Buruh Pecas Ndahe
Mei 2, 2008 § 42 Komentar
Ini cerita yang tercecer dari May Day Fiesta kemarin. Saya mendapatkannya dari laporan seorang pewarta stasiun radio talk & news skala ternama. Saya mendengar siarannya secara langsung dalam perjalanan ke pabrik.
Si pewarta melaporkan pandangan matanya terhadap aksi unjuk rasa para buruh di Semarang, Jawa Tengah. Begini laporannya …
“Pendengar, peringatan Hari Buruh di Semarang diperingati dengan aksi unjuk rasa. Aksi diikuti oleh ribuan buruh. Mereka menuntut pemerintah menghapuskan praktek outsourcing yang dinilai merugikan, blablabla …
Namun, ironisnya, di tengah aksi ini para buruh tak sadar bahwa upahnya mereka rata-rata sesungguhnya sudah cukup besar, bahkan jauh lebih besar dari para jurnalis yang meliput aksi mereka. Tapi para jurnalis justru tak pernah unjuk rasa … Pendengar, demikianlah laporan kami dari Semarang.”
Saya ngakak begitu mendengar kalimat penutup laporan itu. Lalu mengelus dada saya sendiri. Prihatin. Kok ya sempat-sempatnya pewarta itu melakukan “curcol” alias curhat colongan?
Saya memang pernah mendengar para pewarta yang bekerja di radio swasta itu melakukan aksi mogok kerja karena menuntut kenaikkan upah. Tapi, tetap saja saya kaget mendengar curhat colongan itu lolos sensor. Mungkin karena laporan itu disiarkan secara live.
Saya ndak tahu apakah pewarta itu lantas ditegur atasannya atau dibiarkan. Moga-moga saja dia tak mendapatkan sanksi apa pun.
Ah, juru warta … sungguh mulia kerjamu meski belum semua mendapatkan upah yang layak. Teruskan perjuanganmu, kawan …
Gaji redaktur pelaksana di Kompas berkisar 30an juta per bulan. Gaji Red-pel di Koran Tempo seperti Anda mungkin mencapai 20-an juta per bulan.
Jurnalis fresh di koran besar gajinya setahu saya sekitar 2 – 3 jutaan per bulan.
Sayang di tanah air belum banyak pengiklan yang mau masang iklan di blog. Di luar negeri, banyak jurnalis yang berhenti, dan jadi full time blogger, sebab penghasilannya bisa berlipat-lipat.
Saya ndak tahu apakah petualangan Mas Budi Putra yang jadi full time blogger bisa menghasilkan income yang lebih tinggi dibanding saat dia jadi jurnalis.
ya ironisnya kok ya sempet membanding-bandingkan..
justru karena sudah ‘besar’ maka ‘pendapatannya’ kurang..
makanya bisa ada
curhatcolongan..tapi sangat jelas..
semua orang mengeluh.. dan tidak puas dengan apa yang ada.
* keluh..’ *
saya ndak curhat, saya ndak ngeluh, saya cuma minta gaji naik, kekeke
jurnalis, buruh bukan ndoro?
cur col sekaleeeeee…hahaha
yang jelas, kali ini saya gak ikut demo 🙂
hidup buruh..
hehehe…
ayo dukung partai buruh.
Lha tapi kan kalo jurnalisnya kritis, berani, lalu demo dll., malah menarik hati investor media ya tho?
Tetapi kalo buruh (industri produksi) yang kritis, berani lalu senang demo dll., menarik hati investor untuk kabur.
Tunggu saja berita 1-2 hari ini. Biasanya, memanfaatkan longwik-en yang dipake buruh libur ndemo, mesti ada 1-2 pabrik tutup mendadak dan mengosongkan aset dari lokasi. Seninnya, bakal ada buruh-buruh yang cuma plonga-plongo dari balik pagar pabriknya yang sudah kosong. Lha wong masih negeri ontran susah nafkah, mbokya yang sudah punya kerja itu anteng dulu sedikit.
Kalo semua jurnalis demo, yang liput berarti para bloger.
emang susah jadi buruh
nasib masih saja keruh
kita cuma misuh-misuh
tiap hari terus mengeluh
*sayah juga buruh yang tertindas kebijakan kantor*
*berpikir untuk demo naik gaji*
wah, saya ikutan minta naik gaji.. tapi minta ke siapa ya? 😀
Saya ndak ikut demo ndoro, soale saya nggak tau saya buruh apa bukan. Yang saya tau saya cuma seorang ronin he.he.
berdasarkan UU Perburuhan, saya ini termasuk buruh juga… huhuhuhu
*berpikir ikutan demo*
saya juga ribet ndoro… jangan – jangan buruh itu gak ngeh klo gaji mereka lebih besar daripada buruh komputer kaya saya ini..
Wah, kami sebagai mahasiwa Institut Tjalon Buruh juga mengeluhkan SPP yang terus naik 😛
hahahahaha…
bisa juga begitu ya..
curcol waktu reportase..
hihihi..
@Blog Strategi + Manajemen: sok tahu ah… 🙂
papih mamih saya di rumah mengajarkan, kalau sudah bekerja jangan sekali-kali pikirin masalah gaji..
yang harus kau pikirin cukup pengembangan usaha dan dividen..
😀
wow…ternyata wartawan itu lebih kere dr buruh ya..
hahaha….lolos sensor! radio monitor milik bos-nya pasti lagi rusak :p
Wong wakil rakyat dan pejabat aja masih terus nuntut minta naek gaji je…
Mereka termasuk buruh juga ga ya? (Bingung)
lho.. wartawan apa lebih kere dari buruh ?
😀
Kasihan juga itu jurnalis. Lha, kenapa para jurnalis ndak gabung saja sama para buruh. Kan sama-sama buruh juga? Buruh media… 😀
buruh bersatu tak bisa dikalahkan 🙂
yukk yuk kita demo lagi
cuma satu bedanya buruh pabrik dan buruh media..
ketika buruh pabrik berdemo, buruh media malah harus bekerja.. 😀
“Ah, juru warta … sungguh mulia kerjamu…”
Ah, ndoro… memuji profesi sendiri, mentang-mentang… 🙂
Walah… gaji 20 juta masak ya masih kurang to Ndoro..
Lah saya ini buruh juga, majikan juga, trus minta naik gaji ke siapa?
ndoro, besok2 kalo bikin spam protektion yang gampang. jangan pake itung2an.. saya paling gag bisa ngitung.
[lha.. mo komen tulisan apa spam protektion..?]
Weh, 20 juta? Gede dong Ndoro!
Tapi apa pewarta bukan buruh juga?
Kenapa mereka ndak ikut unjuk rasa saja dan menanggalkan mikropon meski untuk sementara ?
hahahaha… curhat colongan boleh juga…..
mmmm nice try 😉
tunggu… tapi panjenengan kok ndak saatnya reportase, tetep curcol?!
oh… jurnalis 😆
Ndoro,
aku dulu pernah dikasih koran seabrek…, disuruh jual ke kantor-kantor…!
baru deh dapat upah!
[*halah…, inget jaman pusing – era bodreks*]
Curhat ternyata juga bisa di sembarang posisi,,
hahhaa. . buruh yang cerdas
tau kapan suaranya dicengarkan tanpa perlu demmo :))
dibandung aji ikutan orasi lho
haha.. anak buahnya gimana ndoro?
baru baca. komik banget 😀
btw, jurnalis di jakarta kan juga ikut unjuk rasa 1 mei karena juga melihat profesi juru warta sebagai buruh juga.
huh nambahin gambarnya gimana neh.. kok gambar monyet sih 😦
demo trs …capek deh…
ha..ha.. profesi wartawan memang tidak menjamin bisa kaya. gaji kecil, fasilitas minim,, sabar..sabar..
[…] Namun, ironisnya, di tengah aksi ini para buruh tak sadar bahwa upahnya mereka rata-rata sesungguhnya sudah cukup besar, bahkan jauh lebih besar dari para jurnalis yang meliput aksi mereka. Tapi para jurnalis justru tak pernah unjuk rasa… — Siaran di radio yang didengar Ndoro […]