Nurdin Pecas Ndahe

Februari 23, 2011 § 40 Komentar

Hari ini Indonesia kembali membicarakan perihal Ketua Umum PSSI Nurdin Halid. Dan, sayangnya, narasi tentang figur yang satu ini diwarnai dengan kemarahan.

Berita di media massa dan media sosial mengabarkan ihwal para suporter sepakbola yang mendatangi kantor PSSI di Senayan. Mereka menuntut Nurdin Halid meletakkan jabatan. Nurdin dianggap tak becus memimpin organisasi dan korup.

Nurdin, terpidana kasus korupsi yang sudah dua periode memimpin PSSI, menampik tuntutan itu. Ia bahkan hendak maju lagi dalam ajang pemilihan ketua umum bulan depan.

Kisah Nurdin dan kekuasaan yang ingin dipertahankan itu membuat saya teringat pada Werkudara, seperti yang pernah ditulis Goenawan Mohammad.

Putra kedua keluarga Pandawa itu dikenal sebagai figur yang stabil, kokoh, bertubuh tegap. Tapi sesungguhnya dia bukan cuma unggul dalam “kultur jasmani” tapi juga di dunia “olah batin.”

Ada juga yang menggambarkan Werkudara sebagai sosok yang hanya ingin cukup arif untuk mengenal pribadinya sendiri.

Ini agak aneh, sebab sesungguhnya Werkudara itu seorang pangeran. Ia punya hak untuk memiliki kekuasaan dan kemewahan.

Mungkin karena dia juga menyaksikan kecemburuan dan nafsu di sekitarnya, serta kemewahan-kemewahan kecil.

Sementara itu ia belajar tentang kebajikan menahan diri dan bersikap mengalah. Ia dilatih untuk memandang rendah segala hasrat menuntut benda duniawi.

Maka mungkin ia ragu, bisakah ia mengharapkan kemuliaan hati manusia? Mungkin ia bertanya: manakah yang benar bagi kita semua — hasrat duniawi atau tiadanya hasrat itu?

Artinya, ia harus mengerti, adakah sikap ksatria untuk menahan diri merupakan sikap yang wajar?

Pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan tentang gambaran manusia. Adakah manusia itu makhluk yang lemah tapi licin? Ataukah ia makhluk yang secara rohaniah kuat untuk tidak terguncang oleh benda-benda?

Tak mudah untuk menjawabnya. Werkudara tidak mengadakan riset atau survei.
Sebab sehebat-hebatnya riset toh hanya bisa melukiskan secara terbatas. Karena itu, ia harus menengok jauh ke dalam lubuk hatinya sendiri.

Dari situlah ia berangkat. Seorang yang menghalalkan nafsu, rasa cemburu dan serakahnya sendiri akan melihat manusia bukan sebagai makhluk yang luhur.

Seorang yang pernah berhasil melawan nafsunya, dan terus bertekad untuk itu, akan melihat manusia lebih dari sekadar kelenjar hidup.

Dan Werkudara sampai pada kesimpulan yang kedua:

…manusia tinitah luwih, apan ingaken rahsa mulya dewe saking kang dumadi…(manusia ditakdirkan lebih dari semua makhluk, terpandang sebagai rahasia Tuhan, dan paling mulia dari semua ciptaan).

Saya tak tahu apa yang selanjutnya terjadi dengan kesimpulan itu sampai saat kisah keluarga Pandawa berakhir. Tapi dengan keyakinan yang diperolehnya itu, agaknya tak sukar bagi Werkudara untuk bertahan dari rasa kekurangan badan dan rasa cemburu.

Mungkin ia bahkan sudah berbahagia tanpa mulut yang berkicau di koran atau linimasa.

>> Selamat hari Selasa, Ki Sanak. Bagaimana sampean mengartikan kekuasaan?

§ 40 Responses to Nurdin Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan ke Saiful Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Nurdin Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: