Ahmadiyah Pecas Ndahe

Februari 7, 2011 § 79 Komentar

Lapangan Wenceslas, Praha, tahun 1969. Di tengah hari musim dingin Januari, seorang lelaki bernama Jan Palach datang. Ditanggalkannya jas panjang yang ia pakai, disiramkannya bensin ke seluruh tubuhnya, lalu dinyalakannya korek api. Dalam beberapa detik, api membakar badannya.

Tiga hari kemudian ia mati.

Di saku jasnya ditemukan secarik kertas dengan tulisan: ”…ini dilakukan untuk menyelamatkan Cekoslovakia dari pinggir jurang ketiadaan harapan.”

Tragedi yang menggetarkan itu saya baca dari tulisan Goenawan Mohamad.

Palach adalah mahasiswa filsafat. Umurnya baru 21 tahun. Ia membakar diri sebagai bentuk protes pendudukan Soviet yang dengan mengirim tank dan tentara hendak meneguhkan sistem komunisme kembali di Cekoslovakia dan membungkam rakyat yang menginginkan liberalisasi.

Ada banyak Palach lain di dunia ini. Mereka berdiri di tengah lapangan Midan Tahrir di Mesir hari-hari ini, di Tiananmen, Beijing, Juni 1989, di Ikada, Jakarta, September 1945, dan juga di lapangan-lapangan lain yang tak bernama.

Saya tak tahu kenapa para pemuda menyukai lapangan sebagai teater untuk berekspresi … dan mengukir sejarah tentang negerinya. Mungkin, seperti ditulis GM, “Lapangan, tampaknya, bukan sekadar ruang yang terbentang horizontal. Lapangan adalah sebuah endapan sejarah politik yang tak selamanya teringat. Sejak ia dikonstruksikan.”

Barangkali juga karena alasan praktis saja, lapangan adalah satu-satunya tempat yang sanggup menampung ribuan orang dalam satu kesempatan.

Dalam setiap revolusi, jumlah memang menjadi penting. Skala yang besar, dihitung dalam satuan ribu atau ratusan ribu, bisa bikin gentar.

Rasa gentar diperlukan untuk menggedor negara yang tidur nyenyak meski sebuah bom meledak. Pemerintah yang tutup mata atas ketidakberesan — seperti yang hari-hari ini terjadi di negeri ini.

Saat korupsi, kekerasan, kebrutalan, kebiadaban, juga kesewenang-wenangan, merupakan pemandangan sehari-hari. Ketika kelompok mayoritas menindas minoritas, dan Tuhan harus dibela secara membabi buta dengan agama sebagai senjata untuk membasmi, dianggap biasa saja.

Kebenaran diborong oleh pihak yang tidak diam: melalui propaganda. Dibumbui oleh syakwasangka.

Bila seratus orang pada suatu pagi ramai-ramai senyum, atau bertepuk, atau pilek, hampir bisa dipastikan bahwa seseorang akan berbisik-bisik, “Mereka itu ditunggangi. Waspadalah!”

Dan tumbuhlah dalam negeri seperti itu, “kultur intel”. Ciri dari “kultur” ini adalah teriakan hampir tiap bulan tentang adanya ancaman, dan pelototan mata hampir tiap minggu ke arah luar pintu: menebak musuh.

Adapun tentang siapa yang “musuh” dan siapa yang bukan, tentu saja si berkuasalah yang menentukan. Si tertuduh tak banyak kesempatan (apalagi hak) membantah.

Si tertuduh itu bisa bernama si Fulan. Si Badu. Atau Ahmadiyah. Jamaah yang terakhir ini bahkan sudah dianggap bersalah sebelum pengadilan dimulai. Mereka diburu. Dibasmi. Satu demi satu.

Pada saat seperti inilah kita jadi gamang, tersesat mencari pelindung. Di manakah pemerintah? Di mana negara? Berapa banyak lagi diperlukan orang seperti Palach untuk mengubah keadaan?

>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Apakah hari ini sampean masih merasa nyaman tinggal di Indonesia?

Tagged: , , , ,

§ 79 Responses to Ahmadiyah Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Ahmadiyah Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: