Sekat Pecas Ndahe

Desember 5, 2008 § 50 Komentar

Pada sebuah malam yang redup. Di ujung tikungan yang basah oleh hujan. Di batas antara mimpi dan kenyataan. Kita bersilang jalan, Tuan. Tapi siapakah gerangan Tuan?

Aha, rasanya kita pernah bertemu Tuan … di suatu tempat, atau di banyak tempat, di Indonesia kini. Saya ingat, Tuan adalah orang yang telah menyiapkan sejumlah bagan, diagram, peta. Seraya menunjuk, dengan sebatang tongkat platina, pelbagai bentuk geometris pada peta di papan tulis itu, Tuan jelaskan pandangan Tuan.

Dunia adalah sebuah kotak wayang yang penuh, kata Tuan, dengan sejumlah tokoh yang tak semuanya bisa diingat, tetapi mengandung beberapa cerita pokok saja, variasi Mahabarata atau Ramayana.

Dunia, menurut Tuan, adalah sebuah model kartografi. Tuan dengan kalem dan konsisten berbicara tentang ”sosialisme” dan ”neoliberalisme” dan sesuatu yang di tengah-tengah, tentang ”kafir” dan ”beriman” dan ”orang yang ragu”, “komunitasku” dan “komunitasmu” dan “para ronin”, dan seterusnya…

Bagi Tuan, dunia bisa digambar dengan jelas, bukan karena kita menyederhanakan soal, tetapi karena kita, manusia, mau tak mau menyusunnya dalam konsep-konsep. Manusia adalah makhluk yang membentuk kategori.

Kita bisa menemukan ”sistem-sistem” dalam dunia kenyataan. Kita bahkan juga bisa berbicara tentang ”ideologi” yang dikandung oleh ”sistem-sistem” itu dan Tuan bisa mencantumkannya dalam sebuah diagram.

Apakah bahasa sebenarnya, kalau bukan sesuatu yang terdiri dari konsep, pengelompokan, dan penggolongan? Dan bukankah dengan itu kita bisa berkomunikasi, karena ada kejelasan?

Tuan pun berkata, ”Bahasa mengandung kemampuan koordinasi. Ia membuat pikiran seseorang tidak ngaco dan centang perenang, ia bisa mempertautkan orang seorang dengan orang lain. Bahasa juga mengandung tindakan, karena dengan bahasa kita membentuk dan menyusun sesuatu dari kenyataan”.

Lalu tuan berbisik, ”Mengetahui adalah menguasai, Bung.”

Tuanlah wakil dari mereka yang yakin bahwa manusia harus ”berarti”, harus memberikan sesuatu yang membekas, bermakna bagi dunia. Harus ada tujuan, arah, dan hasil.

Tuanlah wakil semangat modernisasi, seperti Takdir Alisjahbana dan juga Obama, seperti PKI dan juga PKK. Diagram dan kategori, dalam bahasa tuan, adalah untuk bertindak, membentuk dan memperbaiki masyarakat.

Saya selalu kagum dengan semua itu. Tetapi bagaimana dengan hal-hal yang acak, yang kebetulan, yang kecil-kecil, yang tidak bisa dimasukkan dalam kategori? Benarkah wayang satu kotak penuh itu hanya bisa dilihat sebagai terdiri dari cerita-cerita pokok, dan bukannya sekian ragam subjek, yang masing-masing khusus dan tak pasti? Bahwa kita tak cuma terdiri dari Pandawa dan Kurawa, tapi pribadi-pribadi yang tak sepenuhnya bisa selesai dengan cuma digolong-golongkan? Tidakkah bahasa yang Tuan pakai, dan ingin Tuan sebarluaskan kini, adalah sebuah ”imperialisme konseptual?”

Tuan pasti sangat menyukai tindakan ”membentuk”, ”menyusun” … karena itu saya bisa dimengerti bila Tuan tak cenderung menyukai sesuatu yang berantakan dan kebetulan, bila Tuan selalu berbicara dari semangat keamanan dan ketertiban.

Saya bisa mengerti pula bila Tuan kurang menyadari keterbatasan manusia. Tuan perlu tahu sikap lain dalam memahami dunia, yaitu sikap ”melepas”, yang oleh Martin Heidegger disebut Gelassenheit.

Dalam bahasa Jawa, itu artinya kira-kira sumeleh. Semacam sikap tawakal, rendah hati, menerima kehadiran dunia dalam segala keacakannya, kerumitannya, kehadiran yang tidak selamanya bisa takluk kepada imperialisme konseptual.

“Tapi, bagaimana dengan itu kita akan mengubah dunia, Bung?” Tuan bertanya.

Maaf, saya bukan superman, Tuan.

>> Selamat hari Jumat, Ki Sanak. Apakah hari ini sampean sudah merasa hidup begitu berarti?

Tagged: , , , ,

§ 50 Responses to Sekat Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Sekat Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: