Perbedaan Pecas Ndahe

Juni 9, 2008 § 28 Komentar

Bagaimana mengayuh perahu agama di tengah tekanan gelombang politik yang ganas? Bagaimana kelompok-kelompok agama harus bersikap terhadap pemerintah dan kelompok lain? Apakah mereka juga memakai pentungan? Menggebuk?

Bukalah buku-buku sejarah. Barangkali dari sana kita akan mendapatkan semacam pelajaran tentangnya, dan bagaimana harus bersikap di tengah keragaman.

Dari arsip usang dan berdebu di pabrik, misalnya, saya mengetahui sedikit gambaran tentang suasana hari terakhir Muktamar Nahdlatul Ulama Surabaya, 13 Oktober 1927.

Kurang lebih 200 orang hadir. Semuanya ulama. Ketuanya adalah Kiai Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng, Jombang.

Perdebatan sengit sering terjadi dalam muktamar ini, tapi dalam hal-hal pokok keagamaan para peserta bersatu.

Juga nampaknya dalam satu hal lain. Menurut laporan yang diterima pemerintah kolonial Belanda waktu itu, sebagaimana tersimpan dalam Koloniaal Archief di Den Haag, para peserta muktamar memuji-muji politik penguasa.

Pemerintah Hindia-Belanda, begitulah kata mereka, menjamin kemerdekaan Islam yang benar tanpa mencampuri segi-segi keagamaan.

Di rapat umum malam hari di masjid Ampel, yang dihadiri sekitar 15.000 orang, beleid gubernemen juga dapat keplok — sementara orang-orang yang “mencampuradukkan agama dengan politik” dapat kecaman.

Hari peringatan 15 tahun “Partij Sarikat Islam”, Yogyakarta, 26 Januari 1928. Hanya sekitar 100 orang hadir. Antara lain para wakil yang datang dari 18 cabang P.S.I di Jawa. Ini berarti kurang dari separuh jumlah 40 cabang yang ada.

Wakil Muhammadiyah tak nampak, tapi anggota pengurus Boedi Oetomo dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dari Bandung ikut duduk sebagai tamu.

Yang membuka rapat Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pembicara berikutnya Haji Agus Salim. Ia tak cuma berbicara tentang sejarah Sarikat Islam.

Sebelum Sarikat Islam didirikan pada 1912, katanya, orang Jawa disebut sebagai “bangsa yang paling jinak di dunia”.

Sarikat Islam membuktikan bahwa panggilan semacam itu sudah tak berlaku lagi. Bangsa bumiputra telah bangkit.

Dan Haji Agus Salim pun dapat tepuk tangan riuh ketika ia menegaskan lagi semboyan Sarikat Islam: “Kerso, kuwoso, mardiko” — tekad, kekuasaan, kemerdekaan.

Mustahil bagi suatu pergerakan rakyat untuk tidak berpolitik. Meskipun Sarikat Islam pada mulanya bukanlah suatu usaha politis, tapi “di mana-mana di negeri ini orang terbentur pada satu hal yang sama, yakni politik kolonial.”

“Sejarah mengajarkan bahwa tak ada pemerintah yang pernah memberi hak-hak baru kepada rakyatnya secara sukarela,” kata Haji Agus Salim. “Rakyat harus memperlihatkan jelas-jelas bahwa mereka dengan tegas menuntut hak-hak itu.

***

Dua pandangan yang berbeda. Mereka lahir dari orang-orang yang berbeda, tapi juga mungkin karena masa dan tempat mereka berlainan.

Di tahun 1916, misalnya, Tjokroaminoto pun tak akan menyetujui pernyataan Agus Salim pada 1928 itu.

Dalam kongres di Bandung pada Juni tahun itu, misalnya, ia menyatakan tak akan menyeru: “Hancurkanlah pemerintah!”

Seruannya adalah “Bersama pemerintah dan mendukung pemerintah menuju ke arah yang benar.” Dan ia mengecam mereka yang tergila-gila pada “aksi politik”

Barangkali karena makin lama cita-cita terjepit, makin keras daya desaknya. Ataukah sebaliknya makin lunak yang berkuasa menghadapi tuntutan, makin deras pula tuntutan itu — hingga tak bisa ditampung lagi kecuali dengan menenggelamkan diri?

Dewasa ini pertanyaan semacam itu pasti menarik untuk ditelaah kembali, untuk dijawab. Masa lalu hanyalah satu contoh. Mungkin sejarah tak pernah berulang. Mungkin kita adalah bagian dari cerita yang harus diciptakan baru selalu.

Selamat hari Senin. Apakah sampean sudah tersenyum pagi ini?

§ 28 Responses to Perbedaan Pecas Ndahe

  • Epat berkata:

    bukankah perbedaan itu harusnya menjadi berkah?

  • TYO GAPTEK berkata:

    Di rapat umum malam hari di masjid Ampel, yang dihadiri sekitar 15.000 orang, beleid gubernemen juga dapat keplok — sementara orang-orang yang “mencampuradukkan agama dengan politik” dapat kecaman.

    >>>Lah terus Agama hanya mengurusi urusan ibadah, antara Tuhan Dan Ciptaanya (seperti sholat,dll) aja ya Eyang ndorokakung?

  • edratna berkata:

    Sebetulnya dengan melihat perbedaan, kita banyak belajar dari yang lain. Perbedaan jika disikapi secara wajar akan indah. Keluarga saya jika berkumpul, sebetulnya agamanya berbeda-beda, namun tetap bisa akrab. kebetulan saya dan suami agamanya sama. Tapi kakek (biksu), sepupu (Katolik), sepupu (protestan), bahkan ada yang kawin dengan bule.

  • anto berkata:

    Agama memang sebaiknya jangan dibawa ke pentas politik;dengan alasan dan tujuan apapun juga.Apalagi dalam negara majemuk seperti Indonesia.

  • herman saksono berkata:

    Pelan-pelan perbedaan akan menemukan jalan temunya ya? 😀

    Sayang kemarin FPI harus menyerang, mungkin kita perlu waktu lebih lama utk menemukann persamaannya.

  • Yoyo berkata:

    Negara berkewajiban mengayomi warganya dalam hal beragama, tidak mengurusi tata cara ataupun syariatnya.
    Pada saat suatu agama dinodai dan dinistakan, negara berkewajiban memusnahkan penoda dan penistanya, masalah perbedaan, kita semua sepakat untuk berbeda pendapat.
    No way sekularisme !

  • dh berkata:

    kehilangan hak untuk berbeda sama saja kehilangan hak untuk merdeka kan ndoro ?

  • p3m4 berkata:

    FPI pada Peristiwa Monas kmaren salah!!! Demikian juga GUS yang itu juga salah….!!!
    Yo kita liat apa yang bisa diperbuat SBYJK (Susah Bensin Ya Jalan Kaki)…!!!

  • prast berkata:

    semoga semuanya membaik dan tetep fokus ke BBM

  • starchie berkata:

    sudah mbah. saya tersenyum membaca postingan ini :p

  • tikabanget™ berkata:

    kalo ada komunikasi sih, dan tiap hari intim sih, lama lama bakal nemu jalan maju barengnya.
    lha kalo tiap hari gali lobang beda jalur melulu, kapan ketemunya?

  • david berkata:

    Hari senin senyummm opooo ndorooo Jangger Macet Total penuh terigu di kebon jeruk.., matot di layang tomangg..,

  • Donny Verdian berkata:

    Ndak ada yang perlu dipersatukan, yang ada justru gimana caranya mbikin dua hal yang tidak bisa ditemukan dan disatukan itu tetap jalan sejajar.

    Seperti rel kereta api, mereka berdua tidak pernah bersatu tapi juga tak pernah bisa berpisah.

    Saya belum senyum karena belum sikatan, takut mambu!

  • munyuk pemalu berkata:

    selamat hari senin, ndoro! pagi ini saya hanya tersenyum was2…penentuan nasib

  • novee berkata:

    panjang amit tho Ndoro.. srius pun masalahnya..
    hari senin nih.. apa nda’ bisa bahas bola aja..?

    kl saya sih yg penting instropeksi dirilah..
    baik pemerintah, ormas maupun rakyat..
    hati bisa aja panas, tp kepala ndah harus tetep dingin biar nda’ pecas..
    damai ajalah.. kita smua sodara..
    piiizzz…
    *sambil senyum2 dari pagi sampe skrg.. soalnyah ada staf baru yg ngganteng’e.. huhuuuy.. cuci mata dolo..*

  • Dhani Aristyawan berkata:

    Anteb ndoro … anteb

  • Mahendra berkata:

    saya tau sejarah ini juga baca disini barusan ndoro…

    hari bukan cuma senyum.. taya sudah tertawa lebar 😀

  • ning berkata:

    saya malah lagi semedi ndoro…
    kali ada wangsit lewat, yang bisa menyatuken mereka.

    btw, buku yg bicara ttg “sejarah” buru, yang ditulis oleh tapol itu dmn dapat diperoleh ya ndoro?

  • suprie berkata:

    perbedaan itu seharusnya tidak memecah-belah kita kan ??

    karena saya pikir, semua hal pasti ada perbedaan, karena manusia sendiri gak sama, manusia unik satu sama yang lain. Jadi perbedaan itu pasti ada.

  • ika berkata:

    ya saya sudah tersenyum hari ini ndoro… 😀

  • merahitam berkata:

    Selamat hari senin juga ndoro. Saya sudah senyum sejak bangun pagi, gara-gara mimpi aneh jadi pembasmi monster 😀

  • rama berkata:

    perbedaan jangan dijadikan alasan untuk perpecahan.. damai selalu indonesiaku… hiiii… :d

  • tele berkata:

    mereka lupa sama ‘bhinneka tunggal ika’.
    wong yang diinget cuma kelompoknya sendiri, bukan bangsanya…

  • kw berkata:

    pada egois siiii

  • emhade berkata:

    Jadi ingat kata menteri agama jaman bahuela, Mukti Ali. Islam itu laksana buah kelapa. Ada yg memahaminya hanya di sabut maka atributif, ada yg di batok maka keras, ada yg di air segar, ada yg di dagingnya kenyal. Ada yg kreatif mengolahnya menjadi santan.

  • anton berkata:

    ndoro, posting soal agama ini kok ya hari senin. baiknya sih hari jumat. biar bisa dipake bahan khotbah jumatan. ngoten, ndoro..

  • Retty berkata:

    oh…hari senin: senyum…selasa: sedekah…, besok Rabu berenang biar sehat ya?!

  • ika berkata:

    saya jawab pertanyaan terakhir aja ndoro,,udah udah tersenyum…

Tinggalkan Balasan ke novee Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Perbedaan Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: