulasi-ilmiah di atas, umumnya mereka menolak pula kebolehan diturunkannya wahyu setelah zaman Muhammad, baik wahyu-kenabian ataupun bukan wahyu kenabian.

Dan wahyu kenabian atau bukan kenabian lalu menjadi problem lain yang sangat menentukan. Sebab akan segera nyata bahwa masalah ini merupakan pangkal perpecahan di dalam Ahmadiyah sendiri, yakni menjebalnya sekelompok pengikut Ghulam Ahmad yang menganggap wahyu yang diterima sang guru bukan wahyu kenabian.

Jelasnya ia bukan Nabi. Dan kalau bukan Nabi, apa?

Jawaban akan kembali kepada figur yang dianggap merupakan pokok pangkal, yakni Mirza Basjiruddin Mahmud Ahmad, yang berpangkat Khalifah 11 alias The Second Successor of Promised Messiah. Khalifah yang pada 1914 mengeluarkan ajaran yang menetapkan kenabian Ghulam Ahmad.

Padahal, demikian menurut kaum yang selanjutnya mendirikan Ahmadiyah Lahore, Ghulam Ahmad sendiri berkata, “Saya tidak pernah mengaku menjadi Nabi; pengakuan saya hanyalah sebagai muhacats (orang yang diajak bicara Tuhan), dan pengakuan ini didasarkan atas perintah llahi.”

“Jika ini disebut kenabian dalam arti kiasan atau disebut nabi djuz-i (nabi sebagian), ini bukan berarti pengakuan sebagai Nabi.”

Terhadap pernyataan itu, lawan mereka, yang selanjutnya disebut Ahmadiyah Qadian, menyatakan bahwa dalam evolusi rohaniah pada diri Ghulam Ahmad telah terjadi perubahan, dan evolusi semacam itu, mengingat Kebijaksanaan Allah, bukan barang mustahil terjadi pada Nabi-nabi.

Maka dari itu semua, tulisan Ghulam Ahmad yang menyangkal kenabiannya, yang ditulis sebelum perubahan itu, tak boleh dijadikan bahan untuk menarik kesimpulan tentang status kenabian Sang Masih.

Maka berkatalah Maulana Muhammad Ali MA LLB, pemimpin kaum Lahore, “Teori perubahan kepercayaan itu bikin-bikinan Basjiruddin semata-mata.”

Bersamaan dengan penolakan terhadap Basjiruddin, Lahore menolak pula prinsip khilafat, kekhalifahan. Gerakan mereka dipimpin oleh dewan yang disebut Pedoman Besar dengan seorang Presiden.

Aliran inilah yang sampai sekarang mempunyai majalah di London, The Islamic Review, yang mottonya adalah salah satu ayat Qur’an, “Muhammad is … the Messenger of God and the Last of the Prophets,” serta hadis, “There will be no Prohet after me” — yaitu teks-teks yang tetap saja kontroversial antara mereka: apakah prophet di situ Nabi-dengan-syari’at ataukah Nabi-tanpa-syari’at.

Tetapi dengan prinsip-prinsip semacam itu, kaum Lahore seharusnya bisa diterima bulat di kalangan mayoritas muslimin. Toh kenyataannja tak bulat.

Padahal, setelah memegangi ucapan Ghulam Ahmad tentang dirinya sebagai muhaddats, mereka menetapkan statusnya hanya sebagai musjaddid, pembaru, lengkapnya Pembaru Abad 14 Hijrah — berdasar hadis Nabi bahwa pada tiap abad akan terdapat seorang Pembaru. Dan sebagai pembaru, kedudukannya dinyatakan tak berbeda dengan Al-Ghazali, Ibn Taimiah atau As-Sajuthi.

Namun, mereka, seperti juga kaum Qadian, betapapun populernya, tetap saja merupakan kelompok mini. Maka, jawaban terhadap kenyataan ini lazim disimpulkan begini:

Taruhlah mayoritas muslimin bisa mempercayai bahwa Ghulam Ahmad itu masih yang dijanjikan, meskipun bukan Nabi. Katakanlah mereka cukup berani menggunakan pikiran untuk menafsirkan segala ayat dan hadis mukjizat sedemikian rupa, seperti kaum Ahmadi, sehingga “hilang keimanan kita akan kekuasaan Allah” seperti dibilang para ulama. Tapi apakah semua kepercayaan itu termasuk rukun Iman yang absolut sifatnya?

Mereka, setidak-tidaknja Lahore, menjawab: tidak. Maka sampai di situ tampaklah apa yang dituduhkan orang sebagai motif satu-satunya bagi ajaran Ghulam Ahmad, yaitu: memenuhi kebutuhan kesatuan spirituil umat Islam sedunia; mengembalikan sifat misionaris Islam dalam satu kesatuan Jamaah seperti keadaannya di zaman Nabi.

Apabila itu yang dituju, kalangan ulama lain berkata, untuk itu tak perlu memindahkan pusat spirituil Islam dari Mekkah ke Pakistan — seperti yang sering dituduhkan sebagai semangat yang dimiliki kaum Ahmadi.

Namun, manfaat dari hadirnya kaum Ahmadi setelah usaha mereka merintis dakwah Islam di Barat bukan tak jelas. Betapapun Ahmadiyah merupakan salah satu gertakan kuat untuk mempercepat proses peninjauan kembali penafsiran dan jalan pikiran tentang agama — kalau ini memang benar dibutuhkan.

Tak boleh dibantah bahwa pengaruh mereka besar di kalangan orang-orang Islam yang justru enggan bergabung. Siapa yang membaca buku-buku dan brosur-brosur yang melimpah-limpah terbitan JAPI Surabaya, misalnya, boleh menganggap telah menerima setidak-tidaknya jalan pikiran baru dalam apologi.

Siapa yang mengkaji Tafsir Qur’an Departemen Agama yang populer sebagai “Tafsir IAIN”, boleh melihat di situ bagaimana Maulana Mohamad Ali (Lahore) menerangkan hakekat Islam di antara agama-agama, hakekat Qur’an dan semacam itu.

Untuk batas ini saja, dan belum tentu untuk harapan bahwa “umat Islam akan berduyun-duyun berbai’at kepada Sang Masih alias Ghulam Ahmad”, seperti yang konon diramalkan, Ahmadiyah kiranya sudah boleh mengharapkan perkenan Tuhan.

Begitulah, Ki Sanak. Moga-moga sampean beroleh pencerahan. Selamat berlibur …

§ 25 Responses to Ghulam Pecas Ndahe

  • adipati kademangan berkata:

    Typo : apa bedanya wahyu dengan wahju ?

    seharusnya wahyu, sudah dikoreksi, thanks

  • Titis Sinatrya berkata:

    Thiiinx :: Matur Nuwun Ndoro yg sudah letih membuat postingan yg luar biasa.

  • gagahput3ra berkata:

    Makasih ndoro atas postingan yang sedikit demi sedikit menambah pengetahuan tentang Ahmadiyah, diluar benar atau tidaknya ajaran mereka. Menurut saya, tinggalkanlah sifat negative thinking dan su’udzon, biarlah nanti semuanya dinilai langsung oleh Allah SWT di pengadilannya yang terakhir.

    Kalau emang takut ada yang terjebak masuk Ahmadiyah yang dinilai salah itu, bukankah hidayah itu kehendak Allah?

  • Gage Batubara berkata:

    Jadi Nabi itu cuma gelar yang di berikan oleh pengikutnya toh?

    Bagaimana dengan gelar Bapak Blogger dan Pakar Telematika? Apakah mereka bisa disebut sebagai nabi baru?

  • Ki Bodronoyo berkata:

    Menambah wawasan, dan mempertebal keyakinanku, bahwa apa yang selama ini aku ugemi dan labuhi, adalah benar adanya.
    By the way, setelah diukur, ternyata dua posting ndoro tentang Ahmadiyah, sudah lebih panjang dari seluruh tali kolor celanaku disambung menyambung menjadi satu

  • cah kene berkata:

    memang bener-bener panjang….
    kalo semua orang bisa mengaku nabi, jadi banyak dong nabinya..
    ada nabi ndoro, nabi kakung, nabi….

  • daustralala berkata:

    panjang ndoro dan sebagian besar saya sudah tahu :p

  • Aris Heru Utomo berkata:

    Karena tidak tertutup kemungkinan besok2 sampeyan menulis topik2 semacam ini kembali, saya usul untuk buat kategori baru, misalnya AGAMA. Sekedar memudahkan pembaca mencari arsipnya dikemudian hari.

    bon weekend juga ndoro …

  • munyuk pemalu berkata:

    tak ada komentar. tolong, tulisan lain ndoro…lagi! :d

  • mathlab berkata:

    “amantu bi robbi mussa wa harun”
    itu saja sudah berat, apalagi yang lain.. :p

  • Hedi berkata:

    ber-Tuhan aja dimusuhi, apa lagi yang enggak…walah

  • extremusmilitis berkata:

    Bukan-kah setiap orang ber-hak untuk mem-percayai ajaran yang menurut dia benar? Bukan begitu kan Ndoro, apalagi ajaran yang sampai sekarang kita belum tahu ajaran mana yang paling benar ๐Ÿ™„

  • cak dh1k4 berkata:

    Keyakinan yang berbeda ? ya monggo, tapi jangan merusak sesuatu yang lain. Berdiri sendiri lebih baik bila tidak bisa menjadi baik bila berdiri bersama. thanks

  • leksa berkata:

    pertanyaan sederhana saya terhadap Pak Ustadz saya dulu,
    kembali Ndoro ingatkan..
    “Bukti kebenaran hal ini adalah ajaran Muhammad sendiri tentang akan bangkitnya kembali Yesus ke dunia โ€” sebagai Nabi yang akan memurnikan syariโ€™at Muhammad pada masa kekacauan.”
    kapan pastinya Yesus itu kembali? kapan masa kekacauan itu? yang murni itu seperti apa?
    padahal sikap muslimin saja sangat ego dengan ajaran yang sudah ada dan mereka amini..?
    Ustadz saya menjawab :
    wallahu alam…

  • Lhadalah, Ndoro…. ๐Ÿ˜ฏ

    Kalee ene sayah bener-bener pecah ndase.
    Terus terang ajah sayah jugak ndak begetoo paham sama Ahmadiyah ini.

    Nyang sayah denger hanya sebatas ‘penghakiman’, bahwa jamaah ini mempercayai si Ghulam Ahmad ini sebagai nabi.

    Barangkalee ndak beda sama jamaah ( Blog )sayah nyang meyakini sayah sebagai Imam Madzab Bocor Alus….

    Apa lebih kurangnya begetoo, ya Ndoro…. ๐Ÿ˜‰

  • silent reverie berkata:

    Wiih… postingannya emang panjang.
    Lakum diinukum waliyadiin aja deh… ๐Ÿ™‚

  • andrias ekoyuono berkata:

    tulisan yang bisa menjadi bahan pengetahuan tentang Ahmadiyah. Saya sendiri belum punya cukup ilmu untuk memberikan penilaian, namun tafsir “baru” itu sepertinya diluar apa yang saya kenal sejak dulu. Wallahu Alam

  • Shangrui berkata:

    Su udzon tuh boleh2 aja kok, asal kalo mo su udzon tuh ya baek2 aja. ๐Ÿ˜›

    so, brarti ada ahmadiyah lahore / qodian berarti ada ahmadiyah positif dan ahmadiyah negatif dunk? kayak bloger itu (kalo masalah ini mending nanya mas Roy Suryo sang pakar telekmatika kita, 68 persen dia dukung lahore pa qodian?)

    Seharusnya kita berkaca pada al quran deh, bahwa “agama islam akan hancur oleh umatnya sendiri” dan “janganlah kamu menyesat atau menkafirkan seseorang karena belum tentu yang kita sebut ini benar adanya.. m wallahu alam

  • ndaru berkata:

    mbah, endi ki kiprah ahmadiyah pasca kemerdekaan? ๐Ÿ™‚

  • srimarlina berkata:

    ndoro, di tv ada yang komen, ahmadiyah jangan dibubarin mengingat jasa2 nya sewaktu zaman merdeka dulu.

    ada arsipnya ga ndoro? matur nuwun nggih…

  • wong purworejo berkata:

    Saiki akeh pinter tapi ndak paham, ya koyo pejabat2 kita yang korup. Sekolah tinggi2, ngomongnya pinter. Tapi kelakuan sebagai pejabat nol besar. Sama dengan orang yang komentar ini itu masalah Islam diatas. Masuk dulu Islam secara kaffah. Baru paham… pahami dan laksanakan. Ora paham kok biso ngomong ini itu. Malu dong..

  • Yoyo berkata:

    Ahmadiyah itu bukan Islam, biarkan mereka hidup sebagai non Muslim, sama seperti yang lain, kaum yang belum mendapat Hidayah Alloh, SWT…..

  • sofian berkata:

    Tilisan yg cukup menarik dan perlu dibaca. Semoga dapat membantu menjernihkan persoalan.

    Thanks for sharing…

    Salam kenal…:)

  • sedemir berkata:

    Aku merenung ndoro. Kalau ahmadiyah sesat, aku merenung nanti waktu Nabi Isa yang betulan turun dari langit dengan usia ribuan tahun, apa mungkin umat islam juga tidak melecehkannya? Merenung ndoro……Ah menurutku sih Nabi Isa sudah wafat. Aku lebih cocok dengan tafsir ahmadiyah yang memaparkan kemiripan nasib umat islam dengan Israel yang gagal mengenali Nabi Yahya karena masih nunggu Nabi Elia yang katanya juga naik ke langit. Akibatnya sampai sekarang orang Israel gak bisa mengenali Isa dan Muhamad saw. Kasian ya….

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Ghulam Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: